11 Desember 2017

TEST THE WATER DONALD TRUMP

 

Dunia terkejut. Itulah reaksi hampir semua masyarakat dunia terhadap kebijakan sepihak Presiden USA, Donald Trump yang menetapkan Jerussalem sebagai ibukota Israel.
Membincang konflik Jerussalem, tentu panjang ceritanya. Jauh sebelum negara Israel ada, Jerussalem sudah menjadi tanah sengketa antara etnis Arab dan etnis Yahudi. Sebenarnya sih, etnis Yahudi juga etnis Arab. Sebab, Bani Israel yang silsilahnya sambung ke Nabi Ishaq adalah saudara kandung beda ibu dengan Bani Ismail atau Arab, yang mana antara Ismail dan Ishaq adalah putra Nabi Ibrahim (Abraham).
Jadi, konflik perebutan Jerussalem atau kota suci al-Quds alias Baitul Maqdis, asalnya adalah konflik sengketa keluarga atas wilayah teritorial yang diperebutkan antara dua etnis, lalu konflik itu melebar menjadi konflik bermuatan agama, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan seterusnya. Yang terlibat pun, makin meluas, tentu dengan kepentingan masing-masing.
Terlepas dari sejarah panjang tersebut, kini apa sebenarnya motif kebijakan Trump dengan keputusannya yang kontroversial itu? Hanya Allah dan Trump yang tahu. Tapi, jika dianalisis, akan diperoleh jawabannya beragam tergantung pisau analisis, sentimen dan sensivitas masing-masing dalam melihat sebuah masalah.
Bisa jadi, Trump hanya "Test the Water". Testing the Water, alias "Ngetes Air" yaitu memancing reaksi publik sebelum mengeluarkan kebijakan/keputusan. Jika publik tidak bereaksi atau merespons positif, maka "the show must go on", kebijakan itu akan ditetapkan. Tapi ini kan sudah ada kebijakan, meski sepihak? Kalau begitu, berarti Trump sudah melangkah "To fish in troubled waters", alias Memancing di air keruh.
Banyak pengamat melihat ekonomi AS mulai rapuh, bahkan diambang kebangkrutan. Kedigdayaannya di bidang ekonomi mulai tertinggal jauh dengan Cina yang produknya hampir menguasai pasar dunia. Sementara itu, sekutu AS seperti Inggris dan Prancis sudah mulai menjauh sebagai mitra bisnis AS karena ekonomi Eropa relatif stabil setelah sempat goyah akibat bangkrutnya Yunani.
Rusia sebagai rival abadi AS, bisnis senjatanya lancar dan sekutunya seperti Iran dan Suria akhirnya menang melawan ISIS yang didukung AS dan juga Saudi sebagai teman mesra AS di Timur Tengah. Tapi, tunggu dulu, visi Saudi 2030 yang akan menjadi negara terbuka seperti Qatar, juga menjadi ancaman ekonomi AS. Jika Saudi mulai menunjukkan kemandirian ekonomi, kedaulatan negara, menganut ekonomi liberal, maka jelas AS tidak akan menjadi satu-satunya rekan bisnis Saudi yang notabene-nya sebagai negara Arab terkaya. Jadi, Saudi sendiri berpotensi menjadi ancaman bagi AS.
Iran, Korut, Suria, dan bahkan Turki sudah jelas sulit berkawan dan diajak kerjasama bisnis dengan AS. Sebagai negara adikuasa, AS ingin memetakan negara mana saja yang masih loyal, mana yang anti, mana yang abu-abu, dan seterusnya. Lebih daripada itu, bisa jadi keputusan Trump ini dibuat untuk mengukur sejauh mana AS masih dipercaya sebagai adidaya.
Tujuan lainnya, tentu saja ada unsur bisnis. Jika negara-negara di teluk mulai adem ayem dan berkonsentrasi pada pengembangan ekonomi, maka kondisi aman dan makmur ini tidak menguntungkan AS sebagai negara adidaya. Pasalnya, AS berkepentingan untuk memasok senjata dan membentuk oponi bahwa AS siap menjaga perdamaian dunia.
Untuk itu, keputusan yang menuai kontroversi ini dilakukan Trump. Si Rambut Jagung ini ingin melihat peta kekuatan negara-negara di dunia. Ia ingin memastikan mana teman sejatinya di saat alur bisnis ekonomi dunia makin mengglobal lintas batas. Ia juga ingin tahu sekutunya, terlebih bonekanya bernama ISIS mulai dibasmi dan kalah. Jadi, harus ada konflik agar bisnis AS kembali bersinar sekaligus untuk menunjukkan bahwa negeri Paman Sam itu masih pantas disebut Adidaya.
Yah, tulisan ini sekedar analisisku di pagi yang cerah ini. Abaikan jika tidak setuju atau tidak perlu.
Yang jelas, jelang 2020, bukan lagi waktunya begadang meski begadang itu ada artinya, tapi berdagang dan berdagang karena berdagang merupakan cara menguasai dunia.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar