Suasana Ramadan di Indonesia memang benar-benar unik. Ada acara
ngabuburit, patrol alias ronda sahur, kultum, tadarrus, pesta petasan,
banjir diskon, baju lebaran, persiapan mudik, dan macam-macam.
Semua
itu adalah bagian dari pernik Ramadan, bulan spesial yang memang khusus
bagi Umat Nabi Muhammad saw yang menyambutkannya dengan puasa dan amal
ibadah lainnya untuk meningkatkan frekuensi ketaatan kepada Allah agar
mencapai derajat taqwa di sisi-Nya.
Namun, seiring dengan
berkembangnya tayangan televisi yang juga turut "puasa", beberapa di
antaranya menayangkan acara yang disebutnya "religi". Artis-artis pun
tidak mau kalah dengan para dai dan ustadz. Mereka juga merilis lagu
bersyair religi dan rela menutup aurat, meski masih tampak glamour.
Anehnya,
ternyata para ustadz dan dai-dai televisi juga ikut-ikutan nyanyi.
Memang sih, dalam satu perspektif, ada yang memperbolehkan menyanyi
karena bait lagunya bisa menjadi media dakwah. Namun, apa memang benar
demikian? Apa benar lagu-lagu itu memberi pengaruh spiritual bagi
pendengarnya? Apa bisa dipastikan, lagu itu menjadi tuntunan tidak
sekedar tontonan?
Yang jelas, adanya acara-acara nyanyi
religi yang waktu penayangannya tepat setelah shalat tarawih, akan
berpengaruh pada kebiasaan baik di kalangan umat. Padahal, umumnya, di
kampung-kampung, waktu usai shalat tarawih digunakan untuk tadarrus
al-Quran bersama di masjid, mushalla dan di surau.
Kini,
masyarakat diajari melihat para dai mereka justru mengajak nyanyi.
Dakwahnya sedikit, nyanyinya yang lebih banyak. Hebatnya lagi, ada
kolaborasi antara dai dan artis agar bisa menyedot umat. Akhirnya,
masyarakat lebih memilih nonton tv atau ikut serta dalam acara konser
religi daripada mengaji atau tadarrus al-Quran. Sungguh pemandangan yang
ironi!
Sebagai bulan al-Quran, Ramadan seharusnya lebih
diramaikan dengan tadarrus dan tilawah ayat-ayat suci. Namun yang
terjadi dan banyak terdengar di negeri ini, justru lagu-lagu religi yang
begitu nyaringnya didendangkan melalui layar kaca maupun dari konser
musik religi. Apalagi, konser itu ada yang digelar di halaman masjid.
So,
lengkap sudah bagaimana budaya memasyarakatkan lagu-lagu religi ini.
Pelan tapi pasti, disadari atau tidak, sedikit demi sedikit, realitas
ini mulai menggerus budaya tadarrus al-Quran di bulan Ramadan. Umat
bukannya diajak untuk membaca al-Quran, tapi diundang untuk mendengar
musik dan lagu yang mereka definisikan sendiri sebagai lagu religi
(baca: lagu agama).
Para ulama terdahulu telah
memprediksikan, bahwa kelak di akhir zaman, tuntutan akan menjadi
tontonan. Sebaliknya, tontonan menjadi tuntunan. Tampaknya, prediksi itu
sudah terjadi. Waspadalah!
Tidak ada komentar:
Tulis komentar