23 Juli 2012

Tadarrus Lagu Religi

 


Suasana Ramadan di Indonesia memang benar-benar unik. Ada acara ngabuburit, patrol alias ronda sahur, kultum, tadarrus, pesta petasan, banjir diskon, baju lebaran, persiapan mudik, dan macam-macam.

Semua itu adalah bagian dari pernik Ramadan, bulan spesial yang memang khusus bagi Umat Nabi Muhammad saw yang menyambutkannya dengan puasa dan amal ibadah lainnya untuk meningkatkan frekuensi ketaatan kepada Allah agar mencapai derajat taqwa di sisi-Nya.

Namun, seiring dengan berkembangnya tayangan televisi yang juga turut "puasa", beberapa di antaranya menayangkan acara yang disebutnya "religi". Artis-artis pun tidak mau kalah dengan para dai dan ustadz. Mereka juga merilis lagu bersyair religi dan rela menutup aurat, meski masih tampak glamour.

Anehnya, ternyata para ustadz dan dai-dai televisi juga ikut-ikutan nyanyi. Memang sih, dalam satu perspektif, ada yang memperbolehkan menyanyi karena bait lagunya bisa menjadi media dakwah. Namun, apa memang benar demikian? Apa benar lagu-lagu itu memberi pengaruh spiritual bagi pendengarnya? Apa bisa dipastikan, lagu itu menjadi tuntunan tidak sekedar tontonan?

Yang jelas, adanya acara-acara nyanyi religi yang waktu penayangannya tepat setelah shalat tarawih, akan berpengaruh pada kebiasaan baik di kalangan umat. Padahal, umumnya, di kampung-kampung, waktu usai shalat tarawih digunakan untuk tadarrus al-Quran bersama di masjid, mushalla dan di surau.

Kini, masyarakat diajari melihat para dai mereka justru mengajak nyanyi. Dakwahnya sedikit, nyanyinya yang lebih banyak. Hebatnya lagi, ada kolaborasi antara dai dan artis agar bisa menyedot umat. Akhirnya, masyarakat lebih memilih nonton tv atau ikut serta dalam acara konser religi daripada mengaji atau tadarrus al-Quran. Sungguh pemandangan yang ironi!

Sebagai bulan al-Quran, Ramadan seharusnya lebih diramaikan dengan tadarrus dan tilawah ayat-ayat suci. Namun yang terjadi dan banyak terdengar di negeri ini, justru lagu-lagu religi yang begitu nyaringnya didendangkan melalui layar kaca maupun dari konser musik religi. Apalagi, konser itu ada yang digelar di halaman masjid.

So, lengkap sudah bagaimana budaya memasyarakatkan lagu-lagu religi ini. Pelan tapi pasti, disadari atau tidak, sedikit demi sedikit, realitas ini mulai menggerus budaya tadarrus al-Quran di bulan Ramadan. Umat bukannya diajak untuk membaca al-Quran, tapi diundang untuk mendengar musik dan lagu yang mereka definisikan sendiri sebagai lagu religi (baca: lagu agama).

Para ulama terdahulu telah memprediksikan, bahwa kelak di akhir zaman, tuntutan akan menjadi tontonan. Sebaliknya, tontonan menjadi tuntunan. Tampaknya, prediksi itu sudah terjadi. Waspadalah!

Tidak ada komentar:
Tulis komentar