Dalam acara "Halal Bi Halal", Ahad, 2 September 2012 lalu,
Murabbi Arwahina, KH Basori Alwi kembali menyebut nama idola beliau di
bidang tilawah al-Quran. Yakni, Syekh Mahmud Kholil al-Hushary. Acara
yang digelar di ndalem Gus Anas Basori ini dihadiri alumni PIQ Malang
Raya dan akan diselenggarakan di tempat yang sama tiap bulan Syawal.
Pada
kesempatan mauidhah hasanah, setelah Kiai mendengar pembacaan ayat-ayat
suci al-Quran, beliau seperti mengenang masa lalu. Pasalnya, ayat-ayat
yang dibacakan itu adalah ayat-ayat favorit yang dahulu sering Kiai
kumandangkan dan ajarkan di beberapa tempat. Karenanya, tak heran bila
beliau kembali mengenang Sang Maestro Tilawah asal Mesir, Syekh Mahmud
al-Hushary yang sangat beliau idolakan.
Kiai mengaku
bersyukur pernah bertemu dan bahkan bertamu ke rumah Syekh Mahmud
al-Hushary. Kenangan itu menjadi bagian terindah dalam perjalanan hidup
beliau, terutama di bidang tilawah al-Quran. Sebab, di saat Kiai
berkunjung ke rumah Syekh Mahmud al-Hushary, Kiai sempat mentashihkan
bacaannya kepada sang idola.
Ketika itu, Kiai membacakan
surah al-Fatihah lengkap di depan Syekh Mahmud. Usai membaca, Syekh
Mahmud berkomentar, "Jayyid, bacaan yang bagus dan benar". "Saya mohon
ijazah dari Syekh", ujar Kiai. "Ajaztukum", kata Syekh Mahmud yang
langsung dijawab oleh Kiai Basori, "Qobiltu ijazatakum, saya terima
ijazah Syekh".
Ada banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah singkat Kiai Basori bersama idolanya, Syekh Mahmud al-Husary.
Salah
satu pelajarannya adalah bahwa Kiai mengajarkan, sesungguhnya belajar
sebuah ilmu harus dari ahlinya. Belajar al-Quran semestinya kepada Ahli
al-Quran, belajar fiqih juga harus kepada ulama yg faqih, belajar ilmu
falaq harus pula kepada yang mengerti ilmu falaq dan astronomi, demikian
juga belajar ilmu-ilmu lainnya.
Ibnu Sirin pernah
berkata, "Inna hadza al-ilma diinun, fandzuruu 'amman ta'khuduna
diinakum", sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah lebih dulu
kepada siapa kalian mengambil atau belajar tentang agama kalian.
Pernyataan ini berhubungan erat dengan peringatan Nabi Muhammad saw,
"Jika sebuah urusan telah diemban oleh orang yang bukan ahlinya, maka
nantikanlah datangnya kiamat".
Dengan kata lain, bila kita
belajar sebuah ilmu kepada orang yang tidak profesional di bidangnya,
apalagi kredibilitasnya masih diragukan dan belum diketahui secara
menyakinkan, maka sebenarnya kita sedang menunggu kiamat alias belajar
tentang kegagalan.
Karena itu, sangat boleh jadi,
kegagalan yang saat ini banyak dialami oleh lembaga pendidikan dalam
menghasilkan lulusan yang berkualitas, salah satu faktor penyebabnya
adalah karena peserta didiknya diajari oleh mereka yang tidak ahli di
bidangnya. Guru yang memiliki keahlian setengah-setengah juga akan
melahirkan murid yang setengah jadi. Meski sang murid pandai,
paling-paling hanya jadi "setengah matang".
Pesan
intrinsik di balik kisah Kiai adalah sebuah himbauan bahwa Alumnus PIQ
yang notabene-nya telah digembleng dengan ilmu-ilmu al-Quran, terutama
di bidang tilawah bit-tartil dan tajwid, hendaknya menzakati ilmunya
dengan cara mengajarkan dan mendakwah tilawah al-Quran yang tepat dan
benar. Sebab, jebolan PIQ diharapkan oleh Kiai menjadi ujung tombak
perjuangan al-Quran.
Bila boleh disederhanakan, saya
bahasakan, "Jika bukan alumni PIQ, siapa lagi?" Artinya, kita sebagai
generasi qurani memiliki tanggungjawab besar terhadap masa depan
pendidikan tilawah al-Quran. Mengajarkan al-Quran, bisa melalui lembaga
formal, informal maupun non-formal. Bisa di sekolah, kampus, madrasah,
TPQ, majelis taklim, dan sebagainya.
Selain mengajar, bisa
pula mendakwahkan pentingnya belajar tilawah al-Quran melalui mimbar
Jumat, tulisan, artikel, diskusi, seminar, workshop, dan sebagainya.
Bisa pula dengan memberi uswah atau teladan yang benar dengan menjadi
imam shalat, pemimpin tahlil, qasidah, qiraah bil-ghina dan dalam
berbagai kesempatan dengan memanfatkan aneka media, baik tradisional
maupun modern.
Dengan mengajarkan, mendakwahkan dan
mengamalkan tilawah al-Quran yang benar, secara langsung maupun tidak
langsung, para generasi qur'ani berarti ikut mewujudkan cita-cita besar
murabbir ruuh, KH Basori Alwi.
Karena itu, tak heran bila
pada acara "Halal bi Halal" tersebut beliau berharap, "Saya ingin ketika
nanti saya di dalam kubur, saya bisa mendengar semua alumni PIQ (baca:
Generasi Qurani) membaca, belajar dan mengajarkan al-Quran seperti yang
telah dipelajari di pesantren. Keinginan saya ini karena saat ini saya
pun mendengar dan melihat bagaimana qiraah ala Syekh Mahmud al-Husary
diperdengarkan dimana-mana seakan-akan beliau masih hidup".
Allah
berfirman, "....Jangan kalian kira mereka gugur di jalan Allah telah
meninggal dunia , justru mereka masih hidup, di sisi Allah, mereka tetap
mendapat rizeki" (QS. 3:169). "Tidak sama antara orang yang hidup dan
orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberi pendengaran kepada siapa
yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tidak akan sanggup menjadikan
orang yang berada di dalam kubur dapat mendengar" (QS 35:22)
Artinya,
bila kita ingin Kiai terus berada di tengah-tengah kita, maka apa yang
telah beliau ajarkan, wajib kita amalkan. Apa yang Kiai wariskan dan
wasiatkan untuk menzakati ilmu, harus pula kita laksanakan hingga kita
pun dapat mewarisi cita-cita besar beliau.
Dan, bila kita ingin terus hidup di sisi Allah, maka memperjuangkan al-Quran adalah salah satu kuncinya.
Terima Kasih, Kiai, semoga kita bersama Allah, hidup dalam ridha-Nya untuk selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar