Penyebutan kata "syariah" dalam dunia bisnis mengandung pengertian
bahwa praktek bisnis yang dijalankan di situ adalah berdasarkan aturan
agama Islam, tidak mengandung riba dan penipuan, saling menguntungkan,
dan sebagainya. Berarti, mafhum mukhalafah (kebalikannya) adalah bahwa
bisnis yang non embel-embil "syariah" rentan terkontaminasi praktek
curang, riba dan seterusnya.
Benarkah demikian?
Menjawabnya, ternyata perlu dilihat di lapangan. Yang jelas, merebaknya
embel-embel "Syariah" bagi kalangan muslim merupakan hasil inovasi dan
kreatifitas yang melegakan. Pasalnya, aturan fiqih muamalah yang rumit
dan sulit itu, dengan sangat mudahnya bisa diterapkan di dunia bisnis
yang berani memasang label "syariah". Tapi, sekali lagi, apakah memang
semua hal yang berlabel "syariah" sudah benar-benar bersih dari riba?
Atau, jangan-jangan hanya permainan akad saja. Sebab, dalam kaidah fiqih
juga ada statemen "Al-Muamalah Manuthun Bil-Aqdi", sebuah transaksi
tergantung pada akad yang disepakati.
Ketika bank-bank
berlabel "syariah" mulai mendapat tempat di hati masyarakat dan dinilai
sehat, tidak rugi, maka seakan tak mau ketinggalan dan kehilangan
momentum, bank-bank konvensional pun turut berlomba-lomba mendirikan
bank syariah yang katanya "bebas bunga". Bukan hanya bank, instansi yang
bergerak di bidang asuransi pun juga mulai tertarik memakai embel-embel
syariah. Selain menguntungkan, juga ingin mendapat nasabah
sebanyak-banyaknya.
Tak cukup berhenti di situ, bagi para
pebisnis yang memiliki naluri tinggi dalam melihat peluang, apapun lalu
dibisniskan, termasuk menambahi dagangannya dengan imbuhan "syariah".
Akhirnya, term "syariah" pun menjadi senjata atau iklan dalam berbisnis.
Ada bank syariah, asuransi syariah, kredit syariah, konten syariah,
gadai syariah, warung syariah, website syariah, dan macam-macam.
Penerapan
transaksi berdasarkan syariah, pada dasarnya, tidak mudah. Apalagi yang
terkait dengan transaksi hutang-piutang yang dalam hal ini sarat dengan
praktik riba. Siapa saja dengan mudah memanipulasi atau merekayasa akad
atau yang disebut dengan "hilah". Dengan "hilah" yang
multi-interpretatif, apapun bisa saja ditafsiri berbeda, termasuk yang
"riba" menjadi "bukan riba". Padahal, hilah atau merekayasa riba sama
saja dengan riba. Apapun alasannya.
Jika term "syariah"
benar-benar didasarkan pada aturan fiqih muamalah yang benar, tanpa
hilah atau rekayasa, mestinya bisnis-bisnis yang berbasis "syariah"
menguntungkan kedua belah pihak. Dan, yang terpenting lagi, bank,
lembaga asuransi, atau lembaga apapun yang telah berlabel "syariah"
harus berbeda dengan yang "non-syariah". Bukan hanya sekedar nama atau
memanipulasi riba. Jangan sampai dalam prakteknya, lembaga berlabel
“syariah” itu tetap saja merugikan nasabah, tidak menguntungkan
kedua belah pihak, atau tetap saja mengambil riba tapi dengan istilah lain dan dengan akad yang manipulatif (di-hilah).
Misalnya, atasnama "biaya
administrasi", "sumbangan wajib", "zakat wajib", atau apa saja pokoknya
tidak dengan nama "bunga" atau "riba", bank-bank yang dimaksud "syariah"
ternyata juga mengambil untung dari akad hutang-piutang. Inilah yang
perlu dikhawatirkan, sebab sekali lagi, jangan sampai kata "syariah"
hanya menjadi slogan iklan, namun praktiknya tidak jauh beda dengan yang
konvensional.
Wallahu A’lam.
Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar