22 Januari 2013

Marhaban Pattani, Thailand

 

Konferensi Pers The 2nd International Islamic Studies Conference (IISC) Pattani, Thailand

Minggu, 13 Januari 2013, sekitar pukul 19:30, penulis mendarat di bandara Hat Yai, seorang diri, karena penulis tertinggal dengan rombongan yang mereka telah tiba 4 jam sebelumnya. Setelah kedua kaki menginjak bandara, ternyata tak satupun pihak KBRI di Hat Yai yang menyambut penulis. Gawat!

Namun, tepat di pintu keluar, ada beberapa mahasiswa sedang membentangkan papan bertuliskan "al-Mu'tamar al-Dauly li al-Dirasaat al-Islamiyyah al-Tsani" atau "The 2nd International Islamic Studies Conference" (IISC). Akhirnya, penulis pun ikut rombongan mahasiswa penjemput para peserta seminar tersebut. Tokh, esok harinya, rombongan penulis juga akan menuju ke lokasi yang sama.

Waktu tempuh perjalanan dari bandara Hat Yai ke Pattani sekitar 2 jam melalui jalur darat. Setibanya di hotel Central Songkhla (SC), penulis disambut dengan ramah karena mereka menganggap penulis adalah staf penasehat khusus Menteri Agama RI sesuai dengan surat undangan yang penulis bawa.

Pattani merupakan salah satu provinsi di selatan Thailand. Pattani terletak di Semenanjung Melayu dengan pantai Teluk Thailand di sebelah utara. Di bagian selatan terdapat gunung-gunung dan atraksi turisme seperti taman negara Budo-Sungai Padi yang berada di perbatasan provinsi Yala (Jala) dan Narawitha (Menara). Di sini, juga terdapat beberapa tumbuhan unik seperti Palma Bangsoon dan rotan Takathong. Di kawasan perbatasan dengan Songkhla dan Yala, terdapat pula taman rimba yang terkenal dengan air terjunnya, Namtok Sai Khao.

Membincang Islam di Pattani, sungguh telah terbentang sejarah panjang. Dulu, Pattani adalah sebuah kerajaan Melayu Islam berdaulat, mempunyai kesultanan tersendiri. Namun, pada pertengahan abad ke-19, Pattani menjadi "korban" penaklukan Kerajaan Siam (Thailand).

Penaklukan Siam terhadap Pattani tahun 1962, mendapat pengakuan Britania Raya. Untuk mengukuhkan kedudukannya di Pattani, di tahun 1902, kerajaan Siam melaksanakan undang-undang Thesaphiban. Dengan ini, sistem pemerintahan kesultanan Melayu telah dihapuskan. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Bangkok tahun 1909, Pattani diakui Britania sebagai bagian dari jajahan Siam walaupun tanpa mempertimbangkan aspirasi penduduk asli Melayu Pattani.

Pattani merupakan satu dari empat provinsi Thailand yang mempunyai mayoritas penduduk beragama Islam (80%). Nama Pattani sendiri berasal dari bahasa melayu logat setempat, yakni "Pata" (pantai) dan "Ni" (ini). Pattani juga berasal dari bahasa Arab yang artinya "kebijaksanaan" atau "cerdas", karena disitu tempat lahirnya banyak ulama dan cendikiawan dari berbagai golongan dari tanah melayu (jawi). Fattani adalah serambi Mekah yang juga disebut "Fattani Darus Salam".

Malam itu, penulis menginap di hotel CS seorang diri. Fasilitas hotel berbintang lima itu cukup memuaskan. Dalam kesempatan makan malam, penulis bertemu dengan para delegasi dari berbagai negara muslim. Ada yang dari Qatar, Turki, Mesir, Malaysia, Arab Saudi dan banyak lagi. Dalam komunitas ini, penulis serasa kembali ke habitat, sebab bahasa komunikasi yang dipakai adalah bahasa Arab.

Acara Seminar Internasional Studi Islam di Hall Imam Nawawi, College of Islamic Studies, Prince of Songkla University, Pattani, Thailand. 13-17 Januari 2013

Keesokan hari, Senin, 14 Januari 2012, tepat pukul 8 pagi, penulis beserta semua peserta seminar IISC diberangkatkan ke lokasi seminar yang bertempat di Gedung Imam Nawawi, College of Islamic Studies Prince of Songkla University Pattani Campus, Thailand.

Seminar tersebut diagendakan selama 5 hari, mulai tanggal 13-17 Januari 2013. Acaranya begitu padat tapi tersusun rapi. Hebatnya lagi, semua berjalan tepat waktu sesuai schedulle. Acara dibuka dengan pembacaan ayat suci al-Quran dengan lagu tartil yang fasih dan mujawwad. Kemudian, dilanjutkan dengan sambutan perdana menteri Thailand.

Agenda hari pertama ini adalah paparan tentang pandangan terhadap dunia Islam di era global yang khusus disampaikan oleh para perdana menteri dan menteri dari berbagai negara. Indonesia diwakili oleh Menteri Agama RI, Drs H. Suryadharma Ali, MSi. Masing-masing narasumber diberi waktu 45 menit, boleh disampaikan dengan bahasa Inggris atau Arab.

Pertemuan bersama Para Ulama dan Tokoh Agama Islam di Thailand Selatan

Menjelang dzuhur, ada acara konfrensi press yang diliput oleh para jurnalis baik dari dalam negeri Thailand maupun luar negeri yang disampaikan oleh perwakilan dari beberapa negara juga dengan bahasa Inggris atau Arab.  Kabarnya, seminar internasional ini menelan biaya 4,5 milyard rupiah yang semuanya dibiayai oleh pemerintah Thailand.

Demikian besarnya dukungan finansial dari pemerintah Thailand, salah satunya, negeri gajah putih itu ingin menunjukkan bahwa mereka tetap peduli terhadap umat Islam yang disana hanya minoritas, tak lebih dari 5 persen. Oleh sebab itu, tak heran jika acara ini didukung habis-habisan selain juga untuk "meredam" gejolak dari kelompok muslim yang memang sejak lama ingin memisahkan dari kekuasaan pemerintah Thailand.

Terlepas dari konflik politik internal dalam pemerintahan Thailand, yang jelas, seminar itu memberi efek positif bagi perwakilan umat Islam yang hadir disana tentang kesadaran akan kesatuan penduduk dunia dalam kehidupan yang kian mengglobal. Hidup berdampingan dengan saling menghormati dan menghargai adalah kunci perdamaian umat manusia di muka bumi, apapun agamanya dan dari ras, suku, bangsa ia berasal.

Indonesia, melalui Menteri Agama RI, menawarkan 3 konsep persaudaraan (ukhuwah). Yakni, ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa dan setanah air) dan ukhuwah basyariah (persaudaraan antar sesama manusia).

Drs H. Suryadharma Ali (Menteri Agama RI) didampingi Muhammad Hatta (Mantan Dubes RI Thailand) dalam Acara Diskusi Agama dengan Para Ulama Pattani, Thailand

Ketiga konsep persaudaraan yang ditawarkan Islam Indonesia, tampaknya diapresiasi tinggi oleh para peserta seminar di ajang "Konferensi Internasional Studi Islam Ke-2" tersebut. Mereka melihat bahwa, Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tetap menghormati semua pemeluk agama lain. Bahkan, umat Konghuchu di Indonesia yang jumlah hanya 0, 2 persen pun diakui eksistensinya. Inilah negeri dengan beribu pulau, beraneka agama, suku, ras dan bahasa. Kebhinnekaan yang diperkuat dengan nilai toleransi inilah yang ditawarkan Indonesia di mata internasional agar perdamaian dan persaudaraan untuk semua umat manusia bisa terwujud.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar