2 Juni 2011

Dilema Tawaddu’ di Dunia Akademik

 

Tawaddu', secara umum, sering diterjemahkan sikap rendah diri, sopan, ngalah dan istilah lain yang praktisnya sering ditemui di dunia pesantren. Tawaddu' berasal dari kata wa-dho-a yang berarti meletakkan sesuatu. Menurut teori taqlibat-nya Al-Farahidi, kata ini masih dalam satu medan makna dengan kata dho-a bermakna hilang dan lenyap. Melihat hubungan makna leksikal itu lalu dikaitkan dengan interaksi sosial, maka dapat dipahami bahwa tawaddu' adalah sikap sopan terhadap orang lain sebagai bentuk penghormatan. Bila perlu, demi memuliakan itu, kita harus rela meletakkan kehormatan diri, menghilangkan status sosial dan melenyapkan semua titik kesombongan yang ada pada diri kita.
Di pesantren, tradisi tawaddu itu telah mendarah daging pada diri santri. Jika seorang santri berhadapan langsung dengan kiainya, ia tidak mampu memandang wajah guru yang amat dimuliakan itu. Tangan kiai selalu direbut untuk disalami. Dalam majelis pengajian, jarang seorang santri bertanya dengan kritis, apalagi mendebat dan bertujuan memojokkan kiai. Bahkan, demi sisa air minum sang guru, para santri rela berdesak-desakan. Lebih dari itu, mereka pun sangat menghormati semua keluarga ndalem, termasuk anak-anak kiai hingga hewan peliharaannya. Dan, masih banyak fenomena tawaddu khas kehidupan pesantren, sehingga gaya tawaddu seorang santri pun setelah boyong juga masih terbawa.
Apabila membaca prosa karya Abdurrahman Ad-Dibai, sikap tawaddu para santri itu tidak jauh berbeda dengan gaya berguru para sahabat kepada Rasulullah saw. Jika Nabi sedang bersabda, tak satupun sahabat yang mendongakkan wajahnya seakan-akan ada seekor burung di atas kepala. Dalam satu majelis, volume suara mereka tak sampai melebihi suara Nabi. La tarfauu ashwatakum fawqo shawtin-nabiy, demikian perintah al-Quran. Demi ngalap berkah dan syafaat Nabi, para sahabat berbagi tugas mengurus harta milik Nabi mulai unta, pedang, kuda, hingga sandalnya. Dalam kerangka akademik pesantren, tawaddu diyakini sebagai kunci untuk meraih ilmu manfaat. Sikap rendah diri terhadap kiai ini semata-mata ingin menghormati ilmu yang telah dimiliki sang guru dan hal itu diyakini bisa mendatangkan barokah. Jadi, ada 2 alasan mengapa santri bertawaddu. Pertama, kemanfaatan ilmu dan kedua, keberkahan hidup.
Apabila dibandingkan dengan dunia akademik di kampus, sikap tawaddu mahasiswa terhadap dosennya tak sebanding dengan sikap santri kepada kiai. Entah karena dua kutub tersebut tidak bisa disamakan atau memang ada gaya dan budaya lain di luar pendidikan yang telah merasuk ke alam akademik sehingga budaya sopan santun dan sikap rendah diri itu telah luntur. Anehnya, Dalam teori-teori pendidikan pun diajarkan untuk bersikap kritis, berpikir logis sehingga lambat laun hal ini bisa mengikis sifat tawaddu. Kini, semua hal dituntut untuk transparan, akuntability, demokratis, dan sebagainya. Semua itu, langsung maupun tidak langsung bisa melupakan hubungan antara murid dan guru yang seharusnya diwarnai dengan tawaddu. Bahkan, gaya tawaddu ala pesantren dan kitab induk pesantren "taklimul-muta'allim" juga tak luput dari kritik. Dengan berbagai analisis dan argumentasi, tawuddu dianggap sebagai penghalang lahirnya sifat kritis dan obyektif dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Jadi, tidak mengherankan jika ada dosen didemo, guru besar dimosi tidak percaya, narasumber dipermalukan di tengah forum seminar dan kejadian tragis lainnya. Akibat lunturnya sikap tawaddu itu, sarjana lulusan kampus, biasanya bila telah menjadi pejabat, ia bagaikan kacang lupa kulitnya. Gaya duduk, omongan dan kebijakannya begitu kaku dan tidak mencerminkan sebagai seorang ilmuwan besar yang seharusnya laksana padi, makin berisi makin tunduk dan tawaddu. Kampus yang tidak diwarnai dengan gaya pesantren, ia akan kering dengan suka-duka nikmatnya berguru, letihnya mencari ilmu yang bermanfaat dan indahnya mengais keberkahan hidup di tengah ngangsu kaweruh.
Suatu hari, Kiai Kholil Bangkalan, sepulang dari mondok di Mekah, beliau naik delman menuju kampung halamannya. Saat ia bercakap-cakap dengan sang kusir, betapa kagetnya ia saat si kusir delman itu memberitahu bahwa kedua kudanya itu berasal dari Bima. Mendengar kata Bima, Kiai Kholil langsung teringat salah satu gurunya yang berasal dari Bima. Lalu, beliau segera turun, tidak meneruskan perjalanan dan membayar ongkos delman. Saat ditanya kenapa ia segera turun di tengah jalan, Kiai Kholil menjawab, "Demi guru saya dari Bima, saya tidak mau kehilangan berkah ilmu gara-gara kuda ini".
Subhanallah, demikianlah seharusnya sikap tawaddu seorang ilmuwan sejati, sikap murid, santri, mahasiswa atau apapun namanya terhadap guru. Kita memang tidak harus meniru persis sikap Kiai Kholil, tapi paling tidak penghormatan terhadap guru, secara fisik maupun batin, harus kita budayakan dengan memasyarakatkan sopan santun, ikhlas, sabar, bijaksana, rendah diri dan selalu ngalah. Bagi seorang mahasiswa, hanya pengangguran yang ditakutkan setelah lulus dari kampus, tapi tidak bagi seorang santri.
Ilmu yang tidak bermanfaat dan hidup tanpa berkah adalah sebuah malapetaka dunia-akherat. Untuk menghindari itu, kuncinya adalah tawaddu.
10 Juli 2009

2 komentar:
Tulis komentar
  1. betul ustadz, selama ini berkecamuk pertanyaan dalam benak saya, antara pendidikan masa lalu & masa kini.
    kalau dahulu (di pesantren2, langgar2, mushalla2 kampung) dengan sistem pendidikan yang dapat dikatakan, mungkin kurang sistematis, tanpa kurikulum, dan sarana pendukung lainnya, namun OUTPUTnya dapat dikatakan "sangat berbeda" dengan OUTPUT pendidikan masa kini, yang sudah di desain sedemikian rupa, dengan berbagai macam model, media, dan sarana teknologi informasi yang sangat memudahkan akses kemana saja (internet).
    namun hasilnya ya begitu ,,, sebagaimana kita rasakan.
    bahkan semakin buruk saja moral generasi bangsa ini, kalau sepak bola mungkin udah masuk zona degradasi.

    BalasHapus
  2. Trims atas komentarnya, inilah sebuah "keprihatinan" bersama yg harus dirasakan oleh setiap pendidik (guru, peserta didik (murid)dan orang tua supaya lahir kepedulian dan semangat bersama untuk berbenah diri. Harus ada reformasi batin supaya tidak degradasi dan turun kasta. Yakni, hijrah dari pendidikan berbasis "keuntungan materi" menuju "pendidikan ikhlas berbasis ridha Allah".

    BalasHapus