Jika Mourinho menyebut dirinya The Special One, maka saya tak ragu menjuluki Lionel Messi, The Only One. Hanya satu-satunya pesepak bola terhebat, pemilik rekor terbanyak dan menyabet semua tropi baik individual, level klub maupun negara.
Tanda ‘kewalian’ Messi sudah terlihat sejak belia. Meski ia lahir dengan gangguan hormon, namun sebenarnya itu adalah ‘alamat’ kesaktian La Pulga. Sejak ia meraih Piala Dunia U-20 sekaligus Golden Ball berkat 2 golnya ke gawang Nigeria, dunia mulai tahu, The Next Maradona telah lahir.
Sejak itu, nama Messi disandingkan dengan Sang Legenda, Diego Maradona. Memang, sejak pemilik ‘Gol Tangan Tuhan’ pensiun dari Timnas Argentina usai Piala Dunia 1994, publik menantikan ‘Imam Muntadzar’ dari negeri Tango. Ada Teves, Pablo Aimar, Requelme, Batistuta dan banyak lagi. Namun, nama-nama itu tidak terpilih sebagai ‘wali abdal’ sepak bola.
Dunia baru sadar ketika Messi juga mampu menciptakan gol ‘khariqul ‘adat’ dengan tangan seperti yang Maradona ciptakan ke gawang Inggris di Piala Dunia 1986. Bedanya, Messi melesakkan gol dengan tangan kirinya ke gawang Espanyol pada Derby Catalan 2007.
Tak hanya itu, Messi bahkan menduplikat gol solo run Maradona ke gawang Inggris di World Cup 1986 yang pada 2002 oleh FIFA dinobatkan sebagai gol terbaik abad ini. 21 tahun kemudian, tepat di 2007, Messi mampu menciptakan gol dengan proses yang sama, dari garis tengah, menyisir melalui sayap kanan, terus menggiring bola, melewati 7 pemain lawan, dan Gool. Sejak itu, pemuda berusia 19 tahun ini dijuluki ‘Messidona’.
Hampir dua dekade , Messi memanjakan seluruh fans sepakbola dengan aksi dan torehan rekor menakjubkan. Keramatnya terus hadir dari lapangan hijau. Satu-satunya pesaing Messi adalah Cristiono Ronaldo. Keduanya saling berebut Ballon D’or. Bagai Tom and Jerry, fans keduanya juga terus berdebat tentang GOAT sesungguhnya.
Fenomena M10 vs CR7 sebenarnya hanya hiasan linimasa agar dunia bola selalu menarik. Harus ada 2 kutub berbeda agar fans bola tak bosan. Meski hakikatnya, adanya CR7 hanya sebagai ‘wasilah’ untuk menunjukkan bahwa Messi adalah The Only One.
Ketika semua tropi berhasil diraih Messi dan menyisakan Piala Dunia, para pecinta sepak bola sudah berijma’, bahwa tanpa Piala Dunia, Messi tetap yang terbaik, demikian kata Ibrahimovic. Bukan Messi yang butuh tropi piala dunia, tapi piala dunia yang seharusnya memilih Messi, begitu kata Mourinho setelah melihat Messi gagal di Final Piala Dunia 2014 di Brasil.
Kegagalan Messi selanjutnya di Final Copa America secara beruntun, 2015 dan 2016 menjadi ‘Hattrick’ yang membuat publik Argentina dan Messimania pesimis. Messi diyakini ‘Kena Kutukan’. Messi dibenci oleh rakyatnya sendiri karena dianggap hanya mengejar rekor individual dan membesarkan Barca yang merekturnya sejak beliau. Untuk Argentina, Nol.
Messi hanya menghadirkan “Don’t Cry for Me Oh Argentina”, tangis kesedihan dan kegagalan. Hujatan demi hujatan itu membuat Messi sempat menyatakan Mundur dari Timnas. Saya ikut merasakan, pasti Messi hatinya hancur sehancur-hancurnya. Namun sesungguhnya, kegagalan itu memiliki hikmah.
Hikmahnya, pertama, agar di usia muda, Messi tidak segera berada di puncak, meraih Piala Dunia. Sebab, masih banyak rekor dan tropi lain yang harus dimenangkan semuanya.
Kedua, jika dia menjadi ‘Dewa’ di usia Muda, sangat boleh jadi, nasibnya seperti Maradona. Di luar lapangan, hidup Diego hancur!
Ketiga, tentunya Piala Dunia yang hadir di akhir karier Messi adalah pentasbihan bahwa dia adalah Only One, ‘Wali Kutub’ sepakbola.
Malang, 21 Desember 2022
www.taufiq.net
Tidak ada komentar:
Tulis komentar