Iklan

21 Mei 2025

Uhud: Bisikan Ruh Perjuangan

 

 


Di utara Madinah, menjulang sebuah gunung yang diam—tapi tidak bisu. Ia bukan sekadar tumpukan batu dan tanah, tapi saksi abadi perjuangan dan cinta. Namanya Uhud. Bagi sebagian, ia mungkin hanya gunung biasa. Tapi bagi mereka yang mengerti, Uhud adalah monumen cinta, luka, dan pelajaran yang abadi.


Rasulullah SAW pernah bersabda, "Uhud adalah gunung yang mencintai kami dan kami mencintainya." Maka sejak itu, Uhud bukan hanya geografis, tapi emosional. Sebuah tempat yang menjadi bagian dari sejarah kenabian dan iman.


Uhud adalah medan tempur. Di sinilah Perang Uhud terjadi, tahun ketiga Hijriah. Di lereng dan bebatuan gunung itu, darah para syuhada mengalir. Di sanalah Hamzah bin Abdul Muthalib, sang Singa Allah, paman Nabi, gugur dalam keagungan. Tubuhnya terlukai, tetapi surganya telah menanti.


Uhud adalah pelajaran tentang ketaatan dan konsekuensinya. Pasukan pemanah yang awalnya diperintahkan Rasul untuk tetap di bukit, tergoda oleh dunia. Mereka turun sebelum waktunya. Lalu datang pasukan musuh dari arah belakang. Kekalahan pun terjadi. Tapi bukan kekalahan hakiki. Melainkan pengingat: bahwa kemenangan sejati hanya diraih dengan kesabaran dan kepatuhan.


Kini, ziarah ke Gunung Uhud bukan hanya menapak jejak. Tapi mendengar bisikan ruh perjuangan. Angin yang berembus di sana seolah membawa pesan: "Berjuanglah seperti mereka yang telah mengorbankan segalanya untuk iman."


Di sana, kita belajar bahwa cinta kepada Rasul bukan hanya dengan kata, tapi dengan kesiapan berkorban. Kita belajar bahwa luka adalah bagian dari perjalanan kebenaran. Bahwa Uhud adalah gurumu, bila kau mau merenung.


Gunung itu masih berdiri, tak berkurang keagungannya. Ia menunggu orang-orang yang datang bukan untuk berfoto, tapi untuk mendengar dengan hati dan berjanji dalam diam: untuk menjadi bagian dari barisan yang mencintai Rasulullah sebagaimana Uhud mencintainya.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar