10 Desember 2012

Pak Ngadiyo, Pendekar NU

 


Sabtu, 8 Desember 2012, tepatnya pukul 05.00 WIB, Bapak Abdullah Ngadiyo berpulang ke rahmatullah. Bukan hanya keluarga besarnya yang merasa kehilangan, namun juga warga NU kota Malang, seluruh pengurus takmir dan jamaah Masjid Muritsul Jannah Kotalama Malang dan juga murid-murid beliau.

Pria yang akrab dipanggil Pak Yo itu, sejatinya adalah sosok yang kuat, pantang menyerah, pemberani, kharismatik dan sangat mencintai para alim ulama. Kedekatan dan kecintaannya kepada para kiai, telah mengakar dalam dirinya sejak muda. Karena itu, sangat tepat bila Pak Ngadiyo berjuang di dalam tubuh Nahdlatul Ulama.

Di bawah komando Pak Ngadiyo, pencak silat Pagar Nusa NU kota Malang mencapai puncak kejayaan. Kaderisasi para pendekar muda sebagai garda terdepan dalam membela Ahlisunnah Wal Jamaah berjalan efektif. Pagar Nusa NU merambah dunia kampus dan bibit-bibit bertalenta tinggi, oleh Pak Ngadiyo digodog menjadi pembela kebenaran yang berani.

Dedikasi Pak Ngadiyo terhadap NU ini telah ditunjukkan sejak beliau masih muda dan bahkan, beliau berhasil mewariskan "Darah NU" itu kepada putra-putrinya sendiri yang kesemuanya juga aktif di ormas berlambang bumi dan bintang sembilan itu. Sebuah perjuangan panjang dari seorang pendekar bernama "Abdullah Ngadiyo".

Jika ada slogan, "Jangan mencari hidup dari NU, tapi hiduplah untuk NU", maka bagi Pak Yo, kalimat itu bukan sekedar slogan, tapi sebuah wasiat dari para kiai sepuh yang harus ditaati. Karena itu, semua pengurus NU kota Malang mengakui, bahwa Pak Ngadiyo adalah representasi wasiat itu. Hidupnya memang benar-benar dihabiskan untuk mengabdi demi NU dan kemaslahatan umat.

Di kampung Kotalama, Pak Ngadiyo juga dikenal sebagai ustadz. Beliau adalah guru ngaji. Diakhir tahun 80an, Ustadz Ngadiyo mengajarkan al-Quran dan shalawatan di Masjid Muritsul Jannah. Pak Yo sempat prihatin, bila tradisi dibaan, shalawatan, burdahan dan sebagainya mulai tidak digemari oleh generasi muda. Karenanya, beliau terpanggil untuk mengejewantahkan kecintaan terhadap al-Quran dan hubbun Nabi ini kepada anak-anak sejak dini melalui seni bernafaskan Islam.

Siraman ruhani juga harus diimbangi kekuatan jasmani. Sebab, di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat. Barangkali, filosofi inilah yang mengilhami Pak Ngadiyo untuk mengajarkan pencak silat dan seni bela diri, sekaligus juga untuk melestarikan budaya nusantara. Oleh karena itu, selain di ormas NU, Pak Yo juga mengajarkan dasar-dasar silat untuk para siswa di madrasah dan anak-anak muda di kampung halamannya.

Selain memiliki fisik ideal sebagai seorang pendekar, Pak Ngadiyo juga diangerahi Allah suara yang merdu. Dalam beberapa kesempatan di waktu mudanya, beliau sering ditunjuk untuk melantunkan ayat-ayat suci al-Quran bil-ghina. Namun, yang paling fenomenal dari bakatnya itu adalah lantunan suaranya saat mengumandangkan panggilan adzan.

Yah, Pak Ngadiyo adalah muadzin legendaris Masjid Muritsul Jannah. Bukan hanya dari aspek suara saja, tapi irama dan lagunya sangat khas, beda dengan muadzin lain. Beliau tidak meniru lagu ala muadzin Haramain atau nada-nada adzan yang biasa terdengar di layar televisi. Tapi, Ustadz Abdullah Ngadiyo memiliki lagu dan irama sendiri yang takkan bisa ditiru apalagi ditandingi muadzin lainnya.

Jika beliau telah mengumandakan adzan, apalagi di waktu subuh, fajar pagi seakan merekah menyambut nada-nada indahnya. Iramanya sangat menyentuh hati, apalagi saat beliau dimita beradzan dalam acara pemberangkatan calon jamaah haji, maka bisa dipastikan akan banyak air mata bercucuran dari siapa saja yang mendengar adzan ala Pak Ngadiyo.

