12 Oktober 2016

Ribut di Jalan Allah

 


Sering kita mendengar kata “Sabilillah” yang artinya “Jalan Allah”. Maksudnya, tentu saja jalan menuju Allah. Seperti orang yang hendak bepergian dari Malang menuju Jakarta, ia akan dihadapkan dengan berbagai pilihan jalan dan cara bepergian. Ada yang melewati jalan darat, laut, bahkan udara. Ada yang memilih jalan tol, ada yang menyisir jalur pantai utara, pantai selatan, dan banyak lagi.

Selain itu, ada yang perlu bantuan google map, peta, informasi dari pihak travel, pasrah kepada sopir, tapi ada juga yang karena semangat “adventure” justru mencari jalan baru yang belum dilewati orang lain. Dari sekian banyak cara dan jalan, tujuannya satu, yakni Jakarta. Namun, ada juga yang tersesat, merasa menemukan jalan tapi ternyata tidak sampai di tujuan. Yang lucu, mengira telah tiba di Jakarta, padahal masih di Surakarta atau Yogyakarta, hanya karena kesamaan “karta”.

Islam sebagai agama, sesungguhnya merupakan petunjuk bagi manusia dalam memilih jalan agar jarak tempuh lebih cepat, lebih mudah, tidak tersesat, bahkan lebih murah dan menyenangkan. Karena itu, beragama Islam mestinya lebih merasakan kedamaian dan keindahan dalam menjalani kehidupan di dunia dan di akhirat nantinya, yang finishnya adalah Allah. Sebagaimana firman-Nya, (وإلى ربك منتهاها) “Kepada Tuhanmu, puncak perjalanan”.

Oleh karena satu tujuan, yakni Allah, maka semestinya tidak perlu saling ribut apalagi bertengkar tentang mana jalan yang paling benar. Toh, semua sudah berikrar untuk menuju Allah. Jika memang ada yang tersesat jalannya, cukup diajak kembali ke jalan yang lurus dan benar, bila perlu dituntun. Cara mengajaknya, juga harus sesuai dengan aturan, yaitu dengan cara bijak (hikmah) dan nasihat baik (maidhah hasanah). Boleh dengan cara debat, tapi yang santun. Tidak perlu paksaan, apalagi kekerasan. Inilah kedewasaan.

Perjalanan akan terasa indah, jika semua bersikap arif. Tapi nyatanya, ada pula yang masih kekanak-kanan. Senang bertikai hanya gara-gara beda jalan dan beda cara saja. Jika melihat ada ketidaksamaan, maka langsung diberi stigma “bid’ah, sesat, kufur, syikir, khurafat, dsb”. Padahal, yang menilai dan yang dinilai, sama-sama belum pernah tiba di tujuan. Uniknya lagi, ada yang hobinya memang mencari-cari celah perbedaan untuk diisukan agar tampak heboh, lalu asyik bertengkar.

Jika masih di jalan saja sudah ribut dan saling sikut, maka bisa saja semua yang ribut itu tidak segera sampai di tempat tujuan yang sebenarnya, atau bahkan berhenti karena energinya telah habis untuk bertengkar di tengah jalan, sehingga lupa bahwa semestinya berjalan itu hanya karena Allah dan semata-mata tertuju kepada-Nya.

Berjalan menuju Allah, sesungguhnya mudah dan menyenangkan, karena jalan itu banyak dan lapang. Sulitnya adalah bagaimana menempuh perjalanan hanya karena Allah semata, tidak karena lain-Nya. Memang, kalau sekedar menyatakan “Lillahi Ta’ala”, maka setiap orang mungkin bisa, bahkan anak kecil yang belum dewasa pun juga mampu. Tapi, pelaksanaannya jelas tidak gampang.

Poin penting tulisan ini adalah himbauan untuk tidak saling ribut di jalan, apalagi saling menjegal. Semua sedang dalam proses perjalanan dan tidak ada yang tahu bagaimana akhirnya, apakah benar-benar mencapai puncak yang hakiki, yakni Allah. Atau sebaliknya, justru jalan yang ditempuh ternyata keliru.

Wallahu a’lam

Tidak ada komentar:
Tulis komentar