Semarak dakwah semakin mendapat tempat di hati masyarakat. Buktinya,
siaran dakwah di stasiun tv menunjukkan besarnya animo jamaah yang
hadir. Demikian pula acara dan peringatan keagamaan juga menggembirakan.
Fenomena
itu patut disyukuri. Sebab, gejala ini mengindikasikan kehausan akan
sisi spiritualitas. Seiring dengan itu, muncul banyak dai baru, majelis
taklim baru dan komunitas pengajian baru yang itu semua bagian dari
dakwah. Sungguh menggembirakan.
Hanya saja, yang patut
disayangkan, dakwah dalam jumlah besar hingga jamaahnya meluber,
ternyata perlu dimanej atau diatur dengan baik agar tidak merugikan
pihak lain.
Dalam beberapa kesempatan, tidak sedikit para
pengguna jalan raya, misalnya, yang akhirnya menggerutu karena rute yang
biasa ditempuh harus ditutup karena ada pengajian umum, istighatsah
akbar, acara maulid dan sebagainya.
"Show of Jamaah" yang
memadati jalan raya dan menutup akses para pengguna jalan, semestinya
tidak perlu terjadi. Sebab, masih banyak masjid, gedung atau lapangan
yang bisa digunakan sebagai tempat acara agar tidak sampai menutup lalu
lintas jalan.
Boleh saja ada yang beralasan, "Jika konser musik saja dibiarkan menutup jalan, lalu kenapa acara keagamaan mesti dikritik?".
Mestinya,
pertanyaan ini tidak perlu muncul. Sebab, konser musik yang itu dinilai
"maksiat" memang harus beda dengan acara agama yang bernilai ibadah.
Sebuah ibadah harus dijalankan dengan tulus, ikhlas dan tidak mengganggu
orang lain.
Bila perlu, dan bahkan seharusnya, konser
musik juga harus diatur oleh aparat dengan menempatkannya di lapangan
atau gedung kesenian supaya tidak menimbulkan kemacetan, kegaduhan dan
sebagainya.
Perlakuan yang adil dan sama ini sangat
diperlukan supaya tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Sebaik apapun
niat dan kelakuan, bila itu merugikan, maka sama saja dengan tidak baik.
Selain
tentang penyelenggaraan, materi dakwah pun juga harus benar, selektif
dan tidak provokatif. Sebuah kritik memang perlu, tapi kritik atau jidal
yang ahsan (terbaik), bukan yang destruktif. Kritik yang bagus harus
bersifat kontrukstif, membangun dan menjaga nilai-nilai persatuan dengan
menghormati perbedaan yang ada.
Sangat memilukan bila
mendengar ada jamaah pengajian selepas mendengar arahan da'i, lalu
mereka melakukan pengrusakan fasilitas umum, tempat mencari nafkah
masyarakat dan sebagainya yang dihancurkan atasnama "agama" dan "nahi
munkar".
Bagaimana pun juga, cara "main hakim sendiri" di
negara hukum seperti Indonesia ini, tidak dibenarkan. Jika itu yang
terjadi, maka pada akhirnya hanya bermuara pada prespektif "menang dan
kalah", bukan "benar dan salah", lalu mengarah pada "suka dan tidak
suka".
Akhirnya, yang kuat, berkuasa dan memiliki jumlah
pengikut besar, dialah yang menjadi "pemenang". Sementara yang "kalah"
tetap menjadi yang tertindas dan terpinggirkan. Dengan pola "kekerasan",
pihak yang kalah akan sakit hati, dendam dan sebagainya sehingga sebaik
apapun sebuah petuah akan dihiraukan.
Dakwah harus
merangkul, bukan memukul. Dakwah harus ramah lingkungan, bukan malah
merusak fasilitas umum dan mencederai pihak lain. Dakwah harus cerdas
dan efektif, tidak sekedar kata-kata provokatif. Keberhasilannya tidak
dinilai dari kemampuan menggerakkan massa, tapi bagaimana merangkul
pihak-pihak yang "belum benar dan sadar" menjadi "insaf dan
bermartabat".
Tidak ada komentar:
Tulis komentar