Seperti biasa, setelah mengaji dan berlatih
tajwid hingga berdarah-darah (hehe, ya ngak lah), kami ngopi sambil ngudut
bareng. Ah, asyik sekali. Ini kesempatan berbincang santai, curhat dan sesekali
membahas pedihnya kehidupan jomblo. Glodak!!!
Suasana yang biasanya damai ini, tiba-tiba
gempar. Karena, salah seorang santri tiba-tiba bertanya: “Ustadz, benarkah Ahok
ada di dalam al-Quran?”.
“Hus!”, bentakku. Darahku langsung mendidih.
Ingin sekali aku berteriak takbir supaya santri metal ini digebuki oleh
teman-temannya. Tapi, apalah gunanya kekerasan? Toh, itu bukan gayaku. Woles
aja. Tidak perlu terlalu sensi. Utamakan klarifikasi atau tabayyun. Boleh jadi,
dia salah paham atau terpengaruh paham salah.
“Kamu kok bisa tahu, kalau Ahok ada di dalam al-Quran?”,
kataku. Pertanyaan ini penting diajukan, sebab setahuku, untuk membaca Quran
saja, si santri ini belum lancar, tapi kok sudah bisa tafsir, bahkan ini
melebihi takwil. “Jangan-jangan, ilmu laduni”, pikirku penasaran.
Santri polos itu pada akhirnya mengaku, “Saya
tahu kabar ini setelah saya mendengar ceramah seorang dai yang disampaikan
dengan menggebu-gebu. Dalam orasinya yang mirip Bung Karno itu, beliau melarang
untuk memilih Ahok karena statusnya non-muslim alias kafir. Larangan itu,
katanya, ada di dalam al-Quran.”
“Hah…!!”, rasa kagetku makin tak tertahankan.
Mana mungkin, fenomena Ahok ini sudah disinggung sejak 14 abad yang lalu, dan
hebatnya lagi, baru muncul di era Pilkada DKI saat ini. Pasti ada yang tidak
beres. Akhirnya, aku pun bertanya lagi, “Apa kamu masih ingat, di surah dan
ayat berapa?”
Sambil mengerutkan kening, santri yang mantan
preman ini berusaha mengingat-ingat sesuatu. Lima menit kemudian, dia berkata:
“Oiya, dalam ceramahnya, ustadz dai itu mengutip
ayat 51 surah al-Maidah yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya”.
“Loh, bukankah ayat itu hanya memuat larangan
untuk memilih “auliya” dari kalangan Yahudi dan Nasrani? Di dalam ayat ini,
sama sekali tidak ada kata Ahok”, jelasku.
“Iya, iya, benar”, sahut para santri yang lain.
Lalu, si santri metal ini berkata lagi.
“Awalnya, saya pikir begitu. Tapi, ustadz dai
itu menjelaskan tafsirnya sendiri. Bahwa, yang dimaksud “auliya” itu adalah
pemimpin. Jadi, gubernur itu juga pemimpin, sama seperti maksud ayat itu. Nah,
terkait Pilkada DKI, siapa lagi yang dimaksud pemimpin kalau bukan Ahok? Itu
artinya, Ahok telah disinggung sejak 14 abad yang lalu, dan telah ada di dalam
al-Quran. Itulah sebabnya, saya tadi bertanya: apa benar Ahok ada di dalam
al-Quran?”.
Hmm… setelah mendengar penjelasan santri metal ini,
rasa kopi yang kuminum mulai terasa lenyap aromanya. “Maaf, apa itu yang
disebut politisasi agama dengan memakai ayat-ayat suci untuk kepentingan
politik kekuasaan?”, tanya santri lain bernama Mukidi.
“Wallahu a’lam, tanyakan saja kepada mereka yang
paling tahu secara yakin maksud firman Allah dalam ayat itu”, jawabku, singkat. Sebagai
penutup majelis, aku teringat sindiran Gus Mus: “Gusti Allah kok diajak
kampanye”.
Ah, sudahlah, biarkan orang Jakarta asyik ribut
karena hobby mereka memang ribut. Kalau ngak ribut, ya ngak hidup. Kita disini,
cukup nonton sambil ngudut.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar