Ada kebiasaan yang unik pada setiap hari pertama masuk sekolah. Orang
tua siswa rela antri sejak pagi, bahkan sebelum pintu gerbang sekolah
dibuka, hanya untuk berebut bangku terdepan untuk anaknya yang masuk
sekolah di hari pertama.
Kebiasaan itu tampaknya sudah
mewabah. Beberapa stasiun tv swasta pun memberitakan hal itu. Terlihat,
ada yang antri sejak subuh, ketika hari masih gelap, mereka bersama
anak-anaknya "bertapa" di pintu gerbang sekolah. Sampai-sampai, ada
anaknya yang masuk angin karena belum sempat sarapan sudah dipaksa antri
oleh orang tuanya.
Benar-benar hari pertama yang
menyakitkan bagi sang anak! Kira-kira demikian yang ada di lubuk hati
sang anak. Ekspektasi orang tua yang berlebihan dan model pembelajaran
tradisionalis adalah pemicu kebiasaan antri di hari pertama sekolah.
Orang
tua mungkin tidak menyadari bahwa hal seperti tersebut tidak selalu
disukai oleh anaknya. Disamping itu, tidak ada jaminan bahwa anak yang
duduk di bangku terdepan, prestasinya akan lebih baik dari yang duduk di
belakang. Asal anak bisa enjoy belajar dan senang sekolah, maka duduk
di sof mana saja, bukan masalah.
Jadi, mestinya motivasi
belajar yang berkelanjutan yang wajib dikedepankan. Sebab, yang sering
terjadi, orang tua siswa hanya perhatian dengan posisi duduk anaknya,
namun selanjutnya justru tidak mau tahu dengan grafik prestasi, tugas
belajar, kewajiban PR, yang kesemuanya itu lebih membutuhkan dampingan
dan bimbingan orang tua. Tidak sekedar hari pertama, lalu kemudian
buyar, tidak tahu menahu lagi.
Fenomena ini, seharusnya
juga menjadi pelajaran bagi pihak sekolah, terutama para guru agar tidak
lagi menerapkan model tradisional. Yakni, posisi duduk siswa terus
menetap seperti hari pertama hingga nanti di akhir semester. Mestinya,
guru melakukan rolling dengan mengubah-ubah posisi duduk anak didiknya.
Bisa seminggu sekali, atau bahkan tiap hari.
Model
tradisionalis itu harus segera ditinggalkan. Anak yang duduknya menetap
dengan teman yang sama selama setahun atau bahkan selama duduk di bangku
SD, maka secara tidak langsung menanamkan pendidikan yang stagnan,
tidak ada perubahan, tidak variatif, kurang menghidupkan jiwa sosial di
antara para siswa, dan banyak hal lain sebagai dampak negatif dari model
belajar kuno tersebut.
Guru bisa juga mengubah posisi
bangku di kelas seperti melingkar yang terdiri hanya dua baris, atau
bisa juga bangku ditata secara berkelompok seperti di sekolah TK, dan
masih banyak lagi model lain yang dianjurkan para ahli strategi
pembelajaran.
Dengan perubahan ini, sistem pendidikan akan
menjadi lebih baik dan tidak "mandeg". Selain itu, fenomena rebutan
bangku terdepan di hari pertama bisa dihentikan. Sekolah harus
mensosialisasikan hal ini kepada orang tua murid agar mereka tidak
berebut dan tidak perlu antri setengah mati.
Kasihanilah
anak-anak yang baru masuk sekolah, jiwanya sudah "terjajah" sebelum
perang yang sesungguhnya. Mereka telah dipaksa dan dicekoki rasa benci
terhadap belajar di sekolah karena menyaksikan begitu kerasnya hidup.
Sekali
lagi, hal ini sama saja dengan menanamkan kebencian bersekolah, bahwa
sekolah itu tidak menyenangkan, banyak tuntutan, sengsara, harus
berebut, perlu arogansi agar bisa menang, dan sebagainya. Mungkin saja
ada berpendapat, fenomena itu bagian dari kompetisi. Namun, yang perlu
dicamkan, kompetisi semacam ini bukanlah kompetisi yang sehat, tapi
menyakitkan jiwa anak bangsa.
Jika nilai-nilai kebencian,
kegalauan, stress dan lain sebagainya itu sudah tertanam di hari pertama
masuk sekolah, maka sekolah tak ubahnya hanya akan menjadi camp
penjara, bukan lagi taman belajar yang menyenangkan untuk menuntut ilmu.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar