16 Januari 2012

Ayo Tahlil

 

 
Sungguh terasa mendamaikan keberadaan sebuah masjid, majelis, kampung atau desa yang masyarakatnya guyub, bersatu, bertetangga secara baik dan saling mendoakan. Yang lebih mengagumkan lagi adalah kegiatan tahlil yang telah menjadi tradisi mayoritas masyarakat muslim di Indonesia.

Biasanya, mereka bertahlil seminggu sekali, entah di masjid, mushalla atau bergiliran dari rumah ke rumah. Tanpa disadari, program tahlil ini menjadi sarana silaturrahim, saling sapa, gotong royong dan tolong menolong. Bahkan, jika ada salah seorang warga yang meninggal dunia, secara ikhlas semua masyarakat berkumpul di rumah duka untuk mendoakan orang yang meninggal tersebut.

Jelas, kegiatan tahlil semacam ini bernilai positif. Sebab, selain doa/tahlil tadi sangat bermanfaat bagi si mayit, juga menjadi "obat" duka bagi keluarga yang ditinggal. Adanya banyak orang yang datang memberi doa, mensupport, turut berbela sungkawa, semua ini sangat diperlukan di saat kesusahan. Manfaat inilah yang menjadi bagian dari kekuatan tahlil.

Meski demikian bagusnya tradisi keberagamaan itu, namun masih saja ada pihak-pihak yang anti terhadap tahlil. Mungkin saja karena mereka tidak tahu atau ikut-ikutan pendapat orang yang memang senangnya menghujat dengan memakai label bid'ah, sesat, tidak berdasar dan sebagainya. Dengan berbagai dalih, mereka mengklaim bahwa tahlilan itu bid'ah karena tidak ada di zaman Nabi. Padahal, yang mengatakan seperti itu juga tidak pernah hidup di jaman Nabi.

Perlu dicatat bahwa, pertama-pertama yang harus ditegaskan di sini, adalah tidak semua perbuatan yang tidak dikerjakan pada masa Rasulullah saw itu dilarang. Fakta sudah bicara bahwa ada banyak hal yang tidak ada di masa Rasulullah saw, tetapi dikerjakan oleh para sahabat dan tabiin, kemudian diyakini oleh umat Islam sebagai suatu kebenaran.

Misalnya, pelaksanaan shalat tarawih secara berjamaah sebulan penuh, mengumpulkan al-Quran (tadwin) dalam satu mushaf, adzan pertama di hari Jumat dan lain sebagainya. Semua perbuatan ini tidak pernah dilaksanakan pada masa Nabi Muhammad saw namun dilakukan oleh generasi setelah Nabi saw karena memang tidak bertentangan dengan prinsip dan inti ajaran Islam.

Demikian pula dengan kumpulan tahlil yang diamalkan secara turun menurun oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Meskipun tradisi tahlil ini tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah saw, namun kumpulan atau jamaah tahlilan itu dibolehkan karena tidak satupun unsur-unsur yang terdapat di dalamnya bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan, secara esensial, tahlilan merupakan aplikasi anjuran dan tuntunan Rasulullah saw.

Al-Syaukani, dalam kitab al-Rasail al-Salafiyyah, menegaskan bahwa kebiasaan berkumpul di beberapa negara yang diadakan di masjid, rumah, kuburan untuk membaca al-Quran lalu pahalanya dihadiahkan kepada orang yang telah meninggal dunia, tidak diragukan lagi bahwa hukumnya boleh (jaiz), jika di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan dan kemungkaran. Kegiatan ini boleh walaupun tidak ada penjelasan (secara dzahir) dari syariat agama Islam.

Sekali lagi, kegiatan tahlil ini bukanlah perbuatan yang haram (muharram fi nafsih), apalagi jika di dalamnya diisi dengan kegiatan ibadah seperti membaca al-Quran, shalawat, istighfar, tasbih, hamdalah dan sebagainya. Agama juga tidak melarang menghadiahkan pahala membaca al-Quran atau lainnya kepada yang telah meninggal dunia.

Dalam sebuah hadis shahih, Nabi Muhammad saw pernah bersabda, "Iqrauu Yasiin 'ala mawtaakum", bacakanlah surah Yasin terhadap orang-orang yang mati di antara kalian.

Dari hadis ini, jelas adanya kebolehan membacakan surah Yasin atau bacaan lainnya, baik dilakukan sendirian ataupun bersama-sama, diselenggarakan di rumah, di masjid, di dekat jenazah atau di atas kuburannya. Semuanya boleh dan bagus. Tidak perlu diragukan dan dipermasalahkan lagi!

Al-Syaukani menambahkan, bahwa para sahabat juga mengadakan perkumpulan di rumah-rumah mereka atau di masjid, melagukan syair, mendiskusikan hadis,lalu mereka makan dan minum. Padahal, di tengah-tengah mereka ada Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, Nabi tidak melarang dan tidak mempersalahkan kegiatan yang bagus ini. Oleh sebab itu, siapa saja yang mengharamkan perkumpulan yang di dalamnya tidak terdapat kemaksiatan, maka orang itu telah salah. Karena sesungguhnya, yang dimaksud bid'ah adalah sesuatu yang dibuat-buat dalam masalah agama. Sedangkan perkumpulan semacam ini tidak tergolong bid'ah. (al-Rasail al-Salafiyah, 46)

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Said al-Khudry, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: "Suatu kaum yang berkumpul sambil berdzikir kepada Allah, mereka dikelilingi malaikat. Allah akan memberi mereka rahmat-Nya, memberi ketenangan hati dan memuji mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya". (HR. Muslim, 4868)

Meskipun penjelasan tentang kebolehan tahlil telah diuraikan panjang lebar dengan berbagai dalil, tapi masih tetap saja ada yang menentang dan menghakimi para jamaah tahlil sebagai kaum bid'ah. Bahkan, mereka berusaha mengelabuhi dengan cara membenturkan tahlil dengan ucapan Imam Syafi'i dalam kitabnya, Al-Umm.

Imam Syafi'i ra. mengatakan, "Aku tidak senang dengan "Ma'tam" yaitu perkumpulan, karena hal itu akan mendatangkan kesedihan dan menambah beban".

Pernyataan Imam Syafi'i inilah yang sering dijadikan dalil untuk melarang tahlil, karena tahlil dikira "Ma'tam" yang tidak disenangi oleh Imam Syafi'i. Padahal, pengertian "Ma'tam" sangat berbeda dengan "Tahlilan". Ma'tam adalah perkumpulan untuk meratapi mayit yang menambah kesedihan dan duka cita bagi keluarga yang ditinggalkan. Dalam kamus al-Munjid, Ma'tam didefinisikan "Perkumpulan orang yang biasanya semakin menambah kesedihan".

Jadi, Ma'tam semacam inilah yang tidak disukai Imam Syafi'i karena hal itu adalah tradisi orang-orang Arab Jahiliyyah yang mencerminkan kesedihan mendalam karena adanya orang yang meninggal dunia sehingga seakan-akan mereka berkumpul karena tidak menerima keputusan Allah swt.

Hal semacam itu, perlu diketahui, sama sekali tidak ada dan tidak tercermin dalam tahlilan yang digelar masyarakat muslim. Sebab, acara tahlilan pasca kematian seseorang atau tahlilan rutin yang biasa diadakan pada malam Jumat atau pada even-even tertentu tersebut, di dalamnya justru terdapat dzikir, bacaan al-Quran, istighfar, tahmid, shalawat, syahadat, takbir, doa dan sebagainya. Sehingga, tahlilan ini lebih tepat juga disebut "Majelis Dzikir".

Terlebih lagi, bagi masyarakat muslim, tahlilan itu bukan menjadi ajang pelampiasan duka cita, ia bukan ma'tam dan juga bukan majelis niyahah (ratapan kesedihan). Justru, tahlilan itu merupakan obat pelipur lara dan penghapus duka karena ditinggal mati oleh orang yang mereka sayangi, bukan menambah kesedihan dan derita.

Buktinya, tuan rumah semakin senang jika jumlah orang yang tahlil bertambah banyak. Sebaliknya, mereka terkadang kecewa, jika yang datang untuk tahlilaln sangat sedikit, apalagi tidak ada sama sekali, bisa-bisa bikin stress!

Ini artinya, bahwa tradisi keberagamaan seperti tahlil yang selain esensinya berdzikir dan berdoa, tahlil juga menjadi media silaturrahmi antar sesama famili, kerabat, tetangga dan masyarakat. Tahlil akan melahirkan kesatuan sosial dalam keberagamaan. Tahlil juga menjadi kekuatan jiwa bagi semuanya, terlebih lagi bagi orang atau keluarga yang sedang berduka cita.

Kesimpulannya, bertahlillah karena tahlil itu sama sekali bukan bid'ah. Tahlil dibenarkan agama Islam dan esensinya tidak bertentangan dengan dalil-dalil agama. Dengan bertahlil, berdzikir, baik sendirian maupun berjamaah, pasti akan mendatangkan ketenangan dan kedamaian. Sebaliknya, yang menolak tahlil dan mencari-cari dalil-dalil untuk mem-bid'ah-kan tahlil, maka sesungguhnya hatinya sedang sakit dan perlu didamaikan.

Ajaklah untuk berdzikir dan bertahlil supaya semua terasa damai dan tentram.

Salam Metal (Melok Tahlil).

5 komentar:
Tulis komentar
  1. Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Umm berkata :
    وأحب لجيران الميت أو ذي قرابته أن يعملوا لأهل الميت في يوم يموت وليلته طعاما يشبعهم فإن ذلك سنة وذكر كريم وهو من فعل أهل الخير قبلنا وبعدنا لأنه لما جاء نعي جعفر قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اجعلوا لآل جعفر طعاما فإن قد جاءهم أمر يشغلهم
    Dan saya menyukai apabila tetangga si mayit atau kerabatnya membuat makanan untuk keluarga mayit pada hari meninggal dan pada malam harinya yang dapat menyenangkan mereka, hal itu sunah dan merupakan sebutan yang mulia, dan merupakan pekerjaan orang-orang yang menyenangi kebaikan, karena tatkala datang berita wafatnya Ja’far, maka Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang kepada mereka urusan yang menyibukkan”

    BalasHapus
  2. Imam Nawawi Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab menjelaskan :
    قال صاحب الشامل وغيره وأما اصلاح اهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شئ وهو بدعة غير مستحبة هذا كلام صاحب الشامل ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضى الله عنه قال " كُنَّا نَعُدُّ الْاِجْتِمَاعِ إلى أهلِ الْمَيِّتِ وصُنَّعَةُ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ من النِّيَاحَةِ "
    “Penulis kitab Asy-Syamil mengatakan, ‘Adapun menyiapkan makanan bagi keluarga yang berduka dan mengumpulkan orang-orang kepadanya, itu tidak pernah diriwayatkan sama sekali’”
    Dia menambahkan, ‘Hal ini bid’ah dan tidak dianjurkan, sebagaimana yang telah dipaparkan’.
    Demikianlah perkataan Pengarang kitab Asy-Syamil berdasarkan hadits dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”

    BalasHapus
  3. Al-Bakri Dimyati Asy-Syafi’i Dalam Kitab I’anatut Thalibin menguraikan :
    ويكره لاهل الميت الجلوس للتعزية، وصنع طعام يجمعون الناس عليه، لما روى أحمد عن جرير بن عبد الله البجلي، قال: كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة، ويستحب لجيران أهل الميت - ولو أجانب - ومعارفهم - وإن لم يكونوا جيرانا - وأقاربه الاباعد - وإن كانوا بغير بلد الميت - أن يصنعوا لاهله طعاما يكفيهم يوما وليلة، وأن يلحوا عليهم في الاكل. ويحرم صنعه للنائحة، لانه إعانة على معصية.
    Dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk duduk-duduk berta’ziyah, dan membuat makanan supaya orang-orang berkumpul kesitu. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dari Jarir bin Abdullah Bajali, dia berkata, “Kami (para sahabat) berpendapat bahwa berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sesudah penguburannya termasuk ratapan”. Dan disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit – walau tetangga jauh – dan kenalan mereka, meskipun bukan tetangga, dan kerabatnya yang jauh, meskipun tidak di negeri si mayit, membuatkan makanan untuk keluarganya yang bisa mencukupi mereka sehari semalam. Dan haram membari makan kepada wanita yang meratap, karena hal tersebut membantu perbuatan maksiat.

    BalasHapus
  4. Fahami perkataan imam imam diatas la mas...

    BalasHapus
  5. coba sebutkan apa saja yang dilakukan orang2 saat ma'tam , yang dibaca apa ? kalau tahlil sudah jelas tujuannya , bacaannya juga.

    BalasHapus