Setiap orang diberi kecerdasan spiritual menurut kadar yang telah ditentukan. Repotnya, setiap orang malah memelihara dan menjaga dengan rapi kebodohan spiritualnya. Bagaimana agar kebodohan kita tidak dominan?
Masih ingat Firaun yang akhirnya sadar bahwa dia
manusia biasa? Firaun yang selama hidupnya mengaku Tuhan dan memaksakan
kehendak kepada rakyat akhirnya harus karam di laut merah. Saat terakhir
akan ditelan lautan ganas itulah, dia baru sadar ketidakberdayaannya.
Kebodohan Firaun ini harus ditebus dengan kegagalan dia untuk bertaubat.
Taubat yang terlambat, sama saja dengan tidak bertaubat dan dia
digolongkan Tuhan sebagai manusia yang gagal dalam hidup.
Dari
segi sumber daya manusia (SDM) Firaun tidak kekurangan suatu apa. Dia
cerdas dan lihai. Buktinya, dia bisa juga menjadi raja dalam jangka
waktu sekian lama. Kecerdasan emosinya juga baik karena saat dia
menghukum siti Masyitoh dengan memasukkan ke belanga besar yang diisi
air mendidih, dia masih menawarkan Masyitoh untuk kembali mengakui
Firaun sebagai Tuhan. Namun, kecerdasan spiritual yang rendahlah, yang
akhirnya tidak menyelamatkan akidahnya. Dengan kata lain, kebodohan
spiritualnya lebih dominan dari kecerdasan spiritual.
Apa
itu kecerdasan spiritual? Kecerdasan spiritual adalah tingkat kesadaran
manusia untuk mengakui sesuatu yang adikodrati, mengakui sesuatu yang
transenden, mengakui ada sesuatu yang menciptakan segala yang ada.
Sesuatu itu tidak diciptakan lagi oleh sesuatu yang lain.
Sementara
kebodohan spiritual adalah tingkat kesadaran manusia yang tidak
mengakui sesuatu yang adikodrati. Pikiran yang melulu hanya menganalisa
gejala-gejala yang tampak di mata (benda-benda) dan menafikan atau
menolak adanya kegiatan rasa/batin sebagai aktivitas kejiwaan untuk
menemukan kebenaran. Gejala ini sangat tampak dari paham positivistik,
materialisme yang akhirnya berakibat nihilisme.
Kalau kita
amati, gejala umum masyarakat “modern” yang pandai untuk mengolah
hidupnya dengan berbagai teknologi untuk berperilaku “modern” justeru
kebingungan untuk menata pandangan hidup yang jauh dan mendalam.
Pandangan hidup masyarakat modern umumnya sekular, menjauhkan hal-hal
yang sifatnya spiritual dengan urusan dunia. Urusan dunia bahkan lebih
cenderung dinomorsatukan sementara urusan akhirat yang abstrak biasanya
dinomorsekiankan. Ya, masyarakat modern lebih dominan kebodohan
spiritualnya daripada kecerdasan spiritual.
Menyadari
akibat bila kita salah memikirkan sesuatu, menyadari akibat bila otak
kita secara tidak sadar hanya dijejali oleh “urusan-urusan” yang tidak
ada sangkut pautnya dengan Rencana Tuhan pada kita, akan mengakibatkan kita mendapatkan Kesadaran.
Kesadaran untuk memanfaatkan waktu yang tersisa dalam hidup ini untuk
menyelesaikan peta/desain awal kenapa kita diciptakan, yaitu untuk
rahmat bagi seluruh alam semesta karena kita adalah Wakil yang ditunjuk-Nya untuk menyelesaikan agenda-agenda besar ketuhanan.
Kembali
pada tema Kebodohan spiritual. Kebodohan spiritual tidak sampai
menjangkau hal-hal yang abstrak tersebut. Akal dan pikiran hanya
disibukkan dengan, misalnya, bagaimana caranya mendapatkan keuntungan
dan uang sebanyak-banyaknya untuk dinikmati. Uang adalah raja atau
bahkan tuhan di dunia ini. Dengan uang, kebahagiaan bisa dibeli. Inilah
cara berpikir kaum rasionalistis, pragmatis, hedonis, cara berpikir
rasional yang dilanjutkan dengan pada praktek yang tujuan akhirnya
hanyalah pada kebahagiaan di dunia saja.
Inilah gejala
kebodohan spiritual yang menjadi tanda-tanda kiamat. Nilai-nilai
keabadian yang telah dijungkirbalikkan oleh manusia kemudian pada suatu
saat akan menjungkirbalikkan kembali tataran yang telah sedemikian
polutif. Inilah momentum kiamat akbar yaitu ujung hancurnya nilai-nilai
ketuhanan. Sementara momentum kiamat kecil adalah hancurnya nilai-nilai
ketuhanan yang telah diinstal dalam otak kita saat kita masih belum
dilahirkan oleh ibu kita. Yaitu tatkala ruh kita telah meneken
Memorandum of Understanding (MOU) dengan Tuhan, “Alastu Birobbikum Qaalu
Bala Syahidna …” (Bukankah Aku (Allah) Tuhanmu? Manusia menjawab: Iya,
benar).
Hancurnya nilai-nilai ketuhanan itulah yang harus
diwaspadai oleh kita semua. Bagaimana menyelamatkan otak (hardware) yang
berisi “file-file” pikiran dan keyakinan terhadap nilai-nilai ketuhanan
yang telah sengaja dirusak oleh kita sendiri?
Ada satu
hal yang bisa mengubah kita menjadi baik. Yaitu, mulailah sekarang dan
disini. Yakinkan bahwa ini adalah “Petunjuk Allah swt” yang telah datang
pada kita untuk menyadari kebodohan spiritual yang selama telah kita
pendam, kita jaga dan kita rawat baik-baik. Selanjutnya akan disusul
dengan menata niat untuk bertaubat. Menyadari kesalahan dan kebodohan
itu dan seterusnya melangkah berdasarkan agenda-agenda Tuhan kepada kita
semua.
Jangan-jangan, kita memang masih menjadi
firaun-firaun yang menyembah “keakuan” kita sendiri di atas keakuan-Nya,
Gusti Allah. Inilah kebodohan spiritual yang paling sering tidak kita
akui.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar