"Uang Bicara", sepertinya, slogan ini masih tetap ampuh. Meski tak
semua hal bisa dibeli, tak semuanya mampu ditentukan oleh uang, tapi
nyatanya, melihat keberhasilan Chelsea meraih Juara Piala Champions 2012
dan Manchester City menjuarai Liga Inggris 2012, maka sekali lagi,
terbukti, uang menunjukkan tajinya.
Lega rasanya bagi
Roman Abramovich, owner Chelsea, melihat tim yang telah ia gelontori
jutaan poundsterling, menjadi jawara Eropa setelah semalam menjungkalkan
sang favorit juara Bayer Munchen di kandangnya sendiri melalui drama
adu pinalti. Sejarah telah mencatat, Chelsea sebagai tim juara baru
setelah 14 tahun hanya trophy Champions hanya direbut para tim oportunis
yang langganan juara.
Tim besar lain yang biasa dikenal
hebat, akhirnya bertekuk lutut dibawah tim kaya raya. Sebutnya saja
Barcelona yang dengan permainan taka-tikinya sangat menghibur penonton,
lalu Real Madrid yang bertabur bintang, Manchester United yang tipikal
dengan gaya menyerang ala Inggris, atau AC Milan, Inter, Arsenal,
semuanya tumbang.
Chelsea, meski gaya permainannya dihujat
dan diklaim akan merusak keindahan sepakbola, nyatanya hanya dengan
gaya itu plus limpahan uang dari Sang Bos, klub yang bermarkas di London
itu berhasil mencapai prestasi tertinggi di dataran benua biru.
Tentunya, faktor Di Matteo, sang pelatih sementara di masa transisi ini,
tak bisa diabaikan.
Yah, meski didaulat sebagai pengganti
sementara pasca Villa Boas dipecat di pertengahan musim kompetisi dan
bahkan pelatih muda asal Italia itu sama sekali tidak masuk dalam daftar
pelatih terkemuka di mata Roman Abramovich. Namun, Di Matteo telah
memberi bukti untuk Chelsea, bahwa di akhir musim ini, klub berjuluk The
Blues berhasil meraih Double Winner setelah sebelumnya, Chelsea
merengkuh piala FA dengan mengkandaskan Liverpool di partai final.
Dua
minggu lalu, publik sepakbola dibuat terhenyak dan hanyut dalam euforia
tinggi setelah dalam 90 menit, mereka menahan nafas melihat Manchester
City tertekan dan bahkan kalah. Tapi, hanya dalam waktu 2 menit di akhir
masa injury time, klub besutan Roberto Mancini itu mengubah ketegangan
menjadi luapan kegembiraan setelah Kun Aguero mencetak gol penentu.
Dan,
dominasi setan merah pun akhirnya bisa ditaklukkan Manchester Biru yang
sejak 2008 lalu dibeli oleh Syekh Mansour. Dengan dana melebihi 5.100
Trilyun, ambisi petinggi klub yang bermarkas di Stadion Etihad itu
akhirnya bisa merengkuh gelar di Liga Primer Inggris (LPI), liga paling
kompetitif di dunia.
Tolong bedakan dengan LPI (Liga
Primer Indonesia) atau ISL. Di Indonesia, yang kompetitif bukan
bagaimana klub berlomba meraih gelar dan prestasi, tapi bagaimana
klub-klub dikelola asal-asalan, miskin dana, petingginya hanya berebut
kekuasaan, pembinaan acak-acakan. Ah, sudahlah jangan bicara sepak bola
Indonesia, mengenaskan!
Dalam tulisan ini, saya hanya
mengatakan, setelah melihat raihan kedua klub Inggris; Manchester City
sebagai jawara Liga Primer Inggris dan Chelsea yang menjuarai Liga
Champions, ada satu hal yang perlu digaris bawahi, bahwa ternyata uang
memang bisa menentukan segalanya.
Memang, pada awalnya,
uang dinilai gagal dan bahkan tidak bisa berbuat banyak saat dihubungkan
dengan sepakbola. Sebab, menurut para pengamat, bola masih bundar,
apapun bisa terjadi dan uang bukan jaminan satu-satunya.
Iya,
pendapat itu ada benarnya dan itu mereka katakan saat dulu Chelsea
gagal meraih Liga Champions edisi 2008 karena kalah adu pinalti dengan
MU. Iya, pendapat itu benar saat Manchester City di tiga tahun pertama
tak bisa meraih tropi satupun, kecuali tahun lalu. Itupun Piala FA,
trophy kasta kedua di Inggris.
Fans MU bahkan
terang-terangan mengejek City. Mereka menyebut City dan Chelsea identik
dengan uang daripada MU yang mereka klaim bersahabat dengan gelar. Setan
Merah mungkin lupa, bahwa di tahun 1993 mereka pun melakukan yang sama
dengan cara pembelian pemain dengan transfer fantastis demi sebuah
gelar.
Apapun alasan orang yang menghina duit dan masih
bersikukuh bahwa uang tidak bisa membeli gelar, kini mereka harus
mengubah opini itu. Atau paling tidak, untuk saat ini harus mengakui
bahwa suntikan dana memang diperlukan untuk meraih cita-cita.
Dengan
dana melimpah dan istiqomah yang terus digelontorkan Roman Abramovich
dan Syekh Mansoer yang seakan tanpa batas, pada saatnya kini klub mereka
telah menuai apa mereka tanam; gelar, torehan sejarah, gengsi,
kekuasaan dan tentunya gelimangan harta, saham dan sponsor.
Sekali
lagi, inilah saatnya uang yang bicara dalam sepakbola. Kalau dalam
kitab "taklim muta'allim" salah satu syarat mendapat ilmu harus ada
"bulghah" atau modal finansial yang cukup, maka demikian pula dalam
sepakbola.
Apalagi saat ini, sepakbola bukan sekedar
olahraga atau seni mengocek bola, tapi sepakbola telah menjadi sebuah
industri. Ada bisnis besar di sekitar bola yang bundar itu. Ada peluang
investasi dan liberalisasi ekonomi yang menarik para konglomerat untuk
meraih keuntungan sebanyak-banyak, baik di dalam maupun di luar lapangan
hijau.
Karena itu, pengelolaan dana yang tepat dan
gelontoran uang sebagai bukti pengorbanan, merupakan satu hal penting
yang tak bisa diabaikan. Bakat dan skill saja, tidak cukup. Fanatisme
fans dan syahwat besar para petinggi klub, juga tidak cukup. Semangat
dan kesatuan semua pihak, ternyata perlu didukung dengan uang sebagai
daya dorongnya.
Inilah sepakbola. Kalau bola saja, cukup
angin sebagai ruh. Tapi sepakbola membutuhkan semuanya, fans,
pengelolaan kompetisi yang profesional, sponsor, pemain handal, pelatih
top, media massa, manajemen klub dan yang penting adalah uang! Sinergi
semuanya itu akan berujung pada gelar yang diimpikan.
Selamat
Chelsea dan Roman Abramovich. Selamat Manchester City dan Syekh
Mansoer. Anda telah menunjukkan pada dunia, bahwa bola tidak cukup
disepak, tapi juga disuntik dengan uang.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar