19 Desember 2012

Tapak Perjuangan Imam Al-Jamiah

 


Desember 2012 ini adalah akhir masa kepemimpinan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Pak Imam yang sejak 7 Januari 1998 menjabat sebagai Ketua STAIN Malang sebelum berubah status menjadi UIN Malang, pada akhirnya juga harus berhenti menjadi nahkoda kampus Islam terkemuka di negeri ini.

Yang pasti, Prof Imam telah berhasil mengantarkan kampus berlogo "Ulul Albab" itu mencapai masa kejayaan. STAIN Malang yang pada awalnya seperti "Sekolah Impres" yang suram dan sama sekali tidak diperhitungkan, dengan perjuangan dan pengorbanan Prof Imam, kini telah berubah menjadi Universitas Islam yang dibanggakan, bukan hanya oleh seluruh keluarga besar UIN Malang saja, tapi juga pemerintah RI dan umat Islam di Indonesia.

Bahasa Arab yang dulu selalu, meminjam bait lagu Bung Rhoma, dinilai kampungan, oleh Prof. Imam diubah menjadi bahasa yang sangat diperlukan untuk memahami Islam secara utuh sehingga mukjizatnya sebagai bahasa al-Quran yang tak tertandingi menjadi terbukti. Salah satunya, sebab UIN Malang berhasil melestarikan dan membumikannya di tingkat perguruan tinggi.

Tarik ulur antara Islam sebagai sebuah agama yang wajib diyakini dan sains yang berdasarkan hasil imajinasi dan eksperimen ilmu pengetahuan, dilema keduanya itu secara manajerial oleh Prof. Imam berhasil diintegrasikan dalam kerangka keilmua perguruan tinggi Islam. Dengan semboyan "Ulama Intelektual Profesional dan Intelektual Profesional yang Ulama", Prof Imam ingin membuka mata dunia bahwa sesungguhnya tidak ada kontradiksi antara agama dan sains. Keduanya bisa berjalan seiring untuk kepentingan kehidupan umat manusia. Sebab itulah, lalu ilmu-ilmu umum dan sains di UIN Malang bersanding mesrah dengan ilmu agama.

Perguruan Tinggi sebagai representasi lembaga pendidikan ilmu umum dan pesantren sebagai perwakilan ilmu agama, kedua wadah keilmuan yang tampaknya tidak bisa disatu-padukan itu, justru oleh Prof Imam dapat diintegrasikan dan disinergikan sehingga UIN Malang mampu meluluskan mahasiswa sekaligus juga mahasantri menjadi generasi religius dan sainstis.

Tak hanya itu, pesantren yang kerap dicap sebagai model pendidikan tradisionalis dan terbelakang, maka dengan adanya "ma'had" di kampus UIN Malang, wajah pesantren berubah menjadi "kawah penggodokan" calon generasi muslim yang memiliki kedalaman spiritual, keagungan akhlaq sekaligus memiliki keluasan ilmu dan kematangan profesionalisme setelah kurikukum pesantren oleh Prof Imam disandingkan dengan kurikulum perguruan tinggi.

Masih banyak prestasi lain yang telah diukir Prof. Imam dalam perspektif integrasi oleh Sang Pemimpi(n) yang bervisi-misi tidak sekedar berada di awang-awang atau dalam tataran wacana saja. Namun, dengan gaya kepemimpinannya yang khas, beliau berhasil merealisasikan dalam wujud nyata.

Yang paling fenomenal, tentu saja adalah "jurus mabuk" Prof.Imam dalam mengantarkan perubahan status STAIN menjadi UIN Malang. Dengan langkah berani, UIN Malang yang saat itu masih menjadi cabang IAIN Sunan Ampel Surabaya dan hanya berstatus "Fakultas Tarbiyah", dalam kepemimpinan Prof. Imam, STAIN Malang dipacu untuk maju, mandiri dan bekerja tiada henti.

STAIN Malang yang baru prematur dengan segala keterbatasan, setapak demi setapak mulai ditata rapi dalam segala aspek. Namun, tentu saja perubahan status dari IAIN menjadi STAIN menuai demonstrasi. Prof Imam berhasil meyakinkan, bahwa "Kita tidak berjalan mundur, tapi inilah jurus berpacu yang cepat". Laksana "lakon", seperti tampak kalah di awal, tapi pada akhirnya berhasil meraih kemenangan.

Di tengah gerakan maju itu, lagi-lagi Prof Imam menggunakan "Dranken Master". STAIN diubah status menjadi UIIS, yakni, Universitas Islam Indonesia Sudan. Jelas tampak aneh! Jika hendak menjadi UIN, mengapa harus kerjasama dengan Sudan segala yang notabene-nya hanya negara kecil dan sama sekali tidak ada dalam peta pendidikan internasional? Apakah ini puncak perjuangan dari segala jerih payah dan pengorbanan setelah alih status dari IAIN?

Tidak! Perjuangan belum berakhir. Justru, dengan UIIS itu, tak sampai 2 tahun, STAIN resmi menjadi UIN Malang yang lalu diberinama "Maulana Malik Ibrahim", nama walisongo pertama yang kebetulan juga berarti "raja" (malik) dan itu mengisyaratkan bahwa telah lahir kampus Islam yang visi-misinya bermuara pada satu kata, "unggul, unggul dan unggul".

Suksesor Prof. Imam tentu saja akan menerima beban berat dalam menahkodai UIN Malang yang kini berada pada masa-masa kejayaan dan mulai berekspansi menuju dunia internasional. Tentu saja, tidak mudah meneruskan, apalagi mengembangkan segala prestasi yang pernah diraih Prof. Imam. Namun, inilah sesungguhnya "pertaruhan" dari pondasi kokoh yang telah diletakkan Prof. Imam; apakah akan tetap stagnan? atau, justru makin berkembang?

Penulis yakin, Prof. Imam tidak sekedar meninggalkan "sangkar ilmu" yang megah, tapi juga talenta-talenta yang siap menapak-tilasi semangat perjuangan dan pengorbanan Prof. Imam Suprayogo di masa-masa mendatang.

Terima Kasih, Prof. Dr. H. Imam Suprayogo atas segalanya untuk Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Selamanya, warga kampus ini akan mengenang sosok Prof. Imam, seorang pemimpin yang unik dan selalu keluar sebagai pemenang. Sejatinya, orang akan tetap mengenang bahwa UIN Malang adalah Prof. Imam, dan Prof. Imam adalah UIN Malang. Sebab, hanya beliau "Imam al-Jami'ah".

Tidak ada komentar:
Tulis komentar