7 Februari 2023

Akhirnya, Tetap NU

 

 


Sejak kecil, aku lahir di keluarga NU. Bahkan, sebelum lahir, tradisi keluarga sudah mendesainku sebagai calon NU. Ada tasyakuran tiga bulanan (neloni), tujuh bulanan (mitoni), dst yang biasanya dirayakan dengan pembacaan shalawat Ad-Dibai.


Ketika kanan-kanak, aku dititipkan di guru ngaji kampung yang disitu juga diajari Aqaid 50, fiqih dasar ala Syafiiyah, dst. Selanjutnya, mondok dan sekolah juga di lembaga khas NU. Alhasil, aku dibesarkan sebagai nahdliyyin.


Pernah sewaktu SD, salah satu temanku yg MU mengajariku tahiyat akhir dengan memutar jari telunjuk. Nah, ketika cara itu aku praktikkan di depan Kakekku, sontak beliau marah. Siapa yg ngajari? Ini bukan Islam. Islam kita NU!


Ketika aku mulai kuliah, sebagian dosen mulai mengenalkan para pembaharu Islam seperti Sayyid Qutub, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan banyak lagi buku-buku pergerakan dan pemikiran modern di perpustakaan. Buku ala NU dan penulis NU, nyaris tidak ada! 


Dari situ, aku mulai berpikir bahwa sesungguhnya Islam itu satu. Idealnya, Islam itu ya satu. Tidak terpecah oleh madzhab, sekte, aliran baik dalam fiqih, aqidah, apalagi politik global. So, just Islam. Titik. 


Di tahap selanjutnya, ketika aku mulai belajar tentang penyimpangan akidah yang itu merupakan pokok agama (ushul), maka aku mulai memahami bahwa hanya Ahlussunnah Wal Jamaah kelompok Islam yang najiyah (selamat). Maka, dari sini, aku menyimpulkan, Islam saja tidak cukup. Harus Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Persis seperti yang diajarkan guru-guruku di kampung. 


Seiring dengan perkembangan global dan berbagai tantangan, terutama di Indonesia yang mana aku melihat sebagian yang menamakan diri dan kelompoknya sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah, namun tidak mencintai bangsanya, tidak moderat dan toleran, tidak berpikiran luas dan melihat fenomena dengan hitam putih belaka, maka aku hanya melihat NU sebagai ormas Islam yang konsisten menegakkan Aswaja, sembari merawat keberagaman dan kebhinnekaan. Terlebih, NKRI bagi NU adalah harga mati.


Tidak hanya itu, NU sejak era reformasi hingga digital saat ini, justru tumbuh pesat di berbagai bidang. NU tidak lagi dapat disebut kaum sarungan, tradisionalis dan kolot. Justru, saat ini NU telah berubah menjadi raksasa yang siap mensiarkan Islam Aswaja An-Nahdiyyah ala Rasulillah dan Wali Songo yang terbukti bahwa Islam di Indonesia yang ditampilkan NU dengan Islam Nusantara menjadi “tesis” bagi model keberagaman yang ideal untuk dunia Islam dan warga dunia.


Memasuki abad kedua, NU tetap mengakar hingga ke kampung dan desa terpencil, tapi juga tengah melebar ke penjuru dunia, merawat jagad dan memimpin peradaban dunia.


Kesimpulan akhirnya, ternyata, Islam saja tidak cukup. Harus Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Dan ini akan sempurna, jika menjadi Islam Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyyah sebagaimana yang diwariskankan kakekku, Islam NU. Titik.


Selamat 1 Abad NU. Ahlan wa sahlan Abad kedua Nahdlatul Ulama.

Malang, 7 Pebruari 2023/15 Rajab 1444 H.


www.taufiq.net

Tidak ada komentar:
Tulis komentar