"Satu, Dua, Tiga, Bahasa Indonesia", sepotong syair lagu
menggema di dinding kelas. Para mahasiswi asing itu tampak ceria, belajar
sambil bernyanyi dalam bahasa Indonesia. Tidak ada seorang pun yang absen dalam
mata kuliah tambahan bahasa Indonesia yang aku ampu. Mereka tidak ingin
melewatkan pelajaran yang hanya dua bulan saja.
Salma, Asma, Hajar, Amel, Adeli, Zainab adalah beberapa nama
mahasiswaku di Universitas Sousse, Tunisia. Di setiap materi ajar, selalu aku
selingi lagu agar mereka termotivasi sekaligus mengenal budaya Indonesia. Tapi,
siang itu, Salma yang biasanya duduk di bangku terdepan, tampak murung di pojok
kelas. Pelangi di wajahnya berubah menjadi awan. Entah kenapa? Adakah pelajaran
hari ini yang tidak ia sukai?
Usai kuliah, dia menghampiriku. "Ustadz, hal indakum furshoh?
Uridul kalam", katanya dalam bahasa Arab. Artinya, "Pak, Anda punya
waktu? Saya ingin curhat". "Tentu saja, silahkan", jawabku.
"Jangan di sini, Pak. Bisakah kita ke cafe?", ajaknya.
Awalnya, aku terkejut dengan tawaran gadis bermata biru itu. Tapi,
setelah aku tahu bahwa ngobrol di cafe bagi orang Tunisia adalah lumrah, aku
pun menyanggupinya. Sebab, hanya cafe tempat mereka bisa bersilaturrahmi di
tengah himpitan rumah khas Arab yang disekat tembok bak benteng pertahanan
perang. Di cafe, mereka dapat bercanda tawa, meluapkan emosi, berbagi cerita
dan tentunya, menghirup nafas kebebasan.
Seiring terpaan cuaca dingin hingga 10 derajat, saat matahari di
sore hari mulai sembunyi di ufuk sebelah barat, kembali aku melihat wanita
berkerudung merah tengah berdiri menanti kedatanganku. Senyumnya begitu merekah
saat aku menghampirinya. Tanpa basa-basi, ia segera mengajakku berjalan menuju
Lumerre, sebuah cafe artistik ala Prancis dengan penataan interior yang
glamour.
"Orange Juice", kata Salma kepada si pramusaji.
"Coffe Alonje", pesanku. "Terima kasih, Ustadz, atas waktu dan
kesempatan ini", katanya, membuka percakapan kami di bawah bayangan lampu
cafe yang berkilauan. Aku hanya tersenyum sambil menunggu apa yang akan ia
utarakan dari lubuk hatinya yang paling dalam.
"Aku suka Indonesia", kalimat pertama yang meluncur dari
bibirnya yang ranum. "Karena itukah kamu belajar bahasanya?",
tebakku. "Benar. Tapi, ada satu alasan lain yang membuatku cinta
Indonesia". Ah, aku benar-benar dibuatnya penasaran. "Muslim
Indonesia begitu taat menjalankan agamanya. Mereka belajar bahasa Arab untuk
memahami al-Quran", jelasnya.
"Bukankah muslim di Tunisia juga taat beragama? Apalagi, pasca
revolusi tahun 2011, geliat belajar Islam mulai semarak. Simbol dan syiar agama
juga banyak terlihat dimana-mana", kataku mencoba membandingkan.
"Ustadz benar, tapi itu sekedar simbol. Esensi Islam yang menebarkan
kedamaian sama sekali belum aku rasakan", keluhnya sambil mengaduk juice.
"Benarkah kamu belum merasakan kedamaian?", pancingku.
"Yah, begitulah. Aksi terorisme masih berlanjut. Aku khawatir, kerusuhan
di Timur Tengah merembet ke negeri yang kami cintai ini", ucapnya lirih,
sambil kedua matanya menatap ke ruang kosong seakan membayangkan peristiwa yang
mengerikan.
"Tenanglah, jangan khawatir! Allah tidak tidur. Dia selalu
menjaga hamba yang mencintai kedamaian", kataku sambil merasakan pahitnya
kopi sepahit perasaan Salma. Mendengar nasehatku, wanita itu berusaha
tersenyum, lalu ia memujiku, "Ustadz adalah orang yang baik. Selama hidup,
aku belum pernah bertemu pria yang asyik diajak ngobrol, apalagi bisa membuat
hatiku tenang. Bagai oase di tengah gurun sahara".
Pujiannya itu membuatku salah tingkah. Aku menjadi tidak mengerti:
apakah aku telah menasehati ataukah sekedar memberi harapan kosong? Yang jelas,
duduk berdua dengannya, makin lama makin membuatku melayang entah kemana. Lama
sekali kami berbincang dan bersenda gurau hingga ia berkata:
"Ustadz, aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak akan
menikah selamanya". Dengan sedikit terkejut, aku bertanya, "Kenapa?
Bukankah menikah itu sunnah Nabi dan kebutuhan manusiawi?". Kembali,
wanita berusia 20 tahun ini menegaskan, "Tidak. Aku merasa damai saat
sendiri. Jika dengan menikah akan lahir anak-anak yang lucu, maka saat ini aku
sudah memiliki keponakan yang sering aku ajak bermain. Bagiku, itu sudah
cukup".
Demi memperkuat argumennya, ia memutar video di ponsel yang
menampilkan wajah keponakannya yang menggemaskan. Usai film itu diputar, aku
berkata, "Jika kamu telah menyayangi anak kecil, berarti jiwa keibuan
sudah tumbuh di dalam dirimu. Saya yakin, tak lama lagi, kamu akan berubah
pikiran, dari menolak nikah menjadi menerimanya sebagai takdir terindah".
"Benarkah?", katanya dengan nada agak tinggi. "Ya,
percayalah", aku berusaha meyakinkan.
"Dua hari lagi, Ustadz kembali ke Indonesia, bertemu keluarga
yang lama dirindukan. Izinkan aku membacakan sebuah puisi sebagai pengantar
perjalanan". "Baik, terima kasih. Aku siap mendengarkannya",
kataku.
Lalu, ia mengeluarkan sebuah notes dari tasnya. Jari-jemarinya
mulai menunjuk ke arah tulisan tangan yang ia goreskan dengan khat Arab yang
rapi. Kalimat demi kalimat ia baca pelan-pelan. Mempesona sekali. Apalagi,
diiringi musik instrumental di cafe yang melandai dan menusuk semua
relung-relung jiwa.
Tiba-tiba, kalimat terakhir dari puisi itu serasa menusuk kalbuku.
"Dirimu yang datang bagai burung rajawali, sempat kutitipkan
asaku disayapmu. Aku bermimpi, kau membawaku terbang menuju angkasa. Aku ingin
bebas dari sangkar yang membelengguku selama ini. Apa daya, itu hanyalah sebuah
mimpi".
"Bagaimana puisiku, Ustadz?", tanya wanita itu. Bola
matanya tampak berkaca-kaca. "Indah sekali seindah penulisnya",
komentarku. "Aku heran, bagaimana mungkin kamu membenci pernikahan,
padahal jiwa keibuan dan puisimu ini adalah bukti kekuatan cinta? Pasti ada
alasan lain", tanyaku lagi.
"Aku belum menemukan pria baik yang mengerti diriku. Pria taat
beragama tapi tidak egois. Sebab, aku pernah membaca kisah seorang isteri yang
dalam sekejap berubah statusnya menjadi janda karena suaminya pergi entah
kemana. Kabarnya untuk berjihad. Itukah cinta? Bukankah Islam itu bermakna salam
yang menebar kedamaian dan pernikahan itu harus sakinah, mawaddah
dan rahmah?", jelas Salma tentang suara hatinya.
Pengakuannya itu membuatku mengerti alasan kenapa ia trauma dan membenci
pernikahan yang hanya dibangun dari rajutan cinta yang egois. "Semoga
Allah memilih suami terbaik untukmu, yang mencintai dan tidak meninggalkanmu
dari dunia hingga akhirat", doaku padanya.
Ia pun mengamini dan berterima kasih. "Sebelum kita berpisah,
saya ingin tahu pendapat Ustadz tentang diri saya. Tolong, beri saya satu
kalimat pendek yang akan saya ingat untuk selamanya".
Sungguh, permintaannya ini membuatku berpikir keras untuk memilih
untaian kata yang tepat tentang wanita istimewa yang sudah sejam lamanya
bersamaku. Akhirnya, aku pun memberanikan diri berkata:
"Jika Tunisia dikenal dengan zaitunnya, maka zaitun
sesungguhnya adalah dirimu. Sayangnya, tak mungkin sayapku membawamu ke
negeriku, karena setibanya di sana, dirimu akan layu. Biarlah di sini, sebab
gersangnya sahara lebih membutuhkan zaitun terindah yang pernah aku saksikan di
muka bumi".
*) Tunisia, 7 Desember 2015
Diterbitkan Jawa Pos, Radar Malang, Ahad, 27 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Tulis komentar