Cikal bakal Masjid Muritsul Jannah Kotalama Malang telah berdiri
sejak tahun 1965. Saat itu, bermula dari pemberian sebidang tanah waqaf
dari Kecamatan Kedungkandang seluas 8x6 meter (48 M2), maka didirikan
langgar atau mushalla yang berlokasi di dalam kampung Blok Muris
Kelurahan Kotalama di Jalan Kebalen Wetan Malang.
Pembangunan
langgar saat itu tidak serta merta didukung oleh semua warganya. Sebab,
tidak sedikit dari mereka yang terlibat kasus komunisme karena memang
mayoritas mereka termasuk kelompok Barisan Tani Indonesia yang kemudian
oleh pemerintah dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Meski demikian,
berkat tekad dan keberaniaan beberapa warga, langgar itupun akhirnya
tetap didirikan. Bahkan, tidak lebih dari 3 bulan, pembangunan langgar
telah rampung.
Yang perlu dicatat, hari saat pemasangan kap
langgar adalah tepat meletusnya peristiwa Gerakan 30 September/PKI tahun
1965. Demonstrasi terjadi di mana-mana dan para tukang pun terpaksa
menghentikan aktifitas kerjanya demi keamanan dan partisipasi melawan
kaum sparatis.
Setelah pembangunan selesai, langgar
tersebut diberi nama "Darus Salam" yang berarti “Rumah Keselamatan”. Tak
heran bila kemudian, posisi langgar saat itu benar-benar menjadi
persinggahan atau tepatnya “tempat pelarian” bagi warga yang ketakutan
karena terlibat kasus pemberontakan G30 S/PKI 1965.
Pada
kondisi semacam ini, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya. Mereka yang
sebelumnya menentang pendirian langgar, menjadi sadar dan merasa perlu
untuk mencari kedamaian dengan menginsyafkan diri dan belajar tentang
Islam.
Sekitar lima tahun kemudian, awal tahun 1970an, langgar
tersebut diperluas oleh H. Suyuti sebagai Takmir Langgar dengan membeli
sebuah rumah milik Bapak Sadat yang tepat terletak di bagian timur
langgar. Rumah yang luasnya sekitar 8x8 meter (64 M2) akhirnya
bersambung dengan langgar dengan hanya menjebol tembok rumah. Kini, luas
langgar itu menjadi 14x6 meter (122 M2).
Dengan semakin
luasnya bangunan tersebut, maka wacana untuk meningkatkan statusnya
menjadi masjid kian mendekati kenyataan. Apalagi, setahun kemudian,
tahun 1971, rumah milik Bapak Sadat yang terletak di sebelah utara-barat
langgar juga ikut dibeli oleh pengurus langgar sehingga bentuk struktur
bangunannya sama dengan huruf “L” terbalik.
Bapak Muhit
dari PCNU Kota Malang mengusulkan agar status langgar tersebut segera
ditingkatkan menjadi masjid. Akhirnya, melalui rapat kecil bersama KH
Abdullah Sattar Hilmi (Bululawang), KH Hamid Umar (Kidul Pasar) dan KH
Yahya (Gading), diputuskan untuk membina masjid. Beberapa ulama dan
tokoh masyarakat di Malang juga mendukung usulan tersebut, seperti: Kiai
Kiromun, KH Abdus Syakur, Haji Rais dan banyak lagi.
Akhirnya,
di tahun 1971 juga, dimulai pembangunan total untuk membina masjid yang
peletakan batu pertamanya dipimpin oleh KH Abdullah Sattar Hilmi dan KH
Yahya Gading. Berkat kerja keras semua warga, tidak sampai setahun,
masjid tersebut telah berdiri kokoh di tengah perkampungann yang konon
banyak pohon muris. Karena itu, lalu masjid tersebut oleh KH Abdullah
Sattar Hilmi diberinama “Masjid Muritsul Jannah li Ahlissunnah Wal
Jamaah” yang berarti “Masjid Warisan Surga milik Ahlissunnah Wal
Jamaah”.
Ketika Kiai Abdullah ditanya, “Mengapa nama masjid tersebut perlu diberi tambahan kalimat Ahlussunnah Wal Jamaah?”, beliau menjawab, “Kelak, akan banyak masjid yang menjadi rebutan oleh orang-orang yang berfaham keliru tentang Islam”.
