8 Juni 2012

Estafet Kiai Abdullah Sattar

 


Sejak pertengahan tahun 60an, Kiai Abdullah Sattar Hilmi telah bolak-balik dari ndalem dan pesantrennya di Gondanglegi menuju kampung Kebalen Wetan. Jarak antara kabupaten tempat beliau menetap dengan kota Malang sebagai pelabuhan dakwah, memang cukup jauh sekitar 25-30 km. Namun, itu semua tak menyurutkan beliau untuk berdakwah.

Di kampung Kebalen Wetan sendiri, saat itu masih sepi dan tandus. Penduduknya juga tidak begitu banyak. Mayoritas warganya banyak yang "abangan", tidak seperti saat ini yang didominasi kaum santri. Bahkan, menurut penuturan para sesepuh, di tahun 60an, banyak warga Kebalen yang terdaftar sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) yang merupakan afiliasi PKI sebagai organisasi terlarang di Indonesia.

Selain latar belakang warga Kebalen yang abangan dan kelam, tidak sedikit mereka yang sehari-hari hidup bergelimang maksiat. Hampir tiap malam, di dalam kampung dan jalanan, ada ajang pesta minuman keras, judi, zina dan sebagainya. Keadaan ini yang mendorong Kiai Dullah -panggilan singkat KH Abdullah Sattar Hilmi- untuk rela berjuang dan berkorban demi tegaknya agama Islam di hati masyarakat.

Setiap ke kampung Kebalen Wetan, beliau singgah di rumah H. Ahmad Suyuti sebagai salah satu tokoh perintis Masjid Muritsul Jannah yang saat itu masih berupa langgar. Tahun 1965, sebuah langgar berdiri kokoh di tengah kampung dan diberinama Langgar "Darus Salam" atau "Rumah Keselamatan".

Langgar ini memiliki makna strategis dalam pengembangan dakwah Islam di Kebalen yang mayoritas warganya masih abangan dan awam tentang ajaran Islam, meski mereka mengaku sebagai muslim. Dengan sabar, Kiai Dullah datang ke langgar dan mengajarkan tentang dasar-dasar akidah dan syariat Islam. Kiai kharismatik itu terus istiqamah mengajak warga setempat untuk mendalami Islam dan mengenalkan Allah beserta Rasul-Nya.

Konon, pengajian Kiai Dullah sering dimulai pada pukul 9 malam hingga jam 12. Bukan hanya mengaji al-Quran dan kitab-kitab saja, namun beliau juga mengajak para santrinya berdzikir, beristighatsah, demi sebuah perubahan. Yakni, perubahan dari gelapnya jahiliyah menuju terangnya cahaya iman dan islam.

Di tahun 1970an, langgar "Darus Salam" diperluas. Seiring dengan itu, maka status langgar tersebut dinaikkan menjadi masjid yang lalu oleh Kiai Dullah diberinama "Muritsul Jannah li Ahlissunnah Wal Jamaah". Artinya, pusaka surga bagi muslim berakidah Aswaja. Ketika beliau ditanya, "Mengapa nama itu ditambahi Ahlissunnah Wal Jamaah?". Sang Kiai menjawab, "Kelak, akan banyak masjid menjadi rebutan oleh orang-orang yang beraliran menyimpang dari Islam".

Nama ini juga identik dengan kampung tempat masjid tersebut berdiri kokoh. Yakni, kampung blok muris karena kebetulan di lokasi sekitar masjid ditumbuhi pohon muris. Berdirinya masjid ini disambut gembira oleh para kiai dan tokoh agama setempat. Para ulama yang turut andil membina masjid, antara lain: KH Abdullah Sattar Hilmi (Gondanglegi), KH Yahya (Gading), Kiai Kiromun (Kotalama), H. Muhit (PCNU Malang), H.A. Suyuti (Takmir), dan banyak lagi.

Perjuangan Kiai Dullah telah membuahkan hasil. Banyak para kiai, santri, warga setempat yang mengaji kepada beliau, antara lain: Kiai Qurtubi (Blok Muris), KH Mustaid Imron (Kotalama), H. Supar, H. Roudhawi, H. Zainal Arifin, H. Kholil, Bpk Mursyidi, dan banyak lagi. Bertambahnya jumlah santri yang turut dalam pengajian Kiai Dullah menunjukkan keberhasilan beliau dalam berdakwah.

Selama kurun waktu 10 tahun lebih, Kiai Dullah berjuang di kampung Kebalen. Hingga di tahun 1978, beliau mulai jarang rawuh di Masjid Muritsul Jannah karena faktor kesehatan. Di saat-saat akhir hayatnya, Kiai Dullah berpesan agar supaya H.A. Suyuti sebagai takmir masjid segera mencari pengganti beliau.

"Siapa, Kiai?", tanya Abah Suyuti. "Nak, di Singosari dekat pasar, ada seorang alim bernama Ustadz Basori. Kelak, dia akan menjadi kiai besar. Nama lengkapnya Basori Alwi. Sampaikan salam saya kepada Ustadz Basori agar dia istiqamah berjuang di Masjid Muritsul Jannah".

Saat itu, Ustadz Basori lebih populer dipanggil ustadz. Namanya juga mulai santer terdengar berkat keahliannya dalam tilawah al-Quran. Ketika takmir masjid sowan ke rumah Sang Ustadz dan menyampaikan pesan Kiai Dullah, Ustadz Basori tampak berlinang air matanya. Mungkin saja, itu adalah isyarat bahwa ajal Kiai Dullah sudah dekat. Bagi seorang mukmin, kepergian seorang ulama merupakan musibah yang cukup berat.

Benar, awal tahun 1980an, KH. Abdullah Sattar Hilmi tutup usia. Para kiai, asatidz, tokoh masyarakat dan warga kabupaten dan kota Malang telah ditinggal pergi oleh sosok Kiai Kharismatik yang kuat menjaga prinsip dan istiqamah dalam berjuang. Tak terkecuali, warga Kebalen Wetan dan jamaah Masjid Muritsul Jannah. Kiai panutan mereka telah dipanggil Sang Maha Kuasa.

Berikutnya, tongkat estafet perjuangan Kiai Abdullah Sattar di Kebalen Wetan telah diserahkan kepada Ustadz Basori Alwi. Bagi ustadz asal Singosari itu, tak terbayang sedikitpun, bagaimana nanti beratnya memegang amanah dan meneruskan perjuangan Kiai Dullah dengan istiqamah. Yang penting, bagi beliau, memenuhi wasiat Kiai Dullah sama artinya memenuhi perintah Allah untuk membumikan Islam.

Jarak tempuh yang jauh antara Singosari-Malang, tidak jadi penghalang bagi Ustadz Basori. Sejak tahun 1978 hingga kini, KH, Basori Alwi tidak pernah berhenti mengajar al-Quran dan agama Islam di Masjid Muritsul Jannah, Kotalama, Malang. Semenjak Ustadz Basori masih muda dan segar bugar hingga kini beliau didorong kursi roda, perjuangannya di kampung Kebalen Wetan, tetap berlangsung istiqamah.

Subhanallah! Luar biasa! Ternyata, KH. Abdullah Sattar Hilmy benar-benar tepat dalam memilih penggantinya. Dialah KH Basori Alwi asli Singosari yang tetap istiqamah melaksanakan amanah dakwah hingga kini, lebih dari 35 tahun.

1 komentar:
Tulis komentar