Membincang masa depan pesantren, tentu tidak bisa lepas dari peran
alumni. Sebagai output pendidikan, alumni adalah cerminan dari
keberhasilan proses pendidikan di sebuah pesantren, sama juga dengan
lembaga pendidikan lainnya.
Seorang alumnus yang lalu
berperan aktif dan memberi manfaat di tengah masyarakat, secara tidak
langsung, berarti ia juga turut berkontribusi terhadap almamaternya.
Sebab, orang lain akan memberi penilaian berhasil terhadap pesantren
yang telah mencetak pemimpin umat.
Dalam tataran inilah,
maka posisi alumni menjadi sangat penting dalam mengharumkan citra
pesantren. Oleh karena itu, sudah seharusnya seorang alumni tidak
seperti "kacang yang lupa pada kulitnya". Hingga kapanpun, seorang
santri akan terikat dengan pesantren.
Ikatan inilah yang
disebut "shilah ruhiyah" atau ikatan ruhani antara santri dan kiai yang
boleh jadi sulit ditemukan di lembaga pendidikan selain pesantren.
Sebagai sub-kultur, pesantren menciptakan tradisi sendiri, khas santri.
Kebiasaan cium tangan kiai, berharap berkah, mencari ridho, dan
sebagainya adalah kultur khas pesantren.
Semua
karakteristik ini terjalin berkat "shilah ruhiyah" yang dibangun oleh
atmosfer pesantren. Hubungan antara kiai dan santri bukanlah "shilah
tijariyah" atau koneksi yang sifatnya transaksional. Sebab, hubungan
semacam ini lekas rapuh, tidak langgeng dan akan berakhir bila
masing-masing pihak telah puas dan memperoleh keinginannya.
Di
dalam lembaga pendidikan formal, meski tidak semuanya, hubungan antara
guru dan siswa lebih bersifat transaksional. Entah kenapa justru koneksi
tijariyah yang terlembaga. Apakah karena di sekolah formal ada SPP?
Saya kira tidak juga. Sebab, di pesantren juga ada biaya syahriyah,
bahkan ada juga yang angkanya lebih mahal daripada sekolah formal.
Tentu,
jawaban sementara yang bisa ditemukan adalah bahwa aspek spiritual
lebih banyak dikedepankan daripada sekedar proses pembelajaran. Di
pesantren, tidak sekedar ta'lim atau transfer ilmu pengetahuan, juga
tidak sebatas tadriis atau proses pembelajaran semata. Namun, lebih
daripada itu, ada hakikat "tarbiyah". Apa itu?
Berakar
dari kata "Rabb" yang bermakna "Tuhan", maka puncak tarbiyah atau
pendidikan yang dikembangkan pesantren adalah bagaimana santri bisa
mengenal Tuhannya, mencintai dan menyembah-Nya secara tulus dan ikhlas.
Dalam perspektif inilah, maka pola-pola pendidikan yang dikembangkan
pesantren sangat unik dan khas, beda dengan lainnya.
Di
pesantren, santri digembleng untuk hidup mandiri, jujur, menghormati
guru dan yang tak kalah pentingnya, santri diarahkan untuk memuliakan
ilmu yang mereka pelajari. Nah, dalam rangka memuliakan ilmu itu,
ternyata spektrumnya sangat luas. Tidak sekedar memuliakan kiai saja,
tapi juga putra-putri dan keluarga ndalem, memuliakan pesantren dan
semua hal yang ada di dalamnya, menghormati kitab kuning beserta
muallifnya, dan banyak lagi.
Oleh karena itu, motto yang
sering dibacakan adalah firman Allah yang artinya, "Allah akan
mengangkat derajat (baca: memuliakan) kaum beriman dan orang-orang yang
diberi ilmu". Ayat ini, secara implisit mengajarkan bagaimana seorang
penuntut ilmu atau santri juga harus menghormati ilmu, memuliakan orang
yang berilmu dan segala hal yang terkait dengan ilmu.
Sikap
memuliakan ilmu yang dikembangkan pesantren dan itu dikemas dalam
hubungan yang bersifat ruhaniyah, bukan tijariyah, adalah tradisi unik
ala pesantren yang harus tetap dilestarikan hingga kapanpun juga, meski
dinamika pendidikan modern terus berkembang dan berevolusi.
Jadi,
walaupun proyek pesantren masa depan ada di hadapan kita, tapi tarbiyah
dan shilah ruhiyah harus tetap dipegang teguh. Sebab, inilah
sesungguhnya santri maupun alumni dalam melangkah menuju masa depan
pendidikan Islam yang akarnya tetap menghunjam tajam di bumi, namun
rantingnya terus melambung tinggi hingga ke angkasa raya.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar