20 Mei 2012

Uang dan Gelar Juara

 


"Uang Bicara", sepertinya, slogan ini masih tetap ampuh. Meski tak semua hal bisa dibeli, tak semuanya mampu ditentukan oleh uang, tapi nyatanya, melihat keberhasilan Chelsea meraih Juara Piala Champions 2012 dan Manchester City menjuarai Liga Inggris 2012, maka sekali lagi, terbukti, uang menunjukkan tajinya.

Lega rasanya bagi Roman Abramovich, owner Chelsea, melihat tim yang telah ia gelontori jutaan poundsterling, menjadi jawara Eropa setelah semalam menjungkalkan sang favorit juara Bayer Munchen di kandangnya sendiri melalui drama adu pinalti. Sejarah telah mencatat, Chelsea sebagai tim juara baru setelah 14 tahun hanya trophy Champions hanya direbut para tim oportunis yang langganan juara.

Tim besar lain yang biasa dikenal hebat, akhirnya bertekuk lutut dibawah tim kaya raya. Sebutnya saja Barcelona yang dengan permainan taka-tikinya sangat menghibur penonton, lalu Real Madrid yang bertabur bintang, Manchester United yang tipikal dengan gaya menyerang ala Inggris, atau AC Milan, Inter, Arsenal, semuanya tumbang.

Chelsea, meski gaya permainannya dihujat dan diklaim akan merusak keindahan sepakbola, nyatanya hanya dengan gaya itu plus limpahan uang dari Sang Bos, klub yang bermarkas di London itu berhasil mencapai prestasi tertinggi di dataran benua biru. Tentunya, faktor Di Matteo, sang pelatih sementara di masa transisi ini, tak bisa diabaikan.

Yah, meski didaulat sebagai pengganti sementara pasca Villa Boas dipecat di pertengahan musim kompetisi dan bahkan pelatih muda asal Italia itu sama sekali tidak masuk dalam daftar pelatih terkemuka di mata Roman Abramovich. Namun, Di Matteo telah memberi bukti untuk Chelsea, bahwa di akhir musim ini, klub berjuluk The Blues berhasil meraih Double Winner setelah sebelumnya, Chelsea merengkuh piala FA dengan mengkandaskan Liverpool di partai final.

Dua minggu lalu, publik sepakbola dibuat terhenyak dan hanyut dalam euforia tinggi setelah dalam 90 menit, mereka menahan nafas melihat Manchester City tertekan dan bahkan kalah. Tapi, hanya dalam waktu 2 menit di akhir masa injury time, klub besutan Roberto Mancini itu mengubah ketegangan menjadi luapan kegembiraan setelah Kun Aguero mencetak gol penentu.

Dan, dominasi setan merah pun akhirnya bisa ditaklukkan Manchester Biru yang sejak 2008 lalu dibeli oleh Syekh Mansour. Dengan dana melebihi 5.100 Trilyun, ambisi petinggi klub yang bermarkas di Stadion Etihad itu akhirnya bisa merengkuh gelar di Liga Primer Inggris (LPI), liga paling kompetitif di dunia.

Tolong bedakan dengan LPI (Liga Primer Indonesia) atau ISL. Di Indonesia, yang kompetitif bukan bagaimana klub berlomba meraih gelar dan prestasi, tapi bagaimana klub-klub dikelola asal-asalan, miskin dana, petingginya hanya berebut kekuasaan, pembinaan acak-acakan. Ah, sudahlah jangan bicara sepak bola Indonesia, mengenaskan!

Dalam tulisan ini, saya hanya mengatakan, setelah melihat raihan kedua klub Inggris; Manchester City sebagai jawara Liga Primer Inggris dan Chelsea yang menjuarai Liga Champions, ada satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa ternyata uang memang bisa menentukan segalanya.

Memang, pada awalnya, uang dinilai gagal dan bahkan tidak bisa berbuat banyak saat dihubungkan dengan sepakbola. Sebab, menurut para pengamat, bola masih bundar, apapun bisa terjadi dan uang bukan jaminan satu-satunya.

Iya, pendapat itu ada benarnya dan itu mereka katakan saat dulu Chelsea gagal meraih Liga Champions edisi 2008 karena kalah adu pinalti dengan MU. Iya, pendapat itu benar saat Manchester City di tiga tahun pertama tak bisa meraih tropi satupun, kecuali tahun lalu. Itupun Piala FA, trophy kasta kedua di Inggris.

Fans MU bahkan terang-terangan mengejek City. Mereka menyebut City dan Chelsea identik dengan uang daripada MU yang mereka klaim bersahabat dengan gelar. Setan Merah mungkin lupa, bahwa di tahun 1993 mereka pun melakukan yang sama dengan cara pembelian pemain dengan transfer fantastis demi sebuah gelar.

Apapun alasan orang yang menghina duit dan masih bersikukuh bahwa uang tidak bisa membeli gelar, kini mereka harus mengubah opini itu. Atau paling tidak, untuk saat ini harus mengakui bahwa suntikan dana memang diperlukan untuk meraih cita-cita.

Dengan dana melimpah dan istiqomah yang terus digelontorkan Roman Abramovich dan Syekh Mansoer yang seakan tanpa batas, pada saatnya kini klub mereka telah menuai apa mereka tanam; gelar, torehan sejarah, gengsi, kekuasaan dan tentunya gelimangan harta, saham dan sponsor.

Sekali lagi, inilah saatnya uang yang bicara dalam sepakbola. Kalau dalam kitab "taklim muta'allim" salah satu syarat mendapat ilmu harus ada "bulghah" atau modal finansial yang cukup, maka demikian pula dalam sepakbola.

Apalagi saat ini, sepakbola bukan sekedar olahraga atau seni mengocek bola, tapi sepakbola telah menjadi sebuah industri. Ada bisnis besar di sekitar bola yang bundar itu. Ada peluang investasi dan liberalisasi ekonomi yang menarik para konglomerat untuk meraih keuntungan sebanyak-banyak, baik di dalam maupun di luar lapangan hijau.

Karena itu, pengelolaan dana yang tepat dan gelontoran uang sebagai bukti pengorbanan, merupakan satu hal penting yang tak bisa diabaikan. Bakat dan skill saja, tidak cukup. Fanatisme fans dan syahwat besar para  petinggi klub, juga tidak cukup. Semangat dan kesatuan semua pihak, ternyata perlu didukung dengan uang sebagai daya dorongnya.

Inilah sepakbola. Kalau bola saja, cukup angin sebagai ruh. Tapi sepakbola membutuhkan semuanya, fans, pengelolaan kompetisi yang profesional, sponsor, pemain handal, pelatih top, media massa, manajemen klub dan yang penting adalah uang! Sinergi semuanya itu akan berujung pada gelar yang diimpikan.

Selamat Chelsea dan Roman Abramovich. Selamat Manchester City dan Syekh Mansoer. Anda telah menunjukkan pada dunia, bahwa bola tidak cukup disepak, tapi juga disuntik dengan uang.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar