Kembali, itsbat atau keputusan Kemenag RI tentang penetapan awal
Ramadan, tidak mampu mempersatukan semua umat Islam di Indonesia untuk
mengawali puasa secara bersamaan. Dan, bisa jadi, perbedaan tentang
penetapan Idul Fitri nanti juga akan berujung "tidak seragam". Semoga
saja, tidak beda. Amin.
Dalam kaidah fiqih, "Jika
keputusan Imam (Pemerintah) telah ditetapkan, maka khilafiyah (perbedaan
pendapat) harus dihindari". Dengan kata lain, keputusan itu mestinya
bersifat mengikat dan dihormati oleh semua pihak. Menghormati di sini
tidak sekedar basa-basi, tapi benar-benar mengikuti dan mentaati
perintah Imam (Pemerintah). Sebab, mentaati pemimpin adalah bagian dari
iman.
Ada yang lucu sekaligus aneh tentang penetapan awal
Ramadan dan Sawal di Indonesia ini. Disebut lucu, sebab dalam banyak hal
mereka mentaati atau mengikuti pemerintah, tapi anehnya untuk ikut
itsbat saja walau sekali dalam setahun, kok tidak mau. Alasan penolakan
yang paling keren adalah berargumen tentang kebebasan berkeyakinan dan
menjalankan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing.
Adakah
yang salah dari upaya itsbat Pemerintah ini? Padahal, para pimpinan
ormas Islam dan ahli astronomi modern juga dilibatkan, hampir di seluruh
wilayah RI telah disebar Tim Rukyat dan Hisab untuk melihat Hilal,
media massa juga turut andil mensosialisasikannya, dan banyak hal lagi
yang telah ditempuh Pemerintah demi mempersatukan umat Islam dalam
berpuasa maupun berhari raya Idul Fitri.
Eh ternyata, ada
saja yang "khawarij", nyeleneh, menyimpang atau tepatnya "sak karepe
udele dewe". Bahkan, ada juga tudingan kepada Kemenag RI bahwa upaya
Itsbat itu mengandung unsur politis dan sebagainya. Padahal, upaya
pemerintah ini benar-benar tulus, ilmiah, kredibel dan memiliki landasan
kuat, baik dilihat dari aspek fiqih falak maupun ilmu astronomi.
Sudah
bukan rahasia lagi, Muhammadiyah, misalnya, sebagai salah satu ormas
Islam yang mempunyai banyak pengikut, justru jauh-jauh hari sudah
menetapkan awal Ramadan dan bahkan memutuskan untuk tidak akan ikut
sidang Itsbat yang digelar pemerintah. Padahal, sidang itu sangat
penting untuk menyatukan visi-misi dan menetapkan kesatuan demi umat.
Belum
lagi, kelompok-kelompok muslim sempalan yang punya kitab sendiri, guru
spiritual sendiri, dan tariqat atau cara sendiri yang mungkin tersebar
di wilayah Indonesia. Mereka berpuasa dan berhari raya "sak karepe
dhewe". Benar-benar sulit diatur!
Jika melihat redaksi
hadis Nabi, disana sudah jelas, bahwa memulai puasa atau berhari raya
harus berdasarkan "rukyat" (Hilal bisa dilihat). Jika tertutup mendung
atau sebagainya, maka diperintahkan istikmal atau menyempurnakan
hitungan bulan Sya'ban atau Ramadan menjadi 30 hari. Titik!
Jika
disadari, perintah Nabi itu adalah mendasarkan pada "Rukyatul Hilal"
atau melihat bulan. Bukan pada "Wujudul Hilal" (Adanya Hilal). Hadis
Nabi yang berbunyi "Jika tertutup awan...dst" ini, secara redaksi bukan
berarti bulan tidak wujud (ada). Sebab, bisa jadi bulan (hilal) sudah
ada (wujud) berdasrakan perhitungan (hisab), akan tetapi tetap tidak
bisa dilihat (di-rukyat). Bila demikian yang terjadi, Nabi memerintahkan
untuk istikmal (menyempurnakan hitungan bulan Sya'ban atau Ramadan
menjadi 30 hari).
Muhammadiyah atau kelompok yang
berdasarkan hisab, kebanyakan hanya mendasarkan pada hitung-hitungan
bahwa bulan (hilal) telah wujud, tidak peduli bisa atau tidak bisa untuk
di-rukyat (dilihat). Inilah yang menjadi permasalahan. Apalagi, secara
ilmu falaq, kemungkinan hilal bisa dilihat (Imkanur Rukyat) harus di
atas 2 derajat. Dibawah itu, besar kemungkinan bulan (hilal) tidak bisa
di-rukyat. Karena itulah, maka perlu dibuktikan dengan melihat langsung
ke lokasi yang memungkinkan hilal bisa dilihat. Bila perlu, dengan alat
teropong paling canggih. Jika memang masih tetap tidak bisa dilihat,
maka hasilnya adalah istikmal.
Tahap selanjutnya,
berdasarkan hasil hisab (perhitungan astronomi) dan observasi langsung
dilokasi yang menyatakan "tidak melihat hilal", maka Pemerintah (Kemenag
RI) sebagai otoritas tertinggi menetapkan (meng-itsbat) istikmal.
Namun, bila ada laporan hilal terlihat dan secara astronomi
memungkinkan, bisa dipertanggungjawabkan dan juga disaksikan oleh orang
yang amanah, kredibel dan diambil sumpahnya, maka Pemerintah juga tidak
segan-segan akan menetapkan "rukyat" (Sya'ban/Ramadan menjadi 29 hari)
Alur
di atas sesungguhnya sudah benar! Tepat sesuai perintah Nabi, logis dan
ilmiah sesuai dengan ilmu falak dan astronomi modern, dengan tetap
mengedepankan persatuan serta kesatuan umat Islam agar tidak terjadi
kebingungan di mata masyarakat dalam menjalankan ibadah di bulan suci.
Namun,
sekali lagi, kelompok yang "khawarij" atau melepaskan diri dari
persatuan ini, yang tetap ngotot dengan hujjah-nya sendiri, jelas-jelas
telah mencederai rasa kebersamaan dalam menjalankan perintah agama.
Perbedaan ini jangan terus dianggap wajar dan lumrah dengan alasan
Indonesia sebagai negara yang Bhinneka. Tapi mestinya, dalam penetapan
awal Ramadan dan Syawal ini, harus "Ika", satu, bersama-sama dengan
mengesampingkan ego masing-masing demi kepentingan bersama.
Sadarlah
wahai pemimpin umat! Persatuan, kesatuan dan kebersamaan, jauh lebih
penting dan lebih indah daripada argumen dan sentimen pribadi maupun
golongan.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar