26 Juni 2011

Warisan

 


"Jual saja daripada kita hidup sengsara!", kata Surti kepada suaminya, Rahmat. "Tapi, sawah dan ladang itu kan satu-satunya peninggalan mendiang ayahmu", seru Rahmat. "Saya tahu, tapi kita mau makan apa? Sampeyan saja, kerjanya masih serabutan!", keluh Surti.

Rupanya, sepasang suami-isteri itu sedang bertengkar. Mereka sudah tidak tahan lagi hidup serba kekurangan, apalagi menetap di desa. Sementara itu, kebutuhan sehari-hari kian bertambah. Sebenarnya Rahmat bukanlah seorang pemalas. Selain menggarap sawah dan ladang, ia juga sering diminta para tetangga mencat rumah mereka atau memperbaiki kandang ternak. Hanya saja, kebutuhan hidup terus mendesak.

Wulan, anak mereka satu-satunya, sedang kuliah di kota. Wanita lajang berusia 19 tahun itu menempuh studi di jurusan keperawatan. Jelas, perlu biaya tidak sedikit. Hampir tiap bulan, ia selalu minta dikirimi uang dan uang.

Tak tahan dengan omelan Surti, isterinya, Rahmat pun segera pergi ke sawah. Di sebuah gubuk reot, tepat di tengah hamparan padi, Rahmat menatap inai-inai yang mulai menguning. Tapi, tatapannya kosong. Pikirannya menerawang entah kemana. Lalu, satu demi satu, problem rumah tangganya mulai teringat. Biaya kuliah si Wulan, uang belanja sehari-hari, arisan kampung, hutang-hutang yang tidak terduga, tagihan para rentenir amatiran, penyakit yang mulai ia derita, dan masih banyak lagi yang mendera otaknya.

"Apa yang harus aku lakukan?", pikirnya dalam hati. Sementara itu, Pak Osin temannya dari kota masih terus berusaha membeli sawah-ladangnya. Pria keturunan Tionghoa itu rencananya akan membangun perumahan di desa Rahmat. Ia butuh lahan. Karena itu, sawah Rahmat yang kebetulan bersebelahan dengan jalan raya desa adalah lokasi strategis untuk mengembangkan properti perumahan.

"Jika sawah ini nantinya disulap menjadi rumah dan gedung yang mewah, lalu apakah tetangga baruku nanti masih berbaik hati denganku? Jika sawah warisan orang tua ini aku jual, apa yang akan aku makan? Aku akan kerja dimana?", tanya Rahmat dalam hati.

Belum selesai ia berpikir, tiba-tiba Pak Osin datang menghampirinya. "Sudahlah, Pak Rahmat. Mikir apa lagi? Ini uangnya sudah saya siapkan", kata pria bermata sipit itu sambil menunjukkan koper yang mungkin berisi uang jutaan rupiah. Mereka berdua terlibat dalam pembicaraan serius terkait transaksi jual-beli sawah dan rencana pembangunan perumahan di tengah desa.

3 tahun kemudian, di tempat yang sama, kedua orang tadi, Pak Rahmat dan Pak Osin, masih terlihat bercakap-cakap. Namun, kali ini tema yang dibicarakan berbeda. "Pak Rahmat, tolong ya, rumput di sebelah sana itu dibersihkan!", ketus Pak Osin.

Ternyata, posisi kedua orang itu sudah tidak sepadan layaknya pembeli dan penjual. Tapi, waktu telah membalikkan keadaan. Pak Osin telah menjadi majikan, sementara Pak Rahmat beralih status sebagai kuli atau karyawan yang harus selalu siap menerima perintah dan bukan lagi penawaran. Mantan pemilik sawah berhektar-hektar itu, saat ini bekerja sebagai tukang kebun di sebuah kompleks perumahan mewah.

Saat itu pula, Wulan, putri Pak Rahmat pulang dari kota. Wanita berkulit manis itu telah mencapai cita-citanya sebagai seorang perawat. Dia telah diterima bekerja di puskesmas pinggiran kota. Telah banyak pasien yang telah dirawatnya. Namun, wanita yang hingga kini masih lajang itu, sama sekali tidak mengerti bahwa nasib ayahnya yang seharusnya perlu perawatan serius dari tangannya yang mulus.

Jika keadaan telah berubah begitu drastis, lalu apa lagi yang bisa diwariskan kepada generasi mendatang kecuali mental kuli?! Nasib adalah pilihan. Kesuksesan atau kegagalan adalah pilihan. Dan, yang tersulit adalah menentukan pilihan dan memutuskan jalan yang akan ditempuh. Dalam keadaan dilematis inilah, manusia yang beriman akan memohon petunjuk kepada Allah.

"Ihdina as-shiraathal-mustaqiim".

Tidak ada komentar:
Tulis komentar