7 Desember 2017

Mengenang Mantan Ponsel

 

Kini, ponsel sudah menjadi "teman mesrah" oleh hampir semua umat manusia. Keluar rumah lupa bawa ponsel seperti ada yang hilang dari diri kita. Itu artinya, ponsel telah menjadi bagian hidup yang tak terpisahkan. Istilah sufinya, manunggaling kawula ponsel, hehe...

Sekitar tahun 1998, ponsel sudah ada di Indonesia. Saat itu masih didominasi Motorola dan Ericson sebelum dibeli Sony. Perangkat nirkabel pertama yang saya kenal adalah pager. Di pesantrenku dulu, hanya satu orang yang punya pager. Wow... itu sudah kelihatan keren bin ajaib. Hanya saja, teknologi pager masih searah. Jadi, kalau ada pesan masuk, tampilannya hanya berupa pesan singkat (sms). Pemiliknya hanya bisa membaca dan tidak bisa langsung segera membalas karena harus lebih dulu menghubungi pihak operator. Meski begitu, membawa pager sudah seperti naik ferrari.

Saya baru punya ponsel akhir tahun 1999. Saat itu, sekampung kurang dari 10 orang yang punya, cie..cie.. Ponsel pertamaku Ericson T28s. Meski bekas, yang penting keren. Ada antena di sisi pojok atas ponsel, cukup buat aksi-aksian karena ketika ponsel dimasukkan saku, antenanya masih kelihatan. Itulah yang bikin cewek klepek-klepek, hehehe.

Berapa harga pulsa saat itu? Mahal, Bro! Sekali sms, 350 rupiah. Telpon semenit bisa 3.500. Jika luar kota, harganya lebih mahal dan hitungannya bisa perdetik, semenit nelpon bisa habis 10 - 20 ribu. Beli pulsa minimal 100 ribu, harganya 135 ribu dengan masa aktif dan masa tenggang sebulan saja.

Alhasil, kalau kirim sms, harus pintar pilih kalimat yang efektif supaya tidak mubazir. Kalau nelpon selalu tergesa-gesa supaya pulsa tetap awet. Beda dengan sekarang, mau ceramah sejam via ponsel, masih murah, asal baterai tahan lama.

Ketika Ericson mulai kalah pamor dengan Nokia, akhirnya beralih ke Nokia 8250. Saat itu, produk Nokia paling laris adalah Nokia 3310 sampai dikenal Ponsel Sejuta Umat seperti Mobil Carry dan Avanza saat ini, hehe...

Teknologi baru Nokia hampir sama dengan ponsel lain, cuma inovasinya tampil tanpa antena dengan nada dering lebih panjang meskipun masih midi alias poliponik. Selain itu, aplikasi game yang ditawarkan, juga lebih banyak, sekitar 3 game, hehehe... yang penting sudah jamak!

Teknologi ponsel terus berkembang. Nokia menjadi "imam"nya hingga berhasil memproduksi ponsel ala laptop mini bernama 9250. Awalan angka 9 menunjukkan produk paling tinggi derajat teknologinya hingga terbawa dalam mimpi. Tapi, apa daya harganya masih selangit!

"Kutunggu jandamu", itulah cara paling bijak. Setelah setahun lebih, akhirnya bisa beli Nokia 9250, lagi-lagi statusnya mantan alias bekas, tapi masih mulus. Lumayan, ponsel berbody besar dengan keybord menonjol ini menjadi teman setia saat menulis artikel dan menerjemah teks bahasa Arab.

Punya ponsel satu, tampaknya masih kurang. Begitulah sifat manusia. Akhirnya, beli Nokia 6235 CDMA tujuannya ingin irit karena cukup pakai pulsa lokal dan terpengaruh slogan Flexi, "Bukan Telepon Biasa". Dan benar, bukan telepon biasa sebab pada akhirnya Telkom Flexi takluk dibawah kaki teknologi 4G.

Nokia terus memborbardir pasar dengan ponsel-ponsel baru hingga hadir Nokia E-71. Awalan E menunjukkan ponsel itu kompatibel dengan program office. Inilah faktor pendorong saya ceraikan N 9250 yang bertubuh bonsor itu dengan menjual murah. Rugi tidak masalah asal teknologi baru bisa dirasa. Kira-kira begitu godaan setan terhadap pecinta gadget.

Nokia E-71 benar-benar membawa berkah. Tiap hari, bisa menulis artikel pendek melalui ponsel, bahkan saat di kamar mandi sekalipun, hehe...

Tahun 2010, saat di Madinah, hati ini tergoda Nokia N97 mini. Di kota Nabi, tabarrukan beli N97 mini, ponsel cerdas, body stenles, multimedia, office, symbian oke, pokoknya puas deh. Nokia memang oke oce. Akan tetapi, inovasi teknologi dan bisnis, terus berjalan cepat. Roda terus berputar.

Ketika era Nokia mulai redup seiring meningkatnya pengguna Android, sementara Nokia tetap loyal dengan Syimbian. Saat itu saya sudah perkirakan, bahwa kedigdayan Nokia sebentar lagi hancur. Prediksiku benar, hehehe.... Nokia pun hilang ditelan zaman, lahirlah era Samsung yang dulu tidak diperhitungkan. Berkat Android, ponsel buatan Korea itu merajai pasar Indonesia dan bahkan dunia.

Samsung dan Android, dua hal ini yang akhirnya saya beralih ke Samsung Galaxi Note 1. Ponsel sakti dengan pen stylish, keren abis. Saat jadi raja gadget, gaya perang Samsung mirip Nokia. Pasar digelontor aneka produk hingga umat meyakini, Samsung lah ponsel ideal. Padahal, di sana ada Apple yang tetap santai, tapi selalu ada di hati umat.

Kini, Samsung mulai digempur produk Cina, lebih murah dan teknologinya hampir sama. Banjirnya produk lokal dan Cina ini membuat pasar menjadi seimbang. Samsung tidak bisa semena-mena karena pesaingnya siap merebut hati pecinta gadget.

Itu kenapa saya beralih ke Oppo F1 Selfie, hampir 2 tahun menemani dan kini tak lagi tergoda dengan gadget baru. Kenapa pilih Oppo F1? Entahlah, mungkin karena Raisa jadi bintang iklannya, hehehe...

Salam Teknologi

Tidak ada komentar:
Tulis komentar