Luar biasa semangat orang Islam di Indonesia dalam menyambut Ramadan, terlebih di sepuluh malam terakhir bulan suci ini. Tapi, semangat saja tidak cukup, perlu ilmu agar agama tidak dipahami secara tekstual alias mentah.
Padahal, i’tikaf itu cukup berada di masjid, berniat menetap meski lamanya seukuran shalat 2 rakaat, suci dari hadas. Sudah. Cukup. Berarti, jagong atau begadang di masjid asal berniat i’tikaf dalam keadaan suci, itu sudah i’tikaf. Setiap hari, ketika kita masuk masjid lalu berniat i’tikaf, itu juga i’tikaf namanya, meski tanpa peralatan champing dan tidak bermalam.
Jadi, i’tikaf itu tidak identik harus bermalam, apalagi sampai menginap berhari-hari. Kasihan takmir masjid yang pastinya repot. Juga, tidak identik dengan kemah. Memang, ada riwayat, dulu para sahabat ada yang mendirikan tenda untuk i’tikaf. Tapi, situasinya beda.
Masjid di jaman dulu, atapnya hanya pelepah kurna. Suhu di daerah gurun bisa sangat dingin, plus mereka datang dari pelosok yang jauh dari masjid sehingga perlu tenda untuk i’tikaf dan ibadah di masjid.
Sekarang, masjidnya telah berupa bangunan. Tidak perlu tenda. Bahkan, jika dengan tenda itu dapat mengurangi shaf-shaf shalat, maka hukumnya haram. Apalagi jika tenda itu didirikan di halaman masjid yang masih belum wakaf masjid atau bahkan di luar masjid, itu sih bukan i’tikaf, tapi murni pramuka.
Lama kelamaan, akan ada tenda syariah dan kemah i’tikaf. Akhirnya, dirilis film religi berjudul i’tikaf cinta pahalanya 271 T.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar