Acara "Malang Tempoe Doeloe" (MTD) atau Malang Kembali yang digelar
tiap tahun di kota bunga ini, telah berakhir pada Minggu, 27 Mei 2012
yang lalu. MTD selalu menarik animo masyarakat untuk turut meramaikan
"pasar jalanan" itu. Pengunjungnya bukan hanya warga kota Malang saja,
tapi juga dari luar kota. Dari aspek ini, bisa dikatakan berhasil.
Secara
ekonomis, jelas even tahunan ini mampu menyedot jutaan rupiah.
Pemerintah kota, pemilik stand pameran, pedagang asongan hingga juru
parkir bisa meraup keuntungan. Sedangkan dari aspek pariwisata, MTD bisa
dinilai berhasil menarik pengunjung yang tiap tahun makin membludak.
Pada
gelaran MTD pertama dulu, even ini bisa dikatakan unik. Pengunjung bisa
bernostalgia mengingat suasana kota di masa lalu, termasuk juga jajanan
kampung, foto-foto kuno, dan sebagainya. Mereka pun bisa menikmati
sajian seni dan kreasi warga malang yang inovatif sehingga membuat para
Aremania tergugah untuk terus melestarikan budaya dan menjaga alam
sekitarnya.
Tujuan itu sungguh mulia, selain juga tentunya
untuk menciptakan pasar dan lapangan kerja, serta menggairahkan minat
pariwisata yang saat ini telah meluas variannya. Tidak sekedar wisata
alam, tapi juga wisata kuliner, wisata seni dan budaya, wisata
pendidikan, dan macam-macam.
Di tahun 2012 ini, MTD pasti
lebih padat dari tahun sebelumnya. Namun pertanyaannya, apakah tujuan di
atas sudah tercapai atau belum? Sebab, MTD saat ini dan mungkin
berlanjut hingga di tahun-tahun mendatang, sudah bukan lagi murni ajang
pariwisata dan pamer seni serta budaya. Akan tetapi, lebih tepatnya
adalah ajang bisnis alias pasar pindah yang ditumpahkan di pusat kota.
Akibatnya, lalu lintas macet, warga sekitar stres, jalanan menjadi
kotor, dan yang terlihat cuma keramaian dan kesemrawutan!
Entah
apa pikiran pemerintah Malang. Kota ini seakan tidak punya planning
yang jelas. Tidak punya lompatan program yang cerdas selain menciptakan
pasar seramai-ramainya dan sesumpek-sumpeknya. MTD yang bertujuan mulia
itu seakan tidak membekas sama sekali bagi rakyat selain hanya
menciptakan kesemrawutan kota.
Buktinya, pasca MTD
digelar, warga kota sama sekali tidak lantas tertarik menciptakan
lingkungan asri dan menjaga kebersihan. Gedung budaya, musium, pagelaran
seni juga makin lesu. Yang tampak setelah itu adalah kian ramainya
pedagang kaki lima yang tidak mampu diatur oleh pemerintah.
Dengan
kata lain, MTD ini bisa dicap gagal dan bahkan untuk pemerintah kota
pun, jangan ragu-ragu untuk dikatakan "Gagal Total". Malang kota bunga,
dingin dan asri, hanya tinggal kenangan. Sebab, kini sampah-sampah
berserakan dan pasar tumpah di jalan-jalan raya. Jika hujan tiba, banjir
menggenang dimana-mana.
Setelah MTD digelar, mestinya
dievaluasi efek positif dan negatifnya. Dan, yang lebih penting lagi,
mampukah even tahunan itu menggugah kesadaran warga malang kota untuk
menjaga keasrian, melestarikan cagar budaya, menggairahkan kesenian dan
semangat bekerja.
Sementara itu, yang terjadi kini, lambat
laun tapi pasti, kota Malang telah mulai bergeser dari kota pendidikan
menjadi kota pasar, kota ruko, kota parkir dan kota PKL liar. Gambaran
ini kontra-produktif dengan tujuan digelarnya MTD tiap tahun.
Pasca
MTD, warga kota kian disuguhnya lahirnya ruko-ruko di sepanjang jalan
yang harganya tidak terjangkau oleh pedagang kecil. Sedangkan
pasar-pasar yang ada, sudah kian padat dan meluber hingga ke jalanan.
Anehnya lagi, warga kota malah lebih senang berjalan-jalan sambil
menyisiri jualan para PKL yang tumpah ruah di jalan daripada belanja di
pasar.
Jika memang itu kegemaran warga dan hanya itu
satu-satunya cara menciptakan pasar dan lapangan kerja dengan menampung
para PKL di even besar atau di lokasi terbuka seperti MTD atau Pasar
Pagi Jalan Semeru di tiap hari Minggu, maka semestinya pemerintah segera
belajar dan mencari terobosan untuk menampung aspirasi ini.
Pasar
Comboran, Rombengan Malam (Roma) di Jalan Gatot Subroto, Pasar Buku di
Jalan Wilis, Pasar Hewan di Splindid, Pasar Pagi di Jalan Semeru, semua
itu adalah gambaran pasar rakyat yang menjadi telah trend. Sebuah pasar
yang kesannya murah, semua pihak baik penjual maupun pembeli bisa
mengakses secara murah, pengunjung pun merasa enjoy, dan seterusnya.
Pasar-pasar
murah yang spesifik dengan ciri-ciri khusus itulah yang semestinya
diperbanyak oleh pemerintah. Bukan malah pembangunan mall, ruko,
supermarket, dan seterusnya yang harganya tidak terjangkau baik oleh
pedagang maupun konsumen. Pasar-pasar besar semacam ini pada akhirnya
hanya dikuasai para pemilik modal. Akibatnya, rakyat kecil yang modalnya
pas-pasan akan terus tergusur. Meminjam bait lagu Bung Rhoma, "Yang
kaya makin kaya, yang miskin makin miskin".
Namun
demikian, yang perlu dicatat, meski pasar-pasar tumpah itu sangat
digemari, pemerintah harus tetap menjamin ketertiban, keamanan dan
kenyamaan. Bagaimana sebuah pasar diciptakan bukan hanya bernilai bisnis
tapi juga pariwisata dan juga tidak merusak tatanan etika dan tidak
meninggalkan sisi-sisi edukatif karena Malang juga dikenal sebagai "Kota
Pendidikan". Tapi, sekali lagi, pasar rakyat harus diatur dengan tertib
dan ditempatkan pada lokasi yang lapang, tidak mengganggu akses lalu
lintas dan tidak merusak lingkungan.
aktual...
BalasHapustrims
BalasHapus