Penulis sendiri merasa bersyukur, sebab pada saat hendak berangkat haji tahun 1994 dan 2010 lalu, keberangkatan penulis ke tanah suci juga diiringi lantunan adzan Ustadz Ngadiyo. Sangat mengharukan dan menggetarkan jiwa! Adzan itu seakan terus terngiang hingga ke padang Arafah.

Pria kelahiran 1943 itu adalah juga guru tetap di Madrasah Ibtidaiyah Tarbiyatul Huda Mergosono Malang sejak tahun tahun 80an hingga akhir hayatnya. Meski digaji pas-pasan yang pastinya tidak cukup untuk menghidupi keluarganya, tapi Pak Ngadiyo tidak pernah mengeluh sedikit pun. "Semua ini adalah perjuangan", katanya.

Bahkan, ketika akhir-akhir ini, gaji guru swasta mulai agak cerah karena adanya BOS dan tunjangan sertifikasi guru, ternyata Pak Ngadiyo sendiri dinyatakan tidak berhak mendapatkan "kue" dari negara itu, entah karena spesifikasi ijazahnya yang tidak sesuai atau usianya dinilai telah udzur. Tapi, mengeluhkah Pak Ngadiyo? menyerahkah dia? Tidak! Sang Pendekar tetaplah pendekar.

Dengan gaji atau tanpa gaji pun, Pak Ngadiyo tetap istiqamah mengajar. Dengan cara berjalan kaki mulai pukul 06.30 menyisiri jalanan Kebalen Wetan, Pak Ngadiyo berangkat menuju MI Tarbiyatul Huda Mergosono yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumahnya. Selepas dhuhur, biasanya beliau ke pasar besar Malang untuk berjualan ayam kampung. Lalu, sejak sore hingga malam, waktunya diwaqafkan untuk NU, masjid dan kegiatan umat.

Luar biasa! Pak Ngadiyo bukan sekedar "Umar Bakri" pendidikan Islam, tapi "Umar bin Khattab" bagi para kiai, PCNU kota Malang, Masjid Muritsul Jannah, MI Tarbiyatul Huda, SDN Kotalama, dan seluruh masyarakat. Dialah pendekar yang siap mengorbankan nyawa demi membela kebenaran.

Masih teringat jelas bagaimana keberanian Pak Ngadiyo dalam memberantas kemaksitan di kampung Kebalen Wetan yang dulu dikenal sebagai kampung prostitusi. Pak Ngadiyo juga yang membela KH Hasyim Mudzadi saat beliau menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Malang dari gangguaan pihak-pihak yang ingin merongrong NU.


Cobaan demi cobaan yang menimpa pribadi, keluarga dan masalah putra-putrinya, semua dihadapi Pak Ngadiyo dengan tegar dan sabar. Kekuatan fisik dan jiwanya mampu menutup rasa pedih dan juga sakit yang dideritanya. Seakan-akan, Pak Ngadiyo berkata, "Biarlah cobaan dan kepedihan ini kurasakan sendiri, asalkan jangan ada yang coba-coba melukai para kiai, NU, masjid, madrasah, dan lembaga pendidikan Islam".

Itulah sosok pendekar sejati yang sesungguhnya. Pak Abdullah Ngadiyo tidak hanya berjuang dengan jiwa dan raga, tapi juga dengan hati nurani. Karenanya, kepergian Pak Ngadiyo dalam usia 68 tahun ini, benar-benar menyisakan kehilangan yang mendalam bagi semua warga NU, jamaah masjid dan seluruh aktivis pendidikan Islam.

Ratusan umat ikut melayat dan mengantar kepergiannya. Tampak hadir di sana, KH Marzuki Mustamar, KH Ali Mashan Musa, KH Abdullah Qodir, Habib Syekh, Ustadz Syafaat, dan masih banyak tokoh agama, ormas NU, parpol, jamaah nahdliyyin, para guru dan masyarakat sekitar yang kebanyakan mengaku sebagai murid Ustadz Ngadiyo.

Dalam beberapa tahun ke depan, akan sangat sulit ditemukan sosok pendekar NU yang multi talenta seperti Ustadz Ngadiyo. Melalui tulisan ini, sebagaimana harapan beliau sendiri, segera muncul para penerus dan pelanjut perjuangan Sang Pendekar, baik dari putra-putri maupun murid-murid beliau.

Setiap hal selalu ada limitnya, ada batasnya, termasuk juga usia seseorang juga akan menemui ajalnya. Sang Pendengar pun pada akhirnya harus menyerah pada takdir untuk memenuhi panggilan Sang Kholiq. Namun, cita-cita dan semangatnya akan terus berkobar untuk selamanya. Selamat Jalan, Ustadz Abdullah Ngadiyo. Dengan iringan doa, semoga beliau berada pada posisi mulia di sisi Allah.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar