PR atau Pekerjaan Rumah dari sekolah, kerapkali membuat orang tua
kelabakan. Ibu-ibu yang dahulu pernah mengeyam bangku pendidikan hingga
tinggi, barangkali tidak masalah untuk mengajari putra-putrinya
mengerjakan PR, tapi tidak bagi ibu yang keilmuannya minim atau yang
full sibuk bekerja.
Orang tua yang tidak memahami
pelajaran SD, pasti kesulitan membantu anaknya mengerjakan PR. Apalagi,
bagi orang tua yang seharian bekerja, jelas PR adalah momok yang
mengkhawatirkan. Inilah kendala yang kenyataannya dihadapi orang tua
murid. Apalagi, pelajaran SD dinilai lebih sulit daripada yang dulu
mereka terima. PR demi PR setiap hari selalu ada sehingga menjadi beban
bagi orang tua.
Salahkah guru memberi PR? Jelas tidak!
Soal-soal yang harus dikerjakan siswa di rumah adalah berfungsi untuk
menambah frekuensi belajar siswa, sekaligus juga bertujuan untuk
melibatkan orang tua supaya memiliki rasa tanggung jawab terhadap
prestasi belajar putra-putri mereka. Oleh sebab itu, PR tetap penting
sebagai bahan evaluasi dan alat komunikasi antara pihak orang tua dan
guru.
Hanya masalahnya, yang terjadi bukan demikian. Orang
tua yang "kurang" bertanggung jawab, merasa tidak mampu, terlalu sibuk
dan menginginkan keberhasilan instant, lalu mengikut sertakan
putra-putrinya dalam les, kursus atau lembaga bantuan belajar.
Bagi
orang tua yang secara ekonomis tergolong mampu, boleh jadi tidak
masalah membayar biaya les yang ternyata lebih mahal dari SPP sekolah
yang gratis karena ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Namun, bagi
orang tua yang tidak mampu, hal ini justru menjadi beban berat. Di satu
sisi, ia harus bertanggung jawab terhadap PR anaknya, tapi di sisi lain
ia terkendala masalah biaya. Sangat dilematis!!
Memang,
beberapa sekolah maju yang menerapkan "Full Day School" sudah tidak
membebani orang tua dengan PR anaknya. Semua pelajaran habis dikaji di
waktu sekolah. Akan tetapi, sekolah semacam ini biayanya mahal sehingga
hanya terjangkau oleh beberapa gelintir masyarakat. Sementara itu, SD
kelas menengah ke bawah yang ada di perkampungan dengan waktu sekolah
yang normal, mau tidak mau perlu memberi PR. Inilah yang memberatkan
orang tua.
Terlepas dari posisi PR sebagai alat komunikasi
antara guru, orang tua dan siswa, kenyataannya, keberadaan PR yang
bertubi-tubi sangat dirasa berat di mata para orang tua siswa. Mereka
yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang baik, apalagi juga
disibukkan dengan pekerjaan sehari-hari, maka PR dari sekolah dan
rengekan anak-anaknya merupakan beban berat.
Karena itu,
sering muncul pertanyaan: apa tidak bisa sekolah tidak memberi PR? Tidak
mampukah pihak sekolah menuntaskan pelajaran di waktu sekolah? Sebab,
jika harus ada PR dan orang tua murid tidak mampu, maka mereka harus
memaksakan diri untuk mengkursuskan putra-putrinya. Artinya, sekali lagi
lagi, hal ini akan menambah biaya pendidikan!!
Jadi, kapan sekolah dasar bebas PR sehingga beban orang tua sedikit lebih berkurang?
Visit my web
www.taufiq.net
Tidak ada komentar:
Tulis komentar