Sebenarnya, saya telah mengambil pelajaran dari pengalaman tersesat
di Mina. Saya pun mengerti bahwa keledai pun takkan jatuh di lubang yang
sama. Karena itu, saya waspada supaya tidak sombong dan angkuh saat
berhaji di tahun 2010 kemarin, terutama di Mina.
Saya,
isteri dan kedua teman kami yang juga pasutri tidak ikut KBIH alias haji
mandiri. Karenanya, kami berempat bebas bergerak kemana saja tanpa
harus terikat dengan aturan KBIH. Atas dasar itulah, kami memutuskan
akan langsung ke Mekah setelah melempar jumrah Aqobah dan cukur
(tahallul awal) dan tidak kembali ke kemah (Mina).
Usai
melontar jumrah Aqobah dan cukur, kami dihadapkan pada keragu-raguan
antara langsung ke Mekah atau kembali ke tenda bersama rekan-rekan
lainnya. Akhirnya, kami putuskan untuk kembali saja ke Mina, toh kita
masih lama di Mekah karena ikut gelombang II akhir.
Nah,
ketika telah sampai di ujung Jamaraat, kami belok kiri untuk kembali ke
perkemahan. Padahal seharusnya, belok kanan memutar balik. Karena kami
mengira sama saja, eh nyatanya kami tersesat jauh. Terowongan Mina yang
seharusnya mengantarkan kami ke perkemahan Indonesia, justru tidak saya
temukan. Saya malah melewati Masjid Khaif, satu-satunya masjid di Mina
yang dalam sejarah dijelaskan, di sanalah Rasulullah pernah bermalam.
Begitu
menemukan masjid Khaif, saya gembira sekali. Sebab, pada haji
sebelumnya saya belum pernah ke sana. Telah lama saya ingin menginap di
sini sebagaimana Nabi pernah melakukannya. Kini, Allah telah menunjukkan
arah ke masjid itu. Tapi, tidak dengan dua rekan saya. Mereka tampak
begitu gelisah karena perjalanan kami makin jauh dan tersesat.
Kaki-kaki
kami terasa begitu berat. Telah berkilo-kilo meter, jalanan Mina kami
telusuri, namun arah ke perkemahan Indonesia belum juga kami temukan.
"Papa biasanya tidak pernah tersesat", kata istri teman saya kepada
suaminya yang memang sudah terbiasa melancong ke luar negeri.
Emosi
pun kian meluap. Keduanya saling menyalahkan. Sementara saya sendiri
juga senang bercampur bingung. Senang karena telah menjelajahi Mina dan
masjid Khaif; bingung karena tersesat.
Akhirnya, setelah 1
jam berputar-putar, kami putuskan kembali ke Jamaraat. Dari sana baru
kami temukan jalan pulang ke perkemahan Indonesia. Ketika kami tiba di
perkemahan, saya merasakan hawanya begitu panas sebab AC di tenda-tenda
Indonesia, banyak yang mati total. Semua jamaah haji Indonesia bagaikan
berada di dalam magic-jar. Panas, pengap, penat, matang!!
Dalam
hati saya berkata, "Inilah buah dari keragu-raguan. Andai kita tadi ke
Mekah, pasti kita telah bertawaf Ifadhah". Akhirnya, dengan percaya
diri, saya mengajak isteri dan kedua teman tadi untuk berangkat ke Mekah
dan memutuskan tidak mabit di Mina. Sebab, kondisi tenda tidak
memungkinkan!!
Sore harinya, kami berempat nekad berangkat
ke Mekah, meski kami mendapat berita melalui sms bahwa "Masjidil Haram
penuh sesak dan jamaah diharap tidak tawaf hari ini". Peringatan itu
tidak kami hiraukan. Kami telah belajar dari pengalaman pagi tadi, bahwa
"Jika hatimu telah berazam, membulatkan tekad, maka teruskan
perjalananmu. Bertawakkallah kepada Allah, maka Dia akan membimbingmu",
fa idza 'azamta, fa tawakkal 'ala Allah.
Dalam perjalanan
kami ke Mekah, semua terasa lancar. Dari Mina, kami segera menemukan
kendaraan yang mengantarkan kami ke Masjidil Haram. Setibanya di
Al-Haram, sebelum maghrib, jamaah yang tawaf juga relatif tidak ramai
sehingga memudahkan kami berempat untuk langsung thawaf ifadhah secara
bergantian. Malam itu juga, kami telah sempurna menuntaskan rukun haji
dan mencapai tahallul tsani.
Dari pengalaman ini saya
tahu, bahwa jika kita telah menyatakan bertawakkal kepada Allah,
janganlah kita ragu atau bahkan menduakan-Nya. Sebab, sekali kita
menyatakan berserah diri, maka sepenuhnya serahkan dan selanjutnya, Dia
akan terus membimbing kita. Percayalah!!
dan yang membuat keraguan itu adalah syetan,
BalasHapusالذي يوسوس في صدور الناس
BalasHapus