Selama
kurun waktu 20 tahunan, mulai 1970 hingga 1990 telah banyak para alim
ulama yang turut andil membina Masjid Muritsul Jannah dengan memberi
pencerahan dan siraman ruhani. Di antaranya, KH. Abdullah Sattar Hilmi
(Bululawang), KH Yahya (Gading), KH. Hamid Umar (Kidul Pasar), Habib
Abdullah Balfaqih (Darul Hadis, Malang), KH Hasyim Muzadi (PBNU), Habib
Alwi Al-Aydrus (Tanjung, Malang), KH Muhsin (Bululawang), KH Baidhowi
(Pandean, Belimbing) hingga kini KH Basori Alwi (Singosari) dan Habib
Sholeh bin Ahmad Al-Aydrus (Malang).
Begitu banyak para
alim ulama, tokoh masyarakat, warga dan pemuda yang antusias memakmurkan
masjid sehingga tidak mengherankan bila kemudian Masjid Muritsul Jannah
dinilai sebagai Masjid Jamik-nya warga se-kelurahan Kotalama Malang.
Terlebih lagi, di dalam masjid maupun di rumah-rumah sekitarnya, juga
banyak berdiri majelis taklim dan taman pendidikan al-Qur'an bagi
anak-anak sehingga semarak keagamaan dan keilmuan makin menggembirakan.
Sekitar
tahun 1987, Masjid Muritsul Jannah yang kontruksinya masih berbentuk
huruf “L” terbalik tersebut direncanakan akan diperluas karena memang
jumlah jamaahnya kian membludak, terutama saat shalat Jumat dan tarawih.
Akhirnya, rumah milik Bapak Suri yang letaknya di sebelah timur-utara
dan berdempetan dengan masjid, dibeli juga oleh Pengurus Takmir Masjid
Muritsul Jannah.
Setelah sukses terbeli meski dengan harga
yang cukup mahal, kembali Masjid Muritsul Jannah dibangun pada tahun
1987 yang saat itu menghabiskan biaya kurang lebih 24 juta rupiah. Pada
bulan Oktober 1988, pembangunan masjid selesai dan peresmiannya ditanda
tangani oleh KH Basori Alwi.
Usai pembangunan dan
perluasan masjid tahap akhir ini, sertifikat masjid disempurnakan.
Dibantu oleh Bapak Matrap (Ketua Rw 02) dan Bapak Hamid (KUA
Kedungkandang) sertifikat tanah masjid ditetapkan sebagai waqaf dan yang
bertindak sebagai nadzir adalah Bapak Qorib dari PCNU. Kemudian,
sertifikat itu diserahkan kepada H. Suyuti sebagai Takmir Masjid
Muritsul Jannah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa
Masjid Muritsul Jannah sejatinya telah berdiri sejak 1965 dengan status
waqaf dan sempurna pada tahun 1988 dengan memiliki sertifikat tanah
yang menjadi tanggung jawab Ketua Pengurus Takmir.
Hingga
kini, bangunan Masjid Muritsul Jannah tetap eksis di atas tanah seluas
13.82 x 18.2 (251.5 M2) dan menampung jamaah sekitar 400 orang yang
terdiri dari masyarakat di sekitar masjid meliputi warga kotalama di Rw
02 dan sebagian dari warga Rw 04.
Seiring makin
meningkatnya jumlah penduduk di wilayah Kebalen Wetan dari tahun ke
tahun, kini kapasitas Masjid Muritsul Jannah pun tidak sanggup menampung
jamaah yang jumlahnya melebihi 500 orang, terutama di saat shalat Jumat
dan di bulan Ramadan. Bahkan, pengajian al-Qur'an untuk anak-anak dan
dewasa juga banyak dialihkan ke rumah-rumah para asatidz di sekitar
masjid.
Kondisi inilah yang kemudian melatar belakangi
i’tikad untuk merealiasasikan proyek pembangunan Masjid Muritsul Jannah
dengan menambah lantai atas dan sarana prasana penunjang lainnya. Dengan
pembangunan yang akan dimulai akhir tahun 2012 ini, diperkirakan Masjid
Muritsul Jannah akan sanggup menampung kurang lebih 800 jamaah.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar