"Allahumma innaka 'afuwwun kariim tuhibbul 'afwa, fa'fu 'anna", Ya Allah Engkau sungguh mencintai maaf, maka maafkanlah aku.
Sepenggal doa itu sering dibaca usai sholat witir agar dosa-dosa kita dimaafkan Allah. Doa ini, sekaligus mengajarkan kepada kita bahwa Allah sangat senang memaafkan. Bahkan, maaf itu sendiri adalah sifat-Nya. Artinya, kita pun harus demikian. Senang memaafkan orang lain dan juga berani meminta maaf kepada orang lain.
Saat Nabi memasuki kota Mekah pada "Fathu Mekah", beliau memberikan amnesti terbesar sepanjang sejarah. Ketika itu, tidak ada satupun penduduk kaum kafir Mekah yang dicaci-maki, dilukai apalagi dibunuh. Nabi juga pernah dilempari batu di Thaif hingga Jibril mengajukan diri untuk membantai penduduk Thaif. Namun, Nabi justru memaafkan dan bahkan berdoa supaya mereka mendapat hidayah.
Ketika suatu saat Siti Aisyah bertanya, "Ya Rasul, bila saya menemui malam Lailatul Qodar, apa yang sebaiknya saya minta kepada Allah?". Nabi Muhammad saw menjawab, "Mintalah al-'Afwu (maaf)".
Jawaban Nabi ini mengajarkan betapa maaf itu sangat tinggi nilai sehingga perlu diminta. Bahkan, jika ada kesempatan mendapat Lailatul Qodar sebagai waktu paling langka karena bernilai mahal, maka justru lebih pas meminta maaf.
Dalam dunia komunikasi, baik secara vertikal dengan Allah maupun horisontal kepada sesama makhluk, jelas kita tidak lepas dari kesalahan dan kekhilafan. Tidak ada komunikasi yang berjalan mulus, pasti ada hitam dan putih. Karena itu, dalam membersihkan bercak kotoran tersebut hanya diperlukan satu hal, maaf.
Meminta maaf ternyata juga tidak mudah dilakukan oleh setiap orang tanpa disertai rasa ikhlas. Apalagi, meminta maaf kepada orang yang sering dinilai lebih rendah, lebih buruk, lebih miskin, lebih kecil dan seterusnya. Namun, jika seseorang beriman kepada Allah dan hari akhir, pasti ia akan memiliki kesadaran dan kekuatan batin untuk tidak menyia-nyiakan waktu dan segera meminta maaf sebelum pertanggung jawab di akhirat kelak.
Memberi maaf juga tidak semudah membalik kedua telapak tangan. Terkadang, kata maaf hanya terucap di mulut saja, tampak di muka yang tersenyum, namun di lubuk hati yang paling dalam, masih tersimpan aroma dendam. Memberi maaf juga perlu sikap ikhlas seikhlas kita membuang kotoran saat buang air besar. Setelah memberi maaf, mestinya hati dan pikiran kita benar-benar lupa dengan kesalahan orang lain.
Melupakan kesalahan dan kedzaliman yang pernah dilakukan orang lain kepada kita adalah hal yang sulit. Saat lebaran kita bisa memaafkan dan melupakan, tapi di waktu yang akan datang, ternyata kita masih mengingat, membahas dan membicarakannya.
Jika kita berharap Allah memaafkan dan tidak membalas dosa-dosa kita dengan siksa-Nya yang pedih, maka kita pun harus juga melakukan hal yang sama. Yakni, memaafkan dan melupakan semua kesalahan orang lain yang pernah berbuat dzalim kepada kita. Bahkan, sebelum mereka meminta maaf, dengan lapang dada kita telah memaafkan mereka.
Jika setiap muslim di hari raya yang fitri ini memiliki kesadaran untuk meminta maaf dan seluas-luasnya memberi maaf kepada sesamanya meski tanpa diminta, maka dunia ini akan terasa indah. Sebab, tak ada yang lebih indah selain menyaksikan semua manusia hidup damai.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar