Bolehkah masjid dipergunakan sebagai tempat berlangsungnya akad
nikah? Pertanyaan ini sering dilontarkan terkait banyaknya pasangan
pengantin berijab-qobul di masjid. Apalagi, tayangan televisi juga kerap
menyiarkan prosesi akad nikah para selebritis yang berlangsung di dalam
masjid.
Menurut pendapat para orang tua dahulu, meski
boleh, akan tetapi akan lebih baik bila akad nikah itu dilangsungkan di
rumah calon mempelai putri. Salah satu alasannya, untuk menunjukkan
bahwa semua keluarga calon mempelai putri "menerima" kehadiran keluarga
pengantin putra. Selain itu, "penyerahan" kepada calon suami dari pihak
wali (orang tua calon isteri) sebagai tuan rumah akan tampak "dominan"
saat pernikahan itu berlangsung di rumahnya sendiri.
Bila
pernikahan berlangsung di rumah calon mertua, menurut alasan mereka,
untuk menunjukkan keseriusan, keberanian, ketulusan dan kecintaan dari
pihak mempelai putra beserta keluarganya dalam meminta dan mempersunting
calon pengantin putri. Sebab, dalam akad nikah ini, pada hakikatnya,
calon suami sedang berposisi "di bawah" calon mertua atau keluarga
pengantin putri.
Lalu, bagaimana menurut Islam? Bolehkah acara akad nikah berlangsung di dalam masjid?
Dalam
agama, jelas posisi masjid lebih utama daripada rumah atau bangunan
lainnya. Tapi, dalam hubungannya dengan acara akad nikah, tidak ada
penjelasan yang menerangkan bahwa akad nikah di masjid lebih afdhol
daripada di rumah. Juga, tidak ada keterangan tentang larangan akad
nikah di dalam masjid.
Pada posisi semacam ini, berarti,
akad nikah di masjid itu hukumnya "jawaz", boleh dan sah-sah saja.
Asalkan, seluruh hadirin, terutama keluarga kedua mempelai dan takmir
masjid sebagai penanggung jawab, semua berani menjamin terjaganya
kehormatan masjid. Itu saja. Sebab, dalam hukum Islam, ditemukan banyak
keterangan agar menghormati masjid, seperti: larangan mengotori masjid,
larangan bermaksiat di dalamnya, dan sebagainya.
Apakah
semua pihak yang terlibat dalam akad nikah di masjid memang benar-benar
mengerti tatacara menghormati masjid? Inilah yang sesungguhnya patut
dipertanyakan. Sebab, saat ini tatakrama menghormati masjid sudah banyak
tidak diketahui umat Islam.
Misalnya, agama melarang
perempuan yang sedang haid, masuk ke dalam masjid meskipun tidak
mengotorinya. Wanita haid haram masuk masjid. Titik! Lantas, dengan
berlangsungnya akad nikah di masjid yang dihadiri banyak undangan
termasuk kaum wanita, apakah mereka semua suci, tidak sedang haid
sehingga bebas keluar masuk masjid? Adakah jaminan ini?
Selain
itu, kita melihat para undangan yang turut hadir dalam akad nikah di
masjid, juga terbuka sebagian auratnya. Bukankah membuka aurat meski
sedikit adalah maksiat dan hukumnya haram? Nah, jika hadirin dalam acara
akad nikah di masjid itu membuka aurat, maka sama saja dengan
membiarkan kemaksiatan dan merusak kehormatan masjid.
Perempuan
hanya boleh membuka wajah saja dan kedua telapak tangannya, persis
seperti saat shalat. Sementara itu, acara akad nikah yang kita saksikan
di tayangan televisi atau di sekitar kita, tampak ada hadirin perempuan
yang membuka auratnya, terlihat rambutnya, tangan dan kakinya, bahkan
juga sebagian dadanya. Anehnya lagi, pengantin putri atau beberapa
hadirin juga mengenakan kebaya atau baju dengan motif kain berlubang dan
menerawang sehingga kulit tubuhnya bisa bebas dipandang mata oleh semua
orang.
Fenomena semacam itu adalah bagian dari pelecehan
terhadap masjid dan merusak kehormatannya sebagai rumah Allah. Jika
kemaksiatan semacam ini terjadi, maka semua pihak harus bertanggung
jawab.
Terlebih lagi, biasanya, akad nikah di masjid juga
tidak menjamin antara hadirin putra dan putri berada di lokasi terpisah.
Kebanyakan, mereka malah bebas bercampur baur antara laki-laki dan
wanita yang bukan sesama muhrim. Sekali lagi, inipun bagian dari
pelecehan terhadap kehormatan rumah Allah yang seharusnya steril dari
berbagai bentuk maksiat dan keharaman.
Di beberapa masjid
yang di sana dilangsungkan akad nikah, malah dihias sedemikian rupa
dengan aneka bentuk dekorasi sehingga masjid berubah seperti gedung
pernikahan. Rumah Allah yang seharusnya bernuasa agamis menjadi
romantis, glamour, berlomba dan bersombong dalam kemewahan.
Belum
lagi, bila ada orang non-muslim yang turut masuk ke masjid untuk
menghadiri undangan akad nikah atau tujuan sekedar mempersiapkan prosesi
acara itu.
Dalam ajaran agama Islam, haram hukumnya ada
orang kafir masuk ke dalam masjid. Ketentuan ini tidak mudah terjamin
dalam acara akad nikah yang dilangsungkan di masjid. Sebab, boleh jadi
ada orang non-muslim ikut serta di sana, entah sebagai tamu undangan,
wartawan, fotografer, kamerawan, dls.
Dengan mengukur
antara sisi positif dan negatif di atas, maka akad nikah akan lebih
terhindar dari keharaman, bila dilangsungkan di luar masjid. Namun,
boleh saja akad nikah tetap dilaksanakan di dalam masjid, asalkan
dengan catatan, semua pihak sudah mengerti tatacara menghormati rumah
Allah, tidak boleh melanggar ketentuan syariat dan menjamin masjid
steril dari unsur maksiat dan keharaman.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar