Iklan

26 Juli 2015

Pargalı Ibrahim Pasha : Dari "Maqbul" ke "Maqtul"

 

"Gelora"
- Puisi Ibrahim Pasha (diterjemahkan: Gina Hayana) -


Kekayaan rahasiaku di seluruh penjuru dunia,
Mutiaraku bergemarai di setiap hari-hari nan kelam,
Kepak sayap rahasiaku di setiap burung yang jatuh,
Keyakinanku penuhi dada dan segenap jiwaku memancar di rona wajah.


Kekasihku, permaisuriku...
Ingin rasanya kumelebur,
mengatakan cinta dan cinta.
Risauku bukan karena terpisahnya kita,
tetapi karena menyatunya diriku denganmu.


Hatiku pecah, sayap-sayapku patah.
Aku terbang tanpa pernah berhenti.
Telingaku menjadi tuli,
sedang mataku tak mampu lagi melihat.
Satu-satunya jalan yang kutempuh hanya menuju cinta


Bukankah cinta yang membuat hujan bergerimis,
yang mengubah awan gemawan menjadi rintik air hujan,
hujan menjadi mega yang menyemaikan benih,
menyatukannya dengan hamparan tanah, kemudian tumbuh dan berkembang.
Bukankah demikian pertemuan pecinta dengan belahan jiwanya?


Kekasihku, duhai permaisuriