Kata "kafir", "bid'ah" dan "sesat" (KBS) merupakan term agama yang
akhir-akhirnya ini kerap muncul. Kehadiran kata-kata itu lebih banyak
dipakai untuk menghakimi, mencap atau melabeli pihak lain yang "tidak
sesuai" dengan keyakinan dan pemikiran yang bersangkutan.
Anehnya
lagi, kata-kata KBS tadi sering muncul dari umat seagama untuk
menghakimi sesama umatnya. Jelas sekali, kata "kafir, bid'ah, sesat"
bisa dikategorikan kosakata yang bersifat provokatif karena mudahnya
memantik reaksi. Pihak yang dicap KBS, sangat tidak terima dengan itu.
Sebaliknya, pihak yang ngotot dengan KBS juga tidak mau kalah.
Di
alam demokratis seperti saat ini, kran kebebasan berpikir dan
berkeyakinan memang terbuka lebar bagi siapa saja untuk memilih sesuai
dengan pengetahuan dan keyakinannya. Dan, hal ini merupakan sesuatu yang
lumrah. Islam sendiri, dalam sebuah surah di al-Quran yang diberinama
"Surah al-Kafiruun" pada akhir ayatnya menegaskan "Bagimu agamamu,
bagiku agamaku".
Itu artinya, sikap memaksakan kehendak
memang tidak dibenarkan. Apalagi, bila pemaksaan itu dibarengi aksi
anarkis dan main hakim sendiri. Selain melanggar hukum, cara-cara kasar
semacam ini malah kontra-produktif dan mencoreng "ajaran agama" itu
sendiri.
Kata-kata seperti "kafir, bid'ah, sesat", bila
dilihat dari aspek psikolinguistik, bisa digolongkan pada kata-kata yang
menohok ke dalam jiwa. Ia dapat memancing emosi, baik bagi yang
mengucapkan maupun yang mendengar, yang menulis dan juga yang
membacanya.
Oleh karena itu, di saat kondisi sosial
seperti saat ini sedang labil, akibat berbagai permasalahan yang
dihadapi pemerintah, rakyat dan seluruh masyarakat di berbagai bidang,
maka sudah seharusnya semua pihak menahan diri untuk tidak terburu-buru
mengeluarkan statemen yang mengandung kata "kafir, bid'ah, sesat".
Terkadang,
kalimat seperti "Katakan kebenaran, meski itu pahit", sering dijadikan
"muqaddimah" untuk kemudian mengeluarkan jurus akhir yang lagi-lagi
mengandung kata penghakiman "kafir, bid'ah, sesat"
Dalam
perspektif linguistik, kata-kata "kafir, bid'ah dan sesat" serumpun
dengan kata-kata seperti: setan, iblis, laknat, neraka, rusak, kotor,
hitam". Bukankah kosakata semisalnya ini mengerikan, menakutkan,
menjauhkan dan juga membahayakan? Karenanya, sekali lagi, jangan sering
diekspos menjadi konsumsi publik.
Apalagi, bila kata
"kafir, bid'ah, sesat" tadi dibarengi kalimat seperti: "berantas
kemungkaran", "jihad melawan kebatilan", "perang,hancurkan thaghut",
maka KBS tadi akan meningkat menjadi lebih keras, lebih kasar dan lebih
tajam.
Yang sungguh mengherankan, atau lebih tepatnya
"menggelikan" adalah bahwa kata-kata "kafir, bid'ah, sesat" yang ada di
beberapa situs internet atau buku-buku berotak keras, ternyata jumlahnya
jauh lebih banyak daripada yang ada di dalam kitab suci.
Temuan
ini menunjukkan betapa rasa toleran yang dulu melekat pada masyarakat
beragama di negara ini, kini sudah mulai luntur dan berubah menjadi
sikap saling hujat, debat, dan permusuhan.
Andai, kata
"kafir, sesat dan bid'ah" bisa ditekan dengan mengedepankan saling
pengertian untuk menghormati perbedaan, maka yang lahir adalah sikap
toleran dan kesadaran untuk bisa memahami kebenaran.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar