Iklan

28 Maret 2025

Gelar Waktu Kecil

 


Pagi itu, sekitar pukul setengah delapan, aku menemani kakekku, Abah Haji Suyuti, berjalan dari rumah menuju gudang, tempat beliau bekerja sehari-hari, mencari nafkah, membanting tulang dan memeras keringat.


Kakek, seperti juga ayahku, Abah Haji Roudhowi dan hampir seluruh keluarga besar asal Madura, berprofesi sama: jual beli karung dan plastik bekas. Ini pekerjaan berat. Tidak hanya butuh otot dan tenaga, tapi juga otak dan pikiran, keberanian, kesabaran dan kemampuan bertahan.


Sejak muda, tepatnya sejak hijrah dari pulau garam hingga menetap di bumi Arema, kakek bekerja apa saja hingga akhirnya berprofesi tetap sebagai pedagang karung. Mulai menjadi kuli hingga berhasil menjadi pengepul karung bekas dan pedagang yang terbilang sukses.


Ketika telah mencapai puncak karier, Kakek cukup bekerja di gudang. Biasanya menjahit karung yang sobek, melayani penjual karung goni eceran, dan sebagainya. Itu dilakukan kakek secara istiqamah. Setelah sarapan pagi, beliau biasanya shalat dhuha, lalu berangkat dari rumah ke gudang yang jaraknya dekat sekali, sekitar 25 meter.


Nah, saat perjalanan ke gudang di hari itu, kakek mengajakku dan menggandeng tanganku. Saat itu, aku masih duduk di bangku SD. Tiba-tiba, kakek bertanya:


“Nanti, kalau sudah besar, kamu mau jadi apa?”


“Aku ingin menjadi ustadz yang bisa pidato dan khutbah”, jawabku, sekenanya. Sebab, ketika itu, aku berpikir ingin sekali bisa khutbah di masjid, menjadi imam, bukan makmum saja.


Kakek tersenyum mendengar jawabanku. Lalu, beliau berkata:


“Jadi ustadz atau kiai harus pinter, harus alim ilmu agama. Mending, seperti kakekmu ini aja. Enak. Kerja tidak jauh, resiko tidak berat”.


Mendengar saran kakek itu, entah kenapa, aku lalu berkata: 


“Kelak di depan namaku ada Profesor Haji Taufiq”.


Kakek tersenyum lagi. Aku tidak sempat melihat kedua matanya yang tertutup kacamata. Entah beliau senang, optimis, atau mungkin psimis, aku kurang tahu. Sebab, kakekku hanya pedagang karung, meski beliau juga takmir masjid dan pendiri yayasan pendidikan.


Hari ini, gelar “Profesor” itu benar-benar nyata ada di depan namaku. Gelar ini, aku dedikasikan untuk kakekku tercinta, yang di setiap nafas dan gerak langkahnya, berharap aku meraih cita-cita.


Kakek, Nenek, Abah dan semua yang telah pergi ke haribaan ilahi, kupersembahkan raihan ini. Semoga di alam baqa sana, kalian bahagia selamanya di surga yang dijanjikan Allah bagi orang tua yang berhasil mewujudkan cita-cita putranya. La hum al-Fatihah.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar