10 April 2012

Demokrasi Becak

 


Di sebuah warung kopi yang biasa buka malam hingga subuh, tampak di sana Pak Mat, Pak Demo dan Pak Asep lagi asyik nongkrong. Meski lewat tengah malam, ketiganya asyik ngobrol, main kartu remi sambil menunggu penumpang becak mereka.

"Bu, tolong acara berita diganti saja. Pilih sinetron atau bal-balan, gitu lo. Saya pusing mendengar kata demokrasi", ujar Pak Mat kepada Bu Inem, si pemilik warung yang kebetulan menyediakan tv kecil untuk hiburan para pembeli.

"Pak Mat, kok pusing sih, apa sampeyan ngerti, demokrasi itu apa?", tanya Pak Asep.

"Ngak taulah. Yang saya pahami, demokrasi itu ya kita bebas demo. Semua orang bebas ngomong apa aja, bahkan merusak apapun juga boleh, wong ini demi demokrasi. Demokrasi kan milik bersama, benar kan?", kata Pak Mat, balik bertanya.

"Wah, ngak gitu pengertiannya. Demokrasi itu berarti kekuasaan adalah milik bersama, milik rakyat, bukan hanya milik penguasa, pejabat atau konglomerat. Tapi, semua rakyat yang paling berkuasa di negeri ini. Inilah demokrasi", jelas Pak Demo yang tamatan SMP, jauh lebih baik dari 2 rekannya yang hanya lulusan SD.

"Lha, iya, kekuasaan milik bersama. Artinya, semua bebas melakukan apa saja, termasuk mencaplok rakyat kecil", kata Pak Mat, ngak mau kalah.

"Wah, kayaknya, benar juga. Tapi, bisa dicontohkan ngak? Biar jelas gitu", tanya Pak Asep yang mulai penasaran.

"Lihat saja, dulu becak kita ramai, sekarang orang sudah naik motor semua. Lha wong kredit motor aja murah meriah. Siapa yang untung? Bukan kita kan? Tapi perusahaan asuransi dan penyedia jasa hutang-piutang yang bunganya mencekik leher. Lalu, siapa mereka? Bukan kakek kita kan, tapi cukong berduit yang menjajah ekonomi rakyat kecil seperti kita ini", jelas Pak Mat.

"Iya, benar. Tapi kan, ini hukum alam. Ada yang kaya dan ada yang miskin", kata Pak Demo, berusaha mencairkan suasana.

"Ini sih bukan hukum alam, tapi hukum rimba. Coba pean tanya, darimana mereka punya duit? Eh, ternyata mereka juga hutang dari bank-bank di negeri kita. Saat mereka tidak bisa bayar, tau-tau, negara kita yang nomboki. Enak bener mereka!", ujar Pak Mat, geram.

"Wah, enak dong kalo gitu. Berarti, kopi ini nanti yang bayar, bank negara aja, kan ada subsidi?", goda Pak Asep.

"Eh, eh, eh... Jangan macam-macam ya! Hutang kalian udah numpuk di sini", tegur Bu Inem yang mendengar ide Pak Asep.

"Ngak, Bu. Cuma bercanda. Tapi, kini saya mulai agak setuju dengan Pak Mat", kata Demo.

"Setuju apanya?", tanya Pak Mat dengan besar kepala.

"Pemerintah kita itu aneh. Hasil panen petani dibeli dengan murah meriah. Kalau harganya naik, mereka bikin operasi pasar. Tapi, kalau impor dari luar negeri, sedikitpun gak nawar. Benar-benar bodoh!", umpat Pak Demo, marah.

"Saya beri contoh lagi. Mobil buatan anak kita di SMK, katanya jelek dan tidak lulus uji emisi. Okelah saya setuju, demi keselamatan penumpang. Tapi, apa mobil-mobil buatan Jepang, Korea dan Eropa itu sudah layak? Gak pernah tau saya hasil uji emisinya. Lihat saja, truk, bus, mobil-mobil kuno yang berkeliaran di jalan-jalan, mereka tidak diuji lagi. Meski ada uji kir tiap enam bulan, eh omong kosong! Wong semua bisa diatur", jelas Pak Mat.

"Sampeyan pinter juga. Ada contoh lain?", tanya Pak Asep yang dari tadi diam aja.

"Masih banyak, Pak. Ini semua contoh demokrasi. Semua bebas berkuasa. Siapa cepat, dia dapat. Yang paling berkuasa dan berduit, dialah pemenangnya. Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Tapi untuk rakyat yang mana?", tanya Pak Mat, ngak abis pikir.

"Slogan yang bagus tuh, dari oleh dan untuk rakyat. Tapi, kok masih ditanyakan sih, untuk rakyat yang mana?", tanya Pak Asep, agak bingung.

Lantas, Pak Demo berusaha menjelaskan:

"Begini, Pak Asep. Saya mengerti maksud Pak Mat. Dari rakyat itu artinya semua milik rakyat, mulai hasil bumi, pajak, panen, bea cukai, dan sebagainya semua diambil dan dirampas dari rakyat atasnama demokrasi dan untuk hajat hidup orang banyak, katanya".

"Semua oleh rakyat, artinya, yang kerja jadi buruh, karyawan, tenaga honorer, pegawai yang gajinya murah, mereka semua adalah tenaga-tenaga yang diperalat untuk mencaplok temannya sendiri. Sadar atau tidak, mereka disetir untuk menjadi pemangsa bagi kawannya sendiri. Bahkan, yang mengaku wakil rakyat di masa kampanye, eh akhirnya juga mengorbankan rakyat".

"Dan terakhir, yang dimaksud untuk rakyat adalah hasil kekayaan negara, upeti, bunga dan dana-dana itu ternyata hanya untuk sebagian rakyat saja, bukan untuk semuanya. Mereka adalah para pejabat yang berteman preman, para konglomerat yang akrab dengan asing, para penguasa yang bebas memainkan peraturan dan undang-undang demi kantongnya sendiri, demi investasinya, untuk anak turunnya, kelompoknya, golongan dan jamaahnya sendiri".

Panjang lebar Pak Demo menjelaskan. Pak Asep serius menyimak, sedangkan Pak Demo hanya diam sambil menikmati isapan rokok kretek dan kopi panas yang menghangatkan tubuhnya.

Obrolan mereka tentang demokrasi, tiba-tiba terhenti, lantaran ada suara penumpang, "Becak! Becak!"

Dan, wujud demokrasi pun benar. Ternyata, demokrasi bagi rakyat kecil, hanya berhenti sampai di kata "becak", tidak lebih dari itu. Artinya, yang kaya makin kaya, sedangkan yang miskin makin miskin.

2 komentar:
Tulis komentar
  1. bener pak.. yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

    BalasHapus
  2. terima kasih telah berkunjung
    semoga Indonesia makin makmur dan merata

    BalasHapus