Iklan

5 Juni 2025

Di Lembah Sunyi Itu....

 

 

Angin gurun berhembus pelan, menelusup lembut di antara celah jubah tua yang telah berkali-kali bersujud di bumi. Ibrahim berdiri di tepi lembah yang sepi, tatapannya menerobos cakrawala jauh. Malam tadi, ia terbangun oleh mimpi yang tidak bisa ia abaikan. Bukan sekadar bunga tidur, tapi firman yang menyelinap lewat tidur seorang nabi.


“Sembelihlah anakmu.”


Kalimat itu bergema lebih tajam dari pedang. Ia mengguncang tulang, meluruhkan jiwa. Namun Ibrahim bukan lelaki biasa. Ia bukan hanya seorang ayah, tapi juga Khalīlullāh—sahabat Tuhan yang hatinya hanya tahu satu arah: ke atas.


Pagi itu, ia memanggil anaknya. Ismail, remaja yang wajahnya teduh seperti subuh pertama, datang dengan langkah ringan. Di matanya tak ada curiga, tak ada gentar. Dunia ini, baginya, adalah ruang tunduk yang lapang.


“Wahai anakku,” suara Ibrahim parau, “aku melihat dalam tidurku bahwa aku menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?”


Sejenak langit terasa hening. Seperti alam menahan napasnya. Tapi Ismail, anak yang dibesarkan dari air zamzam dan cinta surga, menjawab dengan senyum yang menggigilkan seluruh sejarah:


“Wahai ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.”


Ibrahim menggenggam tangan anaknya. Ia tak menangis. Ia tak menjerit. Tapi dadanya pecah—sepi, senyap, tak berbunyi. Ia tahu, ini bukan soal darah, ini soal iman. Ia tahu, ini bukan ujian terhadap Ismail, ini adalah ujian terhadap cinta terdalamnya: bisakah cinta kepada Tuhan mengalahkan cinta kepada anak?


Mereka pun pergi. Hanya berdua. Tanpa istri. Tanpa kerabat. Hanya ayah dan anak yang berjalan menuju perintah, bukan menuju kematian. Ismail tak bertanya kapan atau di mana. Ia tahu: setiap langkah bersama ayah adalah langkah bersama Tuhan.


Di lembah itu, Ibrahim membaringkan Ismail. Wajah anak itu ditelungkupkan, agar tidak menggoyahkan tangan yang sudah gemetar. Ismail pun memejam, pasrah. Ia bukan takut, hanya rindu pada langit yang memanggil.

Pedang sudah ditajamkan. Pisau itu berkilat di bawah matahari. Lalu turunlah tangan Ibrahim, gemetar namun pasti. Tapi... pisau itu tak melukai.


Tuhan menghentikannya.


“Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.”


Tangis tumpah. Langit pun menangis. Dan seekor domba dari surga datang sebagai pengganti. Ismail bangkit dari tanah, memeluk ayahnya, dan di antara isak mereka yang tak bersuara, dunia kembali bersinar.


Sejak itu, lembah itu tidak lagi sepi. Ia menjadi saksi bahwa iman bukan sekadar percaya, tapi melepaskan; bukan sekadar mengikuti, tapi menyerahkan sepenuh jiwa.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar