Iklan

16 Maret 2025

Relativitas Ramadan

 

 

“Duduklah dengan gadis cantik selama satu jam, dan itu terasa seperti satu menit. Duduklah di atas kompor panas selama satu menit, dan itu terasa seperti satu jam. Itulah relativitas."


Kutipan ini sering digunakan untuk menggambarkan konsep relativitas waktu secara intuitif, meskipun tidak ada bukti kuat bahwa Einstein sendiri yang mengatakannya. Namun, kutipan ini memang mencerminkan semangat dari teori relativitas, yaitu bahwa pengalaman waktu bisa sangat subjektif tergantung pada kondisi dan perspektif pengamat.


Pernahkah kita merasa Ramadan ini berjalan begitu cepat? Eh, tiba-tiba sudah Nuzulul Quran. Eh, sebentar lagi Lebaran,dan seterusnya. Tapi, di lain saat, kita merasakan Ramadan itu lama. Kapan ya waktu maghrib? Ini adzan dhuhur atau maghrib, kok sama? 




Itulah relativitas. Ternyata, teori relativitas ada di dalam perasaan. Perasaan adalah hasil pemikiran subyektif berdasar pada pengalaman dan keterikatan seseorang dengan situasi dan kondisinya. Persepsi seseorang terhadap ruang dan waktu yang mengubah sekitar terasa lambat atau cepat, padahal pergerakan semesta ini teratur.


Menunggu antrian zakat atau beli pertalite di Pertamina, terasa lama sekali, meski sejam. Tapi, dua jam di malam pengantin atau nonton bola, terasa cepat. Ini juga relativitas. Rasa sumpek dan lega menjadi bagian relativitas.


Shalat tarawih di Masjidil Haram meski tiga jam, terasa nikmat. Tapi shalat di masjid kampung, pasti rasanya satu abad, sampai muncul tarawih kilat hanya 10 menit. Itu disebabkan karena jamaahnya tidak betah tarawih, padahal katanya nikmat Ramadan.


Berarti, relativitas itu tidak mesti? Ya, makanya disebut relatif. Kedalaman spiritual dan ketajaman intelektual ternyata mempengaruhi relativitas Ramadan. Begitu juga rasa.


Lailatul Qodar yang sepadan dengan seribu bulan atau 83 tahun 4 bulan, sesungguhnya juga terkena hukum relativitas. Bagi orang yang benar-benar puasa, menit demi menit terasa begitu berharga. Tidak boleh terlewatkan sia-sia. Itu baru puasa grade istimewa.


Tapi, bagi orang biasa, malam tetaplah malam, waktu sebulan Ramadan tidak beda dengan bulan lainnya. Itu artinya, relativitasnya terkait ruang dan waktu, tidak berubah, masih sama. Ramadan tidak berbekas dan belum mengubah eksistensinya di tengah ruang dan waktu yang istimewa bernama Ramadan.


Lalu, setelah Ramadan berlalu, berlalu pula semuanya.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar