25 Oktober 2012

Jagal Kurban Dibayar Kulit, Bolehkah?

 



Pertanyaan yang sering disampaikan Panitia Kurban jelang hari raya Idul Adha, khususnya terkait penyembelihan hewan kurban, adalah “Bolehkan panitia mengupah jagal dengan bagian tubuh hewan kurban, misalnya, mengupah dengan kulit hewan kurban?”

Dalam hukum Islam, praktek semacam itu, hukumnya haram. Panitia tidak boleh membayar si jagal dengan kulit hewan kurban. Mestinya, panitia menyediakan sendiri dana untuk penyembelihan hewan kurban, misalnya Rp. 50.000,- untuk seekor kambing mulai dari awal penyembelihan hingga pemotongan, penimbangan hingga pembagian.

Jika panitia tidak punya uang operasional atau ongkos untuk membayar si jagal, panitia boleh meminta ongkos atau biaya penyembelihan kepada si pemberi kurban (orang kaya yang berkurban). Sebab, menyembelih hewan kurban ini, pada dasarnya tetap menjadi kewajiban si pekurban atau orang yang punya kambing/sapi.

Lalu, bagaimana jika panitia tidak mau atau tepatnya tidak berani meminta ongkos sembelihan kepada si pekurban? Ya, panitia harus berani, harus tegas meminta ongkos tersebut. Jika panitia tidak berani, berarti panitia sendiri yang harus menyediakan biaya operasional, termasuk upah bagi si jagal.

Lalu, kalau panitia ngak punya uang atau biaya operasional, gimana? Yah, jangan bentuk panitia. Bukankah panitia adalah petugas relawan. Ini jawaban ekstrem. Sebenarnya sih, panitia bisa berpikir kreatif,  misalnya, meminta bantuan kepada para dermawan untuk ongkos si jagal. Hal ini, untuk menjaga agar proses penyembelihan tidak tercemar dari hal yang haram, yakni mengupah si jagal dengan daging/kulit kambing tersebut. Selain itu, untuk menghindari fitnah yang biasanya terjadi rebutan atau ramai omongan tentang siapa yang berhak terhadap kulit kambing.

Yang lebih baik lagi, bila bulu-bulu kulit itu dibakar, lalu kulitnya juga ikut dibagikan atau dipotong-potong bersama daging, kemudian ditimbang dan dibagikan kepada yang berhak. Dengan cara ini, kulit dan daging menjadi sama. Sebab, biasanya, kulit diperebutkan karena sudah ada yang siap membeli, atau lebih tepatnya, kulit mudah dijual dan dikira tidak sama dengan daging. Padahal, kulit, daging, tulang, dan semua organ hewan kurban adalah sama-sama bagian hewan sembelihan yang tidak boleh diperjual-belikan.

Jadi,  larangan yang sering dilanggar adalah memberi upah untuk jagal dan para panitia yang ikut membantu proses penyembelihan, pembersihan, penimbangan dan pembagian daging dengan memberikan juga ’jatah’, baik daging atau bagian dari tubuh hewan udhiyah lainnya.

Barangkali logika yang digunakan adalah logika amil zakat, dimana amil zakat berhak mendapatkan 1/8 dari harta zakat yang dikumpulkannya. Sehingga jagal dan para panitia, menurut logika itu, seharusnya juga dapat jatah, kalau perlu jatahnya harus lebih besar dari jatah buat orang-orang.


Logika seperti ini nampaknya harus diluruskan, sebab yang menggunakan logika ini ternyata bukan hanya orang-orang awam, bahkan para kiyai, ustadz, tokoh agama dan para penceramah pun, ikut-ikutan memberikan legitimasi atas hal ini. Tentu semua melakukannya tidak berdasarkan ilmu, melainkan hanya sekedar ikut-ikutan belaka tanpa dasar yang pasti.
Padahal sebenarnya ada dalil yang tegas melarang hal ini, misalnya riwayat yang disebutkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib,

أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

Rasulullah saw memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.

Dari hadits ini, An Nawawi ra. mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An-Nakha’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.”

Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam Al-Hasan Al-Bashri. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan kulit.” An-Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah membuang sunnah.”

Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun shohibul qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut.

Demikian, semoga bermanfaat.

1 komentar:
Tulis komentar
  1. syukron ustadz,.
    ustadz,. request dalil tentang aqiqoh, dan dalil cara penyajiannya ,. :D

    BalasHapus