Sejak pertengahan tahun 60an, Kiai Abdullah Sattar Hilmi telah
bolak-balik dari ndalem dan pesantrennya di Gondanglegi menuju kampung
Kebalen Wetan. Jarak antara kabupaten tempat beliau menetap dengan kota
Malang sebagai pelabuhan dakwah, memang cukup jauh sekitar 25-30 km.
Namun, itu semua tak menyurutkan beliau untuk berdakwah.
Di
kampung Kebalen Wetan sendiri, saat itu masih sepi dan tandus.
Penduduknya juga tidak begitu banyak. Mayoritas warganya banyak yang
"abangan", tidak seperti saat ini yang didominasi kaum santri. Bahkan,
menurut penuturan para sesepuh, di tahun 60an, banyak warga Kebalen yang
terdaftar sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) yang merupakan
afiliasi PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia.
Selain
latar belakang warga Kebalen yang abangan dan kelam, tidak sedikit
mereka yang sehari-hari hidup bergelimang maksiat. Hampir tiap malam, di
dalam kampung dan jalanan, ada ajang pesta minuman keras, judi, zina
dan sebagainya. Keadaan ini yang mendorong Kiai Dullah -panggilan
singkat KH Abdullah Sattar Hilmi- untuk rela berjuang dan berkorban demi
tegaknya agama Islam di hati masyarakat.
Setiap ke
kampung Kebalen Wetan, beliau singgah di rumah H. Ahmad Suyuti sebagai
salah satu tokoh perintis Masjid Muritsul Jannah yang saat itu masih
berupa langgar. Tahun 1965, sebuah langgar berdiri kokoh di tengah
kampung dan diberinama Langgar "Darus Salam" atau "Rumah Keselamatan".
Langgar
ini memiliki makna strategis dalam pengembangan dakwah Islam di Kebalen
yang mayoritas warganya masih abangan dan awam tentang ajaran Islam,
meski mereka mengaku sebagai muslim. Dengan sabar, Kiai Dullah datang ke
langgar dan mengajarkan tentang dasar-dasar akidah dan syariat Islam.
Kiai kharismatik itu terus istiqamah mengajak warga setempat untuk
mendalami Islam dan mengenalkan Allah beserta Rasul-Nya.
Konon,
pengajian Kiai Dullah sering dimulai pada pukul 9 malam hingga jam 12.
Bukan hanya mengaji al-Quran dan kitab-kitab saja, namun beliau juga
mengajak para santrinya berdzikir, beristighatsah, demi sebuah
perubahan. Yakni, perubahan dari gelapnya jahiliyah menuju terangnya
cahaya iman dan islam.
Di tahun 1970an, langgar "Darus
Salam" diperluas. Seiring dengan itu, maka status langgar tersebut
dinaikkan menjadi masjid yang lalu oleh Kiai Dullah diberinama "Muritsul
Jannah li Ahlissunnah Wal Jamaah". Artinya, pusaka surga bagi muslim
berakidah Aswaja. Ketika beliau ditanya, "Mengapa nama itu ditambahi
Ahlissunnah Wal Jamaah?". Sang Kiai menjawab, "Kelak, akan banyak masjid
menjadi rebutan oleh orang-orang yang beraliran menyimpang dari Islam".
Nama
ini juga identik dengan kampung tempat masjid tersebut berdiri kokoh.
Yakni, kampung blok muris karena kebetulan di lokasi sekitar masjid
ditumbuhi pohon muris. Berdirinya masjid ini disambut gembira oleh para
kiai dan tokoh agama setempat. Para ulama yang turut andil membina
masjid, antara lain: KH Abdullah Sattar Hilmi (Gondanglegi), KH Yahya
(Gading), Kiai Kiromun (Kotalama), H. Muhit (PCNU Malang), H.A. Suyuti
(Takmir), dan banyak lagi.
Perjuangan Kiai Dullah telah
membuahkan hasil. Banyak para kiai, santri, warga setempat yang mengaji
kepada beliau, antara lain: Kiai Qurtubi (Blok Muris), KH Mustaid Imron
(Kotalama), H. Supar, H. Roudhawi, H. Zainal Arifin, H. Kholil, Bpk
Mursyidi, dan banyak lagi. Bertambahnya jumlah santri yang turut dalam
pengajian Kiai Dullah menunjukkan keberhasilan beliau dalam berdakwah.
Selama
kurun waktu 10 tahun lebih, Kiai Dullah berjuang di kampung Kebalen.
Hingga di tahun 1978, beliau mulai jarang rawuh di Masjid Muritsul
Jannah karena faktor kesehatan. Di saat-saat akhir hayatnya, Kiai Dullah
berpesan agar supaya H.A. Suyuti sebagai takmir masjid segera mencari
pengganti beliau.
"Siapa, Kiai?", tanya Abah Suyuti. "Nak,
di Singosari dekat pasar, ada seorang alim bernama Ustadz Basori.
Kelak, dia akan menjadi kiai besar. Nama lengkapnya Basori Alwi.
Sampaikan salam saya kepada Ustadz Basori agar dia istiqamah berjuang di
Masjid Muritsul Jannah".
Saat itu, Ustadz Basori lebih
populer dipanggil ustadz. Namanya juga mulai santer terdengar berkat
keahliannya dalam tilawah al-Quran. Ketika takmir masjid sowan ke rumah
Sang Ustadz dan menyampaikan pesan Kiai Dullah, Ustadz Basori tampak
berlinang air matanya. Mungkin saja, itu adalah isyarat bahwa ajal Kiai
Dullah sudah dekat. Bagi seorang mukmin, kepergian seorang ulama
merupakan musibah yang cukup berat.
Benar, awal tahun
1980an, KH. Abdullah Sattar Hilmi tutup usia. Para kiai, asatidz, tokoh
masyarakat dan warga kabupaten dan kota Malang telah ditinggal pergi
oleh sosok Kiai Kharismatik yang kuat menjaga prinsip dan istiqamah
dalam berjuang. Tak terkecuali, warga Kebalen Wetan dan jamaah Masjid
Muritsul Jannah. Kiai panutan mereka telah dipanggil Sang Maha Kuasa.
Berikutnya,
tongkat estafet perjuangan Kiai Abdullah Sattar di Kebalen Wetan telah
diserahkan kepada Ustadz Basori Alwi. Bagi ustadz asal Singosari itu,
tak terbayang sedikitpun, bagaimana nanti beratnya memegang amanah dan
meneruskan perjuangan Kiai Dullah dengan istiqamah. Yang penting, bagi
beliau, memenuhi wasiat Kiai Dullah sama artinya memenuhi perintah Allah
untuk membumikan Islam.
Jarak tempuh yang jauh antara
Singosari-Malang, tidak jadi penghalang bagi Ustadz Basori. Sejak tahun
1978 hingga kini, KH, Basori Alwi tidak pernah berhenti mengajar
al-Quran dan agama Islam di Masjid Muritsul Jannah, Kotalama, Malang.
Semenjak Ustadz Basori masih muda dan segar bugar hingga kini beliau
didorong kursi roda, perjuangannya di kampung Kebalen Wetan, tetap
berlangsung istiqamah.
Subhanallah! Luar biasa! Ternyata,
KH. Abdullah Sattar Hilmy benar-benar tepat dalam memilih penggantinya.
Dialah KH Basori Alwi asli Singosari yang tetap istiqamah melaksanakan
amanah dakwah hingga kini, lebih dari 35 tahun.
history yang bagus dan bermanfaat
BalasHapus