3 Desember 2019

Umat Wasatha: Standar bagi Kemanusiaan

 

Umat Wasatha: Standar bagi Kemanusiaan
Al-Habib Ali Al-Jufri

Dalam acara "International Conference" di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Selasa, 3 Desember 2019, narasumber spesial, Habib Ali al-Jufri (Uni Emirat Arab) menyampaikan banyak mutiara hikmah. Salah satunya tentang posisi dan tugas 'Umat Wasatha'.

Kata wasatha, secara bahasa, berarti ada di antara dua sisi atau di tengah. Kini, dimaknai 'moderat' karena tidak tdk ekstrem kanan dan kiri. Lalu, apa itu umat wasatha sebagaiman dalam al-Baqarah ayat 143?

Menurut Habib Ali al-Jufri, umat wasatha itu harus mampu menjadi syuhada' (saksi) atas manusia. Maksudnya, kita umat Islam harus menjadi 'Mizan', standar ideal, tolok ukur bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Kenapa? karena hanya manusia yang menerima 'amanat' dari Allah. Amanat ini adalah agama (diin) dan juga etika (qiyam).

Karena itu, tidak mudah bagi kita menjadi standar ideal bagi seluruh manusia. Jika kita mampu, maka Rasulullah saw sendiri yang akan menjadi saksi untuk kita seperti dalam al-Baqarah 143.

Bagaimana menjadi umat berstandar ideal dan contoh bagi kemanusiaan? Caranya, kita harus mengedepankan akhlaq nabawiyah dan menguasai ilmu pengetahuan dan sains. Jika akhlaq dan iptek tidak kita utamakan, berarti kita sudah melenceng dari posisi tengah (wastaha) itu sendiri.

Teknologi nuklir, kecerdasan buatan, robotik, dls, hrs dikuasai karena dengan ajaran agama dan etika yang diajarkan Nabi, kita akan mampu mengontrol kemanusiaan ke standar ideal. Tidak menyalahgunakan iptek dan sains.

Kini kita menghadapi ancaman global seperti global warming. Es di kutub utara terus mencair, polusi udara semakin parah akibat limbah industri dan kendaraan bermotor, serta menipisnya kepedulian manusia terhadap lingkungannya. Semua itu sebenarnya tanggungjawab kita sebagai umat ideal bagi kemanusiaan.

Inilah amanat yang harus kita pikul sebagai umat wasatha, umat yang dalam agamanya diajarkan tentang sikap adil, tidak berlebih-lebihan (ishraf), yang itu telah dicontohkan Nabi.

Kita diperintah makan dan minum, tapi dilarang berlebihan. Bahkan, saat kita berwudlu di laut sekalipun, kita tidak boleh berlebihan, cukup 3 kali di tiap basuhan. Inilah tawassuth itu. Yakni, bersikap adil dan tdk berlebihan. Jadi, penting sekali memahami ajaran agama dan etika, sekaligus menguasai iptek dan sains untuk kemanusiaan dan kehidupan dunia.

Disarikan dari untaian hikmah Habib Ali Al-Jufri, matta'ana Allah bi ilmihi wa thuli hayatihi.

Wallahu A'lam
www.taufiq.net



Tidak ada komentar:
Tulis komentar