Langkah-langkah itu kembali menyentuh pelataran suci. Tubuh-tubuh lelah yang baru saja melewati Arafah, Muzdalifah, dan Mina kini menuju pusat semesta ruhani: Ka'bah, rumah pertama yang dibangun untuk menyembah Allah.
Dan di sinilah mereka—para tamu Allah—memulai Thawaf Ifadah, inti dari perjalanan agung haji. Mereka tidak datang dengan kaki semata, tapi membawa seluruh diri, seluruh luka, seluruh cerita, untuk diputar bersama pusaran cinta Ilahi.
Tujuh putaran mengelilingi Ka'bah—seakan melukis poros hidup: bahwa semua kembali kepada-Nya, bahwa seluruh putaran dunia ini tidak punya makna jika tidak menuju titik pusat: Tauhid. Dalam setiap putaran, bibir berzikir, hati bergetar. Tak ada kata-kata selain pujian dan tangis, karena di hadapan rumah Allah, seluruh ego runtuh.
Mereka menatap Hajar Aswad, batu dari surga yang disentuh Nabi. Tapi lebih dari itu, mereka menatap ke dalam diri—melihat dosa yang ingin dilarutkan, melihat asa yang ingin diangkat. Mereka menyentuhnya jika mampu, atau melambaikan tangan sebagai isyarat cinta dari jauh—karena dalam thawaf, jarak pun bisa menjadi bentuk ibadah.
Thawaf Ifadah bukan hanya kewajiban. Ia adalah puncak cinta, saat hamba kembali ke Ka'bah sebagai tanda ia telah meninggalkan masa lalu, menanggalkan dosa, dan siap membuka lembaran baru. Di sinilah makna "Ifadah" itu sendiri: mengalir keluar—seperti jiwa yang mengalir dari kegelapan menuju cahaya.
Maka siapa yang thawaf dengan niat, zikir, dan hati yang penuh harap, ia seperti planet yang setia mengorbit pada mataharinya. Tak goyah. Tak sombong. Hanya taat dan patuh, karena ia tahu: pusat hidupnya adalah Tuhan.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar