19 Oktober 2025

Pesantren Pertama: Ash-Shuffah

 

 

Di balik dinding Masjid Nabawi yang sederhana, di bawah atap yang hanya melindungi dari terik dan hujan, lahir sebuah “pesantren” pertama dalam sejarah Islam. Namanya: Ash-Shuffah. Bukan gedung megah, bukan kampus berpagar tembok, apalagi fasilitas canggih. Tapi di sanalah ilmu, zuhud, dan semangat jihad menyatu dalam jiwa para penghuninya—yang kelak dikenal sebagai Ahlusshuffah: tamu-tamu Allah yang memilih hidup dalam kefakiran demi kedekatan dengan Sang Nabi dan kebenaran agama-Nya.

Jika hari ini kita mengenal pesantren sebagai pusat pendidikan Islam yang menggabungkan ilmu, akhlak, dan ibadah, maka akarnya bisa ditelusuri hingga ke serambi Masjid Nabawi itu. Ash-Shuffah bukan sekadar tempat berteduh bagi para pendatang miskin. Ia adalah ruang kelas terbuka, asrama spiritual, dan markas para pencari ilmu sejati. Di sinilah Rasulullah saw—sang guru utama—menjadi kiai, murabbi (pembimbing), sekaligus teladan hidup.

Awalnya, ketika arus hijrah ke Madinah membanjir, kaum Anshar tak lagi mampu menampung semua Muhajirin. Maka Rasulullah saw memerintahkan agar dinding belakang masjid diberi atap—menjadi tempat bernaung bagi mereka yang tak punya rumah, tak punya sanak, tak punya harta. Di sanalah Ash-Shuffah lahir: bukan karena kemewahan, tapi karena kebutuhan dan rahmat.

Namun jangan salah sangka. Penghuni Ash-Shuffah bukan orang-orang lemah yang menghindari dunia. Mereka adalah pejuang yang memilih jalan zuhud bukan karena tak mampu, tapi karena lebih mencintai akhirat. Di antara mereka ada yang sebenarnya berkecukupan—seperti Ka’ab bin Malik atau Handhalah bin Abi ‘Amir—namun memilih tinggal di sana demi menyerap ilmu langsung dari sumbernya: Rasulullah saw.

Dan siapa sangka, di antara mereka yang paling setia menemani Nabi adalah Abu Hurairah ra—yang kelak menjadi perawi hadits terbanyak dalam sejarah Islam. Dari Ash-Shuffah, ia menyerap ribuan sabda Nabi, lalu menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia. Ia bukan hanya “penghuni serambi” atau “lurah pondok”, tapi penjaga warisan kenabian.

Rasulullah saw tak pernah membiarkan para santri Ash-Shuffah kelaparan. Setiap sedekah yang datang, beliau limpahkan kepada Ahlusshuffah. Setiap hidangan di rumah istrinya, beliau undang mereka untuk makan bersama. Bahkan, ketika Fatimah ra meminta tawanan perang sebagai pembantu, Nabi menolak—lalu menjualnya dan membagikan hasilnya kepada para santri. Inilah model ekonomi sosial Islam yang pertama: berbagi bukan karena sisa, tapi karena prioritas.

Tapi Ash-Shuffah bukan tempat untuk bermalas-malasan. Di siang hari, mereka menghafal Al-Qur’an, mendengar nasihat Nabi, dan berdzikir. Di medan perang, para santri itu mengangkat pedang. Banyak dari mereka gugur syahid di Badar, Uhud, Khaibar, hingga Yamamah. Mereka bukan hanya ahli ibadah, tapi juga pejuang yang siap mati demi tegaknya kalimat Allah. Tanah Air Harga Mati!

Dalam konteks kekinian, Ash-Shuffah mengajarkan kita sesuatu yang mendesak: bahwa pendidikan Islam sejati bukan soal gedung megah atau kurikulum tebal, tapi soal kedekatan dengan guru, kesederhanaan hidup, dan kesiapan berkorban. Di era di mana “pesantren digital” bermunculan dan santri lebih akrab dengan layar daripada kitab kuning, mungkin kita perlu kembali menengok Ash-Shuffah—bukan untuk meniru bentuknya, tapi menangkap jiwanya.

Sebab, pesantren sejati bukan diukur dari betonnya, tapi dari ketulusan santrinya dalam menuntut ilmu, dari keikhlasan gurunya dalam membimbing, dan dari komitmennya pada keadilan sosial dan kebenaran.

Ash-Shuffah mungkin tak lagi berdiri di Madinah hari ini. Tapi rohnya—semangat ilmu, zuhud, dan jihad—harus terus hidup di setiap lembaga pendidikan Islam, termasuk di hati kita yang mengaku santri mencintai sunnah Nabi dan kiai sebagai pewarisnya.

www.taufiq.net


Tidak ada komentar:
Tulis komentar