30 Desember 2015

SALMA INGIN SALAM (Cerpen)

 


"Satu, Dua, Tiga, Bahasa Indonesia", sepotong syair lagu menggema di dinding kelas. Para mahasiswi asing itu tampak ceria, belajar sambil bernyanyi dalam bahasa Indonesia. Tidak ada seorang pun yang absen dalam mata kuliah tambahan bahasa Indonesia yang aku ampu. Mereka tidak ingin melewatkan pelajaran yang hanya dua bulan saja.

Salma, Asma, Hajar, Amel, Adeli, Zainab adalah beberapa nama mahasiswaku di Universitas Sousse, Tunisia. Di setiap materi ajar, selalu aku selingi lagu agar mereka termotivasi sekaligus mengenal budaya Indonesia. Tapi, siang itu, Salma yang biasanya duduk di bangku terdepan, tampak murung di pojok kelas. Pelangi di wajahnya berubah menjadi awan. Entah kenapa? Adakah pelajaran hari ini yang tidak ia sukai?

Usai kuliah, dia menghampiriku. "Ustadz, hal indakum furshoh? Uridul kalam", katanya dalam bahasa Arab. Artinya, "Pak, Anda punya waktu? Saya ingin curhat". "Tentu saja, silahkan", jawabku. "Jangan di sini, Pak. Bisakah kita ke cafe?", ajaknya.

Awalnya, aku terkejut dengan tawaran gadis bermata biru itu. Tapi, setelah aku tahu bahwa ngobrol di cafe bagi orang Tunisia adalah lumrah, aku pun menyanggupinya. Sebab, hanya cafe tempat mereka bisa bersilaturrahmi di tengah himpitan rumah khas Arab yang disekat tembok bak benteng pertahanan perang. Di cafe, mereka dapat bercanda tawa, meluapkan emosi, berbagi cerita dan tentunya, menghirup nafas kebebasan.

Seiring terpaan cuaca dingin hingga 10 derajat, saat matahari di sore hari mulai sembunyi di ufuk sebelah barat, kembali aku melihat wanita berkerudung merah tengah berdiri menanti kedatanganku. Senyumnya begitu merekah saat aku menghampirinya. Tanpa basa-basi, ia segera mengajakku berjalan menuju Lumerre, sebuah cafe artistik ala Prancis dengan penataan interior yang glamour.

"Orange Juice", kata Salma kepada si pramusaji. "Coffe Alonje", pesanku. "Terima kasih, Ustadz, atas waktu dan kesempatan ini", katanya, membuka percakapan kami di bawah bayangan lampu cafe yang berkilauan. Aku hanya tersenyum sambil menunggu apa yang akan ia utarakan dari lubuk hatinya yang paling dalam.

"Aku suka Indonesia", kalimat pertama yang meluncur dari bibirnya yang ranum. "Karena itukah kamu belajar bahasanya?", tebakku. "Benar. Tapi, ada satu alasan lain yang membuatku cinta Indonesia". Ah, aku benar-benar dibuatnya penasaran. "Muslim Indonesia begitu taat menjalankan agamanya. Mereka belajar bahasa Arab untuk memahami al-Quran", jelasnya.

"Bukankah muslim di Tunisia juga taat beragama? Apalagi, pasca revolusi tahun 2011, geliat belajar Islam mulai semarak. Simbol dan syiar agama juga banyak terlihat dimana-mana", kataku mencoba membandingkan. "Ustadz benar, tapi itu sekedar simbol. Esensi Islam yang menebarkan kedamaian sama sekali belum aku rasakan", keluhnya sambil mengaduk juice.

"Benarkah kamu belum merasakan kedamaian?", pancingku. "Yah, begitulah. Aksi terorisme masih berlanjut. Aku khawatir, kerusuhan di Timur Tengah merembet ke negeri yang kami cintai ini", ucapnya lirih, sambil kedua matanya menatap ke ruang kosong seakan membayangkan peristiwa yang mengerikan.

"Tenanglah, jangan khawatir! Allah tidak tidur. Dia selalu menjaga hamba yang mencintai kedamaian", kataku sambil merasakan pahitnya kopi sepahit perasaan Salma. Mendengar nasehatku, wanita itu berusaha tersenyum, lalu ia memujiku, "Ustadz adalah orang yang baik. Selama hidup, aku belum pernah bertemu pria yang asyik diajak ngobrol, apalagi bisa membuat hatiku tenang. Bagai oase di tengah gurun sahara".

Pujiannya itu membuatku salah tingkah. Aku menjadi tidak mengerti: apakah aku telah menasehati ataukah sekedar memberi harapan kosong? Yang jelas, duduk berdua dengannya, makin lama makin membuatku melayang entah kemana. Lama sekali kami berbincang dan bersenda gurau hingga ia berkata:

"Ustadz, aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak akan menikah selamanya". Dengan sedikit terkejut, aku bertanya, "Kenapa? Bukankah menikah itu sunnah Nabi dan kebutuhan manusiawi?". Kembali, wanita berusia 20 tahun ini menegaskan, "Tidak. Aku merasa damai saat sendiri. Jika dengan menikah akan lahir anak-anak yang lucu, maka saat ini aku sudah memiliki keponakan yang sering aku ajak bermain. Bagiku, itu sudah cukup".

Demi memperkuat argumennya, ia memutar video di ponsel yang menampilkan wajah keponakannya yang menggemaskan. Usai film itu diputar, aku berkata, "Jika kamu telah menyayangi anak kecil, berarti jiwa keibuan sudah tumbuh di dalam dirimu. Saya yakin, tak lama lagi, kamu akan berubah pikiran, dari menolak nikah menjadi menerimanya sebagai takdir terindah".

"Benarkah?", katanya dengan nada agak tinggi. "Ya, percayalah", aku berusaha meyakinkan.

"Dua hari lagi, Ustadz kembali ke Indonesia, bertemu keluarga yang lama dirindukan. Izinkan aku membacakan sebuah puisi sebagai pengantar perjalanan". "Baik, terima kasih. Aku siap mendengarkannya", kataku.

Lalu, ia mengeluarkan sebuah notes dari tasnya. Jari-jemarinya mulai menunjuk ke arah tulisan tangan yang ia goreskan dengan khat Arab yang rapi. Kalimat demi kalimat ia baca pelan-pelan. Mempesona sekali. Apalagi, diiringi musik instrumental di cafe yang melandai dan menusuk semua relung-relung jiwa.

Tiba-tiba, kalimat terakhir dari puisi itu serasa menusuk kalbuku.

"Dirimu yang datang bagai burung rajawali, sempat kutitipkan asaku disayapmu. Aku bermimpi, kau membawaku terbang menuju angkasa. Aku ingin bebas dari sangkar yang membelengguku selama ini. Apa daya, itu hanyalah sebuah mimpi".

"Bagaimana puisiku, Ustadz?", tanya wanita itu. Bola matanya tampak berkaca-kaca. "Indah sekali seindah penulisnya", komentarku. "Aku heran, bagaimana mungkin kamu membenci pernikahan, padahal jiwa keibuan dan puisimu ini adalah bukti kekuatan cinta? Pasti ada alasan lain", tanyaku lagi.

"Aku belum menemukan pria baik yang mengerti diriku. Pria taat beragama tapi tidak egois. Sebab, aku pernah membaca kisah seorang isteri yang dalam sekejap berubah statusnya menjadi janda karena suaminya pergi entah kemana. Kabarnya untuk berjihad. Itukah cinta? Bukankah Islam itu bermakna salam yang menebar kedamaian dan pernikahan itu harus sakinah, mawaddah dan rahmah?", jelas Salma tentang suara hatinya.

Pengakuannya itu membuatku mengerti alasan kenapa ia trauma dan membenci pernikahan yang hanya dibangun dari rajutan cinta yang egois. "Semoga Allah memilih suami terbaik untukmu, yang mencintai dan tidak meninggalkanmu dari dunia hingga akhirat", doaku padanya.

Ia pun mengamini dan berterima kasih. "Sebelum kita berpisah, saya ingin tahu pendapat Ustadz tentang diri saya. Tolong, beri saya satu kalimat pendek yang akan saya ingat untuk selamanya".

Sungguh, permintaannya ini membuatku berpikir keras untuk memilih untaian kata yang tepat tentang wanita istimewa yang sudah sejam lamanya bersamaku. Akhirnya, aku pun memberanikan diri berkata:

"Jika Tunisia dikenal dengan zaitunnya, maka zaitun sesungguhnya adalah dirimu. Sayangnya, tak mungkin sayapku membawamu ke negeriku, karena setibanya di sana, dirimu akan layu. Biarlah di sini, sebab gersangnya sahara lebih membutuhkan zaitun terindah yang pernah aku saksikan di muka bumi".

*) Tunisia, 7 Desember 2015
Diterbitkan Jawa Pos, Radar Malang, Ahad, 27 Desember 2015

Tidak ada komentar:
Tulis komentar