Ide untuk mendirikan Madrasah Diniyah (Madin) di Masjid Muritsul
Jannah pernah terlontar sekitar tahun 1998. Saat itu, saya masih di
pesantren. Menurut saya, ide itu cukup bagus. Bahkan kini, sudah
seharusnya masjid sebesar Muritsul Jannah yang ada di tengah kampung
padat penduduk, memiliki lembaga pendidikan semisal Madin.
Entah
mengapa ide itu berlalu begitu saja seperti hembusan angin yang tak
berbekas. Padahal, ketika itu para pengasuh majelis taklim atau guru
pengajian anak-anak, pernah dikumpulkan dan mereka pun menyatakan
setuju. Tapi, sekali lagi, ide itu sekedar ide.
Belajar
dari pengalaman tersebut, bisa disimpulkan bahwa ternyata menyatukan
hati, visi dan misi di tengah masyarakat yang hegemonis, tidaklah mudah.
Atau, boleh jadi, saat itu memang tidak ada leader yang mampu
menyatukan benang kusut. Padahal, bila semua komponen bersatu padu,
pasti sinergi di antara mereka akan melahirkan kekuatan dahsyat.
Pertanyaannya, seberapa pentingkah Madin Muritsul Jannah itu?
Sebenarnya,
kalimat ini tidak perlu ditanyakan. Sebab, jawabannya jelas sangat
penting. Bahkan, menurut saya, sangat mendesak untuk digagas sejak hari
ini. Kelak, setelah masjid baru berdiri kokoh, maka tugas semua warga
adalah mengisinya dengan kegiatan agama yang lebih semarak. Semakin
besar sebuah masjid, semakin besar pula amanat yang harus dipikul semua
jamaah.
Madin itu nantinya, akan menyatukan semua majelis
pengajian anak-anak, remaja dan dewasa yang selama ini masih berserakan
di sekitar masjid. Langsung maupun tidak langsung, keberadaan majelis
yang berjumlah banyak itu, menunjukkan bahwa pendidikan yang sedang
berkembang di kampung Kebalen, khususnya Blok Muris, masih
tradisionalis.
Artinya, ngaji ala kampungan itu bila tidak
dimanej dengan baik dan disatukan dalam wadah pendidikan yang memiliki
kurikulum lengkap, maka sampai kapanpun tidak akan pernah maju.
Anak-anak di kampung yang tidak memiliki kesempatan mondok atau
meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, seperti yang sudah-sudah,
mereka akan tertinggal dan tergerus oleh zaman.
Bila
dilihat, pengajian di kampung hanya memuat materi baca-tulis al-Quran,
pengenalan pokok akidah Islam dasar, fiqih dasar seputar bersesuci,
shalat, dan doa-doa. Pencapaian tertinggi mereka adalah khatam. Yang
penting, bisa ngaji Quran dan khatam. Itu saja. Tapi ternyata, target
inipun banyak yang tidak dicapai.
Ngaji sekedarnya,
mengajar juga ala kadarnya. Itulah pengertian ikhlas yang disalahpahami.
Akhirnya, baik guru maupun murid sama-sama menjadi korban. Demikian
pula, orang tua. Saya sebut "korban", karena dampak tidak bersatunya
semua komponen dan pendidikan yang tidak mempunyai kurikulum yang jelas
tersebut, akan dirasakan oleh semua pihak.
Singkat kata,
selama tidak ada kesamaan visi, misi dan tujuan untuk maju secara
bersama-sama, maka selama itu pula, semua akan selalu tertinggal.
"Anak-anak jadi korban", kok bisa? mengapa?
Yah,
mestinya, anak-anak dan remaja kita mendapat pendidikan agama yang
tepat, cepat dan menyeluruh. Bukankah model pendidikan dan pembelajaran
ilmu agama saat ini sudah lebih modern dengan berbagai inovasi?
Teknologi pendidikan inilah semestinya yang harus dicoba untuk
diimplementasikan di tengah masyarakat supaya mereka tidak terus menjadi
awam.
Satu contoh kecil, misalnya tentang pengajaran
al-Quran. Saat ini, telah berkembang berbagai metode dan materi
pembelajaran al-Quran dengan berbagai media interaktif yang hasilnya
terbukti efektif membuat anak cepat bisa mengaji dengan kualitas yang
baik.
Kemajuan seperti ini ternyata belum diadopsi oleh
para guru ngaji di kampung. Slogan "al-Muhafadzah alal qodimis asholih,
wal akhdu bil jadidil ashlah", menjaga tradisi lama yang baik dan
mengadopsi hal baru yang lebih baik, ternyata hanya berhenti pada
penggalan pertama. Yakni, melestarikan tradisi saja, padahal sesuatu
yang dilestarikan itu sudah jauh ketinggalan zaman.
Dari
dulu hingga sekarang, misalnya, metode ngaji masih tetap dengan metode
kuno. Apa itu? Sistem ngaji setoran. Siswa yang datang duluan, dialah
yang diajar. Tidak ada metode, tehnik, evaluasi, apalagi media
penunjang. Kenyataan ini bukan berarti para guru itu tidak mampu atau
tidak mau dengan kemajuan. Tapi, saya rasa, karena mereka hanya berjuang
sendirian dengan segala keterbatasan, termasuk kendala dana, tenaga,
waktu, tempat, fasilitas dan sebagainya.
Di sinilah
perlunya bersatu dalam satu wadah (baca: Madrasah Diniyah) sehingga
kendala ini bisa lebih mudah diatasi karena akan banyak solusi bila
ditangani bersama-sama.
"Guru pun bisa jadi korban". Bagaimana bisa?
Yah,
kita tahu nasib guru ngaji di kampung banyak yang memprihatinkan.
Secara ekonomi, mereka sangat terbatas. Apalagi, pengajian di kampung
banyak yang gratis. Serba ikhlas. Guru ngaji itu tidak mampu menarik
SPP, sebab selain didasari ikhlas, juga khawatir muridnya bubar dan
pindah ke tempat ngaji lain. Selain itu, orang tua juga juga tidak tau
menau tahu tentang hal ini.
Dan, yang lebih disayangkan
lagi, sebenarnya di tengah-tengah kampung ada banyak lulusan pesantren.
Saat mereka boyong dan ilmunya tidak diaplikasikan atau kurang
dimanfaatkan dalam pendidikan, lama-kelamaan mereka juga tertinggal. SDM
yang begitu bagus, ternyata diabaikan karena tidak ada yang
mewadahinya.
Di sinilah perlunya Madrasah Diniyah. Ia akan
menyatukan semua guru dan memanfaatkan alumni pesantren. Sebuah Madin
yang kuat dan maju dengan kurikulum rapi, didukung SDM yang potensial,
jelas akan menambah kepercayaan orang tua dan masyarakat. Jika
kepercayaan itu telah diraih, maka dengan sendirinya, Madin tadi sedikit
banyak akan menolong para guru dan alumni pesantren dalam mengamalkan
ilmunya sekaligus juga sedikit menopang kebutuhan finansial mereka.
Memperhatikan
urgensi Madin di atas, maka gagasan untuk melengkapi Masjid Muritsul
Jannah dengan lembaga pendidikan diniyah merupakan ide mulia yang sejak
hari ini harus segera dipikirkan oleh semua pihak.
Wallahu A'lam.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar