Abu Yazid al-Bustomi pernah berkata, "Aku berhaji hanya 3 kali. Haji
pertama, aku bertamu ke rumah Allah. Haji kedua, aku bertamu dan bertemu
Allah. Haji ketiga, Allah yang bertamu ke rumahku".
Pernyataan
Abu Yazid itu menginspirasi saya dalam melaksanakan haji kedua tahun
2010 lalu. Bahwa, saya berhaji untuk bertemu Sang Pemilik Ka'bah, Allah
swt, bukan ka'bah-Nya.
Ternyata, pernyataan saya itu
benar-benar diuji Allah. Seusai melaksanakan umrah pertama karena saya
memilih haji tamattu', dalam melaksanakan shalat rawatib sehari-hari,
saya benar-benar kesulitan mencari posisi shalat yang tepat bisa menatap
dan berhadapan dengan Ka'bah. Pasalnya, jamaah Masjidil Haram sedang
berada di puncak kepadatan. Maklum, saya termasuk Gelombang II paling
akhir. Tiba di Mekah sekitar tanggal 30 Dzulqo'dah.
Karena
demikian padatnya, maka selama hampir 3 hari pertama di Mekah, saya
selalu kesulitan sholat di tempat tawaf atau di lokasi Masjidil Haram
yang memungkinkan saya bisa dengan mudah menatap Ka'bah saat qiyam.
Pernah
saya datang lebih pagi, sekitar pukul 03.00. Saya awali dengan tawaf
sunnah beserta isteri. Namun, ketika waktu adzan subuh tiba, ternyata
askar menyuruh kaum wanita untuk sholat di belakang. Padahal, isteri
saya sudah berdekatan dengan saya. Akhirnya, saya pun mengantar isteri
mencarikan tempat solat di belakang. Setelah ketemu, saya sendiri yang
sulit balik ke depan sehingga saya pun juga berada di belakang dan tidak
bisa menghadap Ka 'bah secara langsung.
Pernah juga
ketika saya asyik-asyiknya menunggu waktu shalat dan posisi saya sudah
tepat menghadap Ka bah sambil membaca al-Quran, eh tiba-tiba saya ingin
buang air kecil. Terpaksa saya harus keluar dari Masjidil Haram menuju
toilet. Setelah kembali, masjid sudah padat dan saya diminta oleh askar
untuk naik ke lantai 2. Saya pun gagal lagi menghadap Ka'bah.
Yang
lebih parah lagi, pernah suatu ketika saya tiba di Masjidil Haram, saya
beserta isteri langsung disuruh oleh para askar naik ke lantai 2 karena
jika jamaah sesak dan padat, pintu-pintu masuk di lantai 1 distop dan
arus jamaah dialihkan ke lantai 2. Ketika tiba di lantai 2, pintu-pintu
masuknya juga distop dengan alasan padat. Akhirnya, saya pun dialihkan
ke lantai paling atas sehingga jelas tidak mungkin bisa shalat sambil
melihat Ka'bah.
Walhasil, hampir 3 hari saya tidak bisa
shalat di posisi yang tepat untuk melihat Ka'bah. Saya hanya bisa
melihatnya usai shalat saja. Hal inilah yang lalu membuat saya gelisah
dan bertanya-tanya: "Ada apa ini? Begitu besarkah dosa saya?".
Dalam
keadaan berpikir itu, lalu terlintas apa yang pernah saya maksudkan,
bahwa haji kali ini saya tidak hendak bertamu ke rumah Allah, tapi
ketemu Sang Pemilik Ka'bah. Karena itu, lalu saya segera merubah niat
dan tekad saya, bahwa saya bertamu ke rumah Allah dan juga bertemu Allah
sebagai tuan rumah.
Sejak menyadari hal itu, dengan izin
Allah, saya merasa lebih mudah mencari posisi sholat yang tepat melihat
Ka'bah. Meski jamaah makin ramai dan membludak, tapi kesempatan untuk
menerobos shaf dan shalat berhadapan langsung dengan Ka'bah juga terbuka
lebar. Bahkan, ketika pintu-pintu masjid sudah distop, oleh askar saya
masih diperbolehkan masuk.
Dari pengalaman ini, saya pun
semakin sadar bahwa Allah benar-benar Maha Melihat dan Mengetahui apa
saja yang terlintas di dada manusia. Selanjutnya, setiap kali saya
melihat dan menghadap Ka'bah secara face to face, sangat mudah sekali
"Menghadirkan Allah" dalam arti beribadah seakan-akan melihat-Nya.
Inikah ihsan itu? Wallahu A'lam.
Yang pasti, ada sebuah kenikmatan tiada tara bagi siapa saja yang bertamu ke Ka'bah dan bertemu Sang Pemilik Ka'bah.
Subhanallah ...
BalasHapusmenurut kesimpulan ustad, yg telah beberapa kali menjadi tamu Allah, bagaimana niat yang baik ketika kita berangkat memenuhi panggilanNya.
niat terbaik adalah ittiba' Nabi Muhammad dan ittiba' para rasul & anbiya'. semoga niat kita masuk bersama niat-niat beliau-beliau. amin
BalasHapus