9 November 2011

Pengalaman Tersesat Di Mina 2

 


Sebenarnya, saya telah mengambil pelajaran dari pengalaman tersesat di Mina. Saya pun mengerti bahwa keledai pun takkan jatuh di lubang yang sama. Karena itu, saya waspada supaya tidak sombong dan angkuh saat berhaji di tahun 2010 kemarin, terutama di Mina.

Saya, isteri dan kedua teman kami yang juga pasutri tidak ikut KBIH alias haji mandiri. Karenanya, kami berempat bebas bergerak kemana saja tanpa harus terikat dengan aturan KBIH. Atas dasar itulah, kami memutuskan akan langsung ke Mekah setelah melempar jumrah Aqobah dan cukur (tahallul awal) dan tidak kembali ke kemah (Mina).

Usai melontar jumrah Aqobah dan cukur, kami dihadapkan pada keragu-raguan antara langsung ke Mekah atau kembali ke tenda bersama rekan-rekan lainnya. Akhirnya, kami putuskan untuk kembali saja ke Mina, toh kita masih lama di Mekah karena ikut gelombang II akhir.

Nah, ketika telah sampai di ujung Jamaraat, kami belok kiri untuk kembali ke perkemahan. Padahal seharusnya, belok kanan memutar balik. Karena kami mengira sama saja, eh nyatanya kami tersesat jauh. Terowongan Mina yang seharusnya mengantarkan kami ke perkemahan Indonesia, justru tidak saya temukan. Saya malah melewati Masjid Khaif, satu-satunya masjid di Mina yang dalam sejarah dijelaskan, di sanalah Rasulullah pernah bermalam.

Begitu menemukan masjid Khaif, saya gembira sekali. Sebab, pada haji sebelumnya saya belum pernah ke sana. Telah lama saya ingin menginap di sini sebagaimana Nabi pernah melakukannya. Kini, Allah telah menunjukkan arah ke masjid itu. Tapi, tidak dengan dua rekan saya. Mereka tampak begitu gelisah karena perjalanan kami makin jauh dan tersesat.

Kaki-kaki kami terasa begitu berat. Telah berkilo-kilo meter, jalanan Mina kami telusuri, namun arah ke perkemahan Indonesia belum juga kami temukan. "Papa biasanya tidak pernah tersesat", kata istri teman saya kepada suaminya yang memang sudah terbiasa melancong ke luar negeri.

Emosi pun kian meluap. Keduanya saling menyalahkan. Sementara saya sendiri juga senang bercampur bingung. Senang karena telah menjelajahi Mina dan masjid Khaif; bingung karena tersesat.

Akhirnya, setelah 1 jam berputar-putar, kami putuskan kembali ke Jamaraat. Dari sana baru kami temukan jalan pulang ke perkemahan Indonesia. Ketika kami tiba di perkemahan, saya merasakan hawanya begitu panas sebab AC di tenda-tenda Indonesia, banyak yang mati total. Semua jamaah haji Indonesia bagaikan berada di dalam magic-jar. Panas, pengap, penat, matang!!

Dalam hati saya berkata, "Inilah buah dari keragu-raguan. Andai kita tadi ke Mekah, pasti kita telah bertawaf Ifadhah". Akhirnya, dengan percaya diri, saya mengajak isteri dan kedua teman tadi untuk berangkat ke Mekah dan memutuskan tidak mabit di Mina. Sebab, kondisi tenda tidak memungkinkan!!

Sore harinya, kami berempat nekad berangkat ke Mekah, meski kami mendapat berita melalui sms bahwa "Masjidil Haram penuh sesak dan jamaah diharap tidak tawaf hari ini". Peringatan itu tidak kami hiraukan. Kami telah belajar dari pengalaman pagi tadi, bahwa "Jika hatimu telah berazam, membulatkan tekad, maka teruskan perjalananmu. Bertawakkallah kepada Allah, maka Dia akan membimbingmu", fa idza 'azamta, fa tawakkal 'ala Allah.

Dalam perjalanan kami ke Mekah, semua terasa lancar. Dari Mina, kami segera menemukan kendaraan yang mengantarkan kami ke Masjidil Haram. Setibanya di Al-Haram, sebelum maghrib, jamaah yang tawaf juga relatif tidak ramai sehingga memudahkan kami berempat untuk langsung thawaf ifadhah secara bergantian. Malam itu juga, kami telah sempurna menuntaskan rukun haji dan mencapai tahallul tsani.

Dari pengalaman ini saya tahu, bahwa jika kita telah menyatakan bertawakkal kepada Allah, janganlah kita ragu atau bahkan menduakan-Nya. Sebab, sekali kita menyatakan berserah diri, maka sepenuhnya serahkan dan selanjutnya, Dia akan terus membimbing kita. Percayalah!!

2 komentar:
Tulis komentar