Iklan

21 Mei 2025

Arafah: Saat Langit membuka Pintu Pulang

 

 


Di tengah gurun yang memeluk sunyi, terdapat sebuah padang lapang bernama Arafah. Tiada bangunan megah, tiada tiang-tiang tinggi, tiada kubah yang mencolok. Hanya hamparan bumi dan satu bukit kecil: Jabal Rahmah—bukit kasih, tempat langit pernah menyaksikan perjumpaan paling mengharukan antara Adam dan Hawa setelah mereka terpisah dari surga dan terdampar ke dunia. Di situlah, manusia pertama mengenal (ta’aruf) kembali cinta, ampunan, dan rindu yang menghubungkan bumi dengan langit.


Hari ini, berabad-abad setelah itu, jutaan manusia dari segenap penjuru bumi mendatangi tanah ini. Mereka tak membawa gelar, tak memamerkan harta, tak menyombongkan pangkat. Yang mereka bawa hanya dua lembar kain putih, dan satu hal yang tak bisa dilihat mata: hati yang ingin kembali pulang. Mereka berdiri, duduk, menangis, dan berdoa di Arafah, “Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah”, demikian sabda Nabi.



Di Arafah, waktu seakan membeku. Tak ada tawaf, tak ada sa’i. Tak ada gerakan jasmani, kecuali gerakan ruhani. Manusia hanya berdiri dan bersimpuh—seperti Adam yang pernah menyesali dosa dan memohon ampunan, seperti Hawa yang kembali merajut cinta pada fitrah.


Wukuf bukan sekadar berhenti di Arafah. Ia adalah berhenti dari seluruh kesombongan, berhenti dari lari-lari ke dunia, berhenti dari kegaduhan jiwa, lalu diam… dan menyerahkan diri seutuhnya kepada Tuhan. Di sini, seluruh manusia disamakan. Tidak ada beda antara raja dan rakyat, menteri dan petani, profesor dan pelajar. Yang membedakan hanyalah air mata dan permohonan yang tulus.


Dari arah barat, matahari perlahan condong. Tapi sinarnya seperti menunggu sesuatu. Seakan menunda tenggelam, karena tahu: hari ini langit sedang penuh dengan nama-nama yang dipanggil dalam doa. Malaikat-malaikat turun ke bumi, mencatat satu-satu nama manusia yang mengangkat tangannya, menyebut Tuhannya, memohon seperti anak kecil yang sangat lapar kepada ibunya.


Arafah, dalam sejarahnya, bukan hanya saksi reuni Adam dan Hawa. Tapi juga mimbar pertama khutbah terakhir Rasulullah. Di sinilah beliau berdiri, menyampaikan pesan perpisahan. Tak banyak kalimat, tapi cukup untuk membimbing umat sepanjang zaman:


"Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta kalian suci, sebagaimana sucinya hari ini, bulan ini, dan negeri ini."
"Tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, kecuali dengan takwa."
"Aku tinggalkan untuk kalian dua hal: al-Qur'an dan sunnahku. Jika kalian berpegang kepada keduanya, kalian takkan tersesat."


Dan di padang itulah, wahyu terakhir turun—sebuah kalimat yang membuat langit hening, dan Umar bin Khattab menangis mendengarnya,”Hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian." (QS. al-Ma’idah: 3)


Arafah bukan hanya sebuah tempat. Ia adalah cermin dari hari kiamat: ketika manusia dikumpulkan, hanya membawa amal, tanpa perhiasan dunia. Maka barangsiapa yang berdiri di Arafah dengan tulus, seakan ia telah dilahirkan kembali. Begitulah janji Nabi.


Arafah mengajari kita:


Bahwa setiap luka bisa disembuhkan. Bahwa setiap dosa bisa dibersihkan. Bahwa setiap manusia, tak peduli seburuk apa masa lalunya, bisa kembali pulang. Dan Arafah—dengan segala sunyinya—adalah pintu pulang itu.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar