30 Mei 2012

Malang; Doeloe & Kini

 


Acara "Malang Tempoe Doeloe" (MTD) atau Malang Kembali yang digelar tiap tahun di kota bunga ini, telah berakhir pada Minggu, 27 Mei 2012 yang lalu. MTD selalu menarik animo masyarakat untuk turut meramaikan "pasar jalanan" itu. Pengunjungnya bukan hanya warga kota Malang saja, tapi juga dari luar kota. Dari aspek ini, bisa dikatakan berhasil.

Secara ekonomis, jelas even tahunan ini mampu menyedot jutaan rupiah. Pemerintah kota, pemilik stand pameran, pedagang asongan hingga juru parkir bisa meraup keuntungan. Sedangkan dari aspek pariwisata, MTD bisa dinilai berhasil menarik pengunjung yang tiap tahun makin membludak.

Pada gelaran MTD pertama dulu, even ini bisa dikatakan unik. Pengunjung bisa bernostalgia mengingat suasana kota di masa lalu, termasuk juga jajanan kampung, foto-foto kuno, dan sebagainya. Mereka pun bisa menikmati sajian seni dan kreasi warga malang yang inovatif sehingga membuat para Aremania tergugah untuk terus melestarikan budaya dan menjaga alam sekitarnya.

Tujuan itu sungguh mulia, selain juga tentunya untuk menciptakan pasar dan lapangan kerja, serta menggairahkan minat pariwisata yang saat ini telah meluas variannya. Tidak sekedar wisata alam, tapi juga wisata kuliner, wisata seni dan budaya, wisata pendidikan, dan macam-macam.

Di tahun 2012 ini, MTD pasti lebih padat dari tahun sebelumnya. Namun pertanyaannya, apakah tujuan di atas sudah tercapai atau belum? Sebab, MTD saat ini dan mungkin berlanjut hingga di tahun-tahun mendatang, sudah bukan lagi murni ajang pariwisata dan pamer seni serta budaya. Akan tetapi, lebih tepatnya adalah ajang bisnis alias pasar pindah yang ditumpahkan di pusat kota. Akibatnya, lalu lintas macet, warga sekitar stres, jalanan menjadi kotor, dan yang terlihat cuma keramaian dan kesemrawutan!

Entah apa pikiran pemerintah Malang. Kota ini seakan tidak punya planning yang jelas. Tidak punya lompatan program yang cerdas selain menciptakan pasar seramai-ramainya dan sesumpek-sumpeknya. MTD yang bertujuan mulia itu seakan tidak membekas sama sekali bagi rakyat selain hanya menciptakan kesemrawutan kota.

Buktinya, pasca MTD digelar, warga kota sama sekali tidak lantas tertarik menciptakan lingkungan asri dan menjaga kebersihan. Gedung budaya, musium, pagelaran seni juga makin lesu. Yang tampak setelah itu adalah kian ramainya pedagang kaki lima yang tidak mampu diatur oleh pemerintah.

Dengan kata lain, MTD ini bisa dicap gagal dan bahkan untuk pemerintah kota pun, jangan ragu-ragu untuk dikatakan "Gagal Total". Malang kota bunga, dingin dan asri, hanya tinggal kenangan. Sebab, kini sampah-sampah berserakan dan pasar tumpah di jalan-jalan raya. Jika hujan tiba, banjir menggenang dimana-mana.

Setelah MTD digelar, mestinya dievaluasi efek positif dan negatifnya. Dan, yang lebih penting lagi, mampukah even tahunan itu menggugah kesadaran warga malang kota untuk menjaga keasrian, melestarikan cagar budaya, menggairahkan kesenian dan semangat bekerja.

Sementara itu, yang terjadi kini, lambat laun tapi pasti, kota Malang telah mulai bergeser dari kota pendidikan menjadi kota pasar, kota ruko, kota parkir dan kota PKL liar. Gambaran ini kontra-produktif dengan tujuan digelarnya MTD tiap tahun.

Pasca MTD, warga kota kian disuguhnya lahirnya ruko-ruko di sepanjang jalan yang harganya tidak terjangkau oleh pedagang kecil. Sedangkan pasar-pasar yang ada, sudah kian padat dan meluber hingga ke jalanan. Anehnya lagi, warga kota malah lebih senang berjalan-jalan sambil menyisiri jualan para PKL yang tumpah ruah di jalan daripada belanja di pasar.

Jika memang itu kegemaran warga dan hanya itu satu-satunya cara menciptakan pasar dan lapangan kerja dengan menampung para PKL di even besar atau di lokasi terbuka seperti MTD atau Pasar Pagi Jalan Semeru di tiap hari Minggu, maka semestinya pemerintah segera belajar dan mencari terobosan untuk menampung aspirasi ini.

Pasar Comboran, Rombengan Malam (Roma) di Jalan Gatot Subroto, Pasar Buku di Jalan Wilis, Pasar Hewan di Splindid, Pasar Pagi di Jalan Semeru, semua itu adalah gambaran pasar rakyat yang menjadi telah trend. Sebuah pasar yang kesannya murah, semua pihak baik penjual maupun pembeli bisa mengakses secara murah, pengunjung pun merasa enjoy, dan seterusnya.

Pasar-pasar murah yang spesifik dengan ciri-ciri khusus itulah yang semestinya diperbanyak oleh pemerintah. Bukan malah pembangunan mall, ruko, supermarket, dan seterusnya yang harganya tidak terjangkau baik oleh pedagang maupun konsumen. Pasar-pasar besar semacam ini pada akhirnya hanya dikuasai para pemilik modal. Akibatnya, rakyat kecil yang modalnya pas-pasan akan terus tergusur. Meminjam bait lagu Bung Rhoma, "Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin".

Namun demikian, yang perlu dicatat, meski pasar-pasar tumpah itu sangat digemari, pemerintah harus tetap menjamin ketertiban, keamanan dan kenyamaan. Bagaimana sebuah pasar diciptakan bukan hanya bernilai bisnis tapi juga pariwisata dan juga tidak merusak tatanan etika dan tidak meninggalkan sisi-sisi edukatif karena Malang juga dikenal sebagai "Kota Pendidikan". Tapi, sekali lagi, pasar rakyat harus diatur dengan tertib dan ditempatkan pada lokasi yang lapang, tidak mengganggu akses lalu lintas dan tidak merusak lingkungan.

2 komentar:
Tulis komentar