15 November 2011

Sulitnya Salat Melihat Ka'bah

 


Abu Yazid al-Bustomi pernah berkata, "Aku berhaji hanya 3 kali. Haji pertama, aku bertamu ke rumah Allah. Haji kedua, aku bertamu dan bertemu Allah. Haji ketiga, Allah yang bertamu ke rumahku".

Pernyataan Abu Yazid itu menginspirasi saya dalam melaksanakan haji kedua tahun 2010 lalu. Bahwa, saya berhaji untuk bertemu Sang Pemilik Ka'bah, Allah swt, bukan ka'bah-Nya.

Ternyata, pernyataan saya itu benar-benar diuji Allah. Seusai melaksanakan umrah pertama karena saya memilih haji tamattu', dalam melaksanakan shalat rawatib sehari-hari, saya benar-benar kesulitan mencari posisi shalat yang tepat bisa menatap dan berhadapan dengan Ka'bah. Pasalnya, jamaah Masjidil Haram sedang berada di puncak kepadatan. Maklum, saya termasuk Gelombang II paling akhir. Tiba di Mekah sekitar tanggal 30 Dzulqo'dah.

Karena demikian padatnya, maka selama hampir 3 hari pertama di Mekah, saya selalu kesulitan sholat di tempat tawaf atau di lokasi Masjidil Haram yang memungkinkan saya bisa dengan mudah menatap Ka'bah saat qiyam.

Pernah saya datang lebih pagi, sekitar pukul 03.00. Saya awali dengan tawaf sunnah beserta isteri. Namun, ketika waktu adzan subuh tiba, ternyata askar menyuruh kaum wanita untuk sholat di belakang. Padahal, isteri saya sudah berdekatan dengan saya. Akhirnya, saya pun mengantar isteri mencarikan tempat solat di belakang. Setelah ketemu, saya sendiri yang sulit balik ke depan sehingga saya pun juga berada di belakang dan tidak bisa menghadap Ka 'bah secara langsung.

Pernah juga ketika saya asyik-asyiknya menunggu waktu shalat dan posisi saya sudah tepat menghadap Ka bah sambil membaca al-Quran, eh tiba-tiba saya ingin buang air kecil. Terpaksa saya harus keluar dari Masjidil Haram menuju toilet. Setelah kembali, masjid sudah padat dan saya diminta oleh askar untuk naik ke lantai 2. Saya pun gagal lagi menghadap Ka'bah.

Yang lebih parah lagi, pernah suatu ketika saya tiba di Masjidil Haram, saya beserta isteri langsung disuruh oleh para askar naik ke lantai 2 karena jika jamaah sesak dan padat, pintu-pintu masuk di lantai 1 distop dan arus jamaah dialihkan ke lantai 2. Ketika tiba di lantai 2, pintu-pintu masuknya juga distop dengan alasan padat. Akhirnya, saya pun dialihkan ke lantai paling atas sehingga jelas tidak mungkin bisa shalat sambil melihat Ka'bah.

Walhasil, hampir 3 hari saya tidak bisa shalat di posisi yang tepat untuk melihat Ka'bah. Saya hanya bisa melihatnya usai shalat saja. Hal inilah yang lalu membuat saya gelisah dan bertanya-tanya: "Ada apa ini? Begitu besarkah dosa saya?".

Dalam keadaan berpikir itu, lalu terlintas apa yang pernah saya maksudkan, bahwa haji kali ini saya tidak hendak bertamu ke rumah Allah, tapi ketemu Sang Pemilik Ka'bah. Karena itu, lalu saya segera merubah niat dan tekad saya, bahwa saya bertamu ke rumah Allah dan juga bertemu Allah sebagai tuan rumah.

Sejak menyadari hal itu, dengan izin Allah, saya merasa lebih mudah mencari posisi sholat yang tepat melihat Ka'bah. Meski jamaah makin ramai dan membludak, tapi kesempatan untuk menerobos shaf dan shalat berhadapan langsung dengan Ka'bah juga terbuka lebar. Bahkan, ketika pintu-pintu masjid sudah distop, oleh askar saya masih diperbolehkan masuk.

Dari pengalaman ini, saya pun semakin sadar bahwa Allah benar-benar Maha Melihat dan Mengetahui apa saja yang terlintas di dada manusia. Selanjutnya, setiap kali saya melihat dan menghadap Ka'bah secara face to face, sangat mudah sekali "Menghadirkan Allah" dalam arti beribadah seakan-akan melihat-Nya. Inikah ihsan itu? Wallahu A'lam.

Yang pasti, ada sebuah kenikmatan tiada tara bagi siapa saja yang bertamu ke Ka'bah dan bertemu Sang Pemilik Ka'bah.

2 komentar:
Tulis komentar
  1. Subhanallah ...
    menurut kesimpulan ustad, yg telah beberapa kali menjadi tamu Allah, bagaimana niat yang baik ketika kita berangkat memenuhi panggilanNya.

    BalasHapus
  2. niat terbaik adalah ittiba' Nabi Muhammad dan ittiba' para rasul & anbiya'. semoga niat kita masuk bersama niat-niat beliau-beliau. amin

    BalasHapus