17 Mei 2012

Madin Muritsul Jannah

 


Ide untuk mendirikan Madrasah Diniyah (Madin) di Masjid Muritsul Jannah pernah terlontar sekitar tahun 1998. Saat itu, saya masih di pesantren. Menurut saya, ide itu cukup bagus. Bahkan kini, sudah seharusnya masjid sebesar Muritsul Jannah yang ada di tengah kampung padat penduduk, memiliki lembaga pendidikan semisal Madin.

Entah mengapa ide itu berlalu begitu saja seperti hembusan angin yang tak berbekas. Padahal, ketika itu para pengasuh majelis taklim atau guru pengajian anak-anak, pernah dikumpulkan dan mereka pun menyatakan setuju. Tapi, sekali lagi, ide itu sekedar ide.

Belajar dari pengalaman tersebut, bisa disimpulkan bahwa ternyata menyatukan hati, visi dan misi di tengah masyarakat yang hegemonis, tidaklah mudah. Atau, boleh jadi, saat itu memang tidak ada leader yang mampu menyatukan benang kusut. Padahal, bila semua komponen bersatu padu, pasti sinergi di antara mereka akan melahirkan kekuatan dahsyat.

Pertanyaannya, seberapa pentingkah Madin Muritsul Jannah itu?

Sebenarnya, kalimat ini tidak perlu ditanyakan. Sebab, jawabannya jelas sangat penting. Bahkan, menurut saya, sangat mendesak untuk digagas sejak hari ini. Kelak, setelah masjid baru berdiri kokoh, maka tugas semua warga adalah mengisinya dengan kegiatan agama yang lebih semarak. Semakin besar sebuah masjid, semakin besar pula amanat yang harus dipikul semua jamaah.

Madin itu nantinya, akan menyatukan semua majelis pengajian anak-anak, remaja dan dewasa yang selama ini masih berserakan di sekitar masjid. Langsung maupun tidak langsung, keberadaan majelis yang berjumlah banyak itu, menunjukkan bahwa pendidikan yang sedang berkembang di kampung Kebalen, khususnya Blok Muris, masih tradisionalis.

Artinya, ngaji ala kampungan itu bila tidak dimanej dengan baik dan disatukan dalam wadah pendidikan yang memiliki kurikulum lengkap, maka sampai kapanpun tidak akan pernah maju. Anak-anak di kampung yang tidak memiliki kesempatan mondok atau meneruskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, seperti yang sudah-sudah, mereka akan tertinggal dan tergerus oleh zaman.

Bila dilihat, pengajian di kampung hanya memuat materi baca-tulis al-Quran, pengenalan pokok akidah Islam dasar, fiqih dasar seputar bersesuci, shalat, dan doa-doa. Pencapaian tertinggi mereka adalah khatam. Yang penting, bisa ngaji Quran dan khatam. Itu saja. Tapi ternyata, target inipun banyak yang tidak dicapai.

Ngaji sekedarnya, mengajar juga ala kadarnya. Itulah pengertian ikhlas yang disalahpahami. Akhirnya, baik guru maupun murid sama-sama menjadi korban. Demikian pula, orang tua. Saya sebut "korban", karena dampak tidak bersatunya semua komponen dan pendidikan yang tidak mempunyai kurikulum yang jelas tersebut, akan dirasakan oleh semua pihak.

Singkat kata, selama tidak ada kesamaan visi, misi dan tujuan untuk maju secara bersama-sama, maka selama itu pula, semua akan selalu tertinggal.

"Anak-anak jadi korban", kok bisa? mengapa?

Yah, mestinya, anak-anak dan remaja kita mendapat pendidikan agama yang tepat, cepat dan menyeluruh. Bukankah model pendidikan dan pembelajaran ilmu agama saat ini sudah lebih modern dengan berbagai inovasi? Teknologi pendidikan inilah semestinya yang harus dicoba untuk diimplementasikan di tengah masyarakat supaya mereka tidak terus menjadi awam.

Satu contoh kecil, misalnya tentang pengajaran al-Quran. Saat ini, telah berkembang berbagai metode dan materi pembelajaran al-Quran dengan berbagai media interaktif yang hasilnya terbukti efektif membuat anak cepat bisa mengaji dengan kualitas yang baik.

Kemajuan seperti ini ternyata belum diadopsi oleh para guru ngaji di kampung. Slogan "al-Muhafadzah alal qodimis asholih, wal akhdu bil jadidil ashlah", menjaga tradisi lama yang baik dan mengadopsi hal baru yang lebih baik, ternyata hanya berhenti pada penggalan pertama. Yakni, melestarikan tradisi saja, padahal sesuatu yang dilestarikan itu sudah jauh ketinggalan zaman.

Dari dulu hingga sekarang, misalnya, metode ngaji masih tetap dengan metode kuno. Apa itu? Sistem ngaji setoran. Siswa yang datang duluan, dialah yang diajar. Tidak ada metode, tehnik, evaluasi, apalagi media penunjang. Kenyataan ini bukan berarti para guru itu tidak mampu atau tidak mau dengan kemajuan. Tapi, saya rasa, karena mereka hanya berjuang sendirian dengan segala keterbatasan, termasuk kendala dana, tenaga, waktu, tempat, fasilitas dan sebagainya.

Di sinilah perlunya bersatu dalam satu wadah (baca: Madrasah Diniyah) sehingga kendala ini bisa lebih mudah diatasi karena akan banyak solusi bila ditangani bersama-sama.

"Guru pun bisa jadi korban". Bagaimana bisa?

Yah, kita tahu nasib guru ngaji di kampung banyak yang memprihatinkan. Secara ekonomi, mereka sangat terbatas. Apalagi, pengajian di kampung banyak yang gratis. Serba ikhlas. Guru ngaji itu tidak mampu menarik SPP, sebab selain didasari ikhlas, juga khawatir muridnya bubar dan pindah ke tempat ngaji lain. Selain itu, orang tua juga juga tidak tau menau tahu tentang hal ini.

Dan, yang lebih disayangkan lagi, sebenarnya di tengah-tengah kampung ada banyak lulusan pesantren. Saat mereka boyong dan ilmunya tidak diaplikasikan atau kurang dimanfaatkan dalam pendidikan, lama-kelamaan mereka juga tertinggal. SDM yang begitu bagus, ternyata diabaikan karena tidak ada yang mewadahinya.

Di sinilah perlunya Madrasah Diniyah. Ia akan menyatukan semua guru dan memanfaatkan alumni pesantren. Sebuah Madin yang kuat dan maju dengan kurikulum rapi, didukung SDM yang potensial, jelas akan menambah kepercayaan orang tua dan masyarakat. Jika kepercayaan itu telah diraih, maka dengan sendirinya, Madin tadi sedikit banyak akan menolong para guru dan alumni pesantren dalam mengamalkan ilmunya sekaligus juga sedikit menopang kebutuhan finansial mereka.

Memperhatikan urgensi Madin di atas, maka gagasan untuk melengkapi Masjid Muritsul Jannah dengan lembaga pendidikan diniyah merupakan ide mulia yang sejak hari ini harus segera dipikirkan oleh semua pihak.

Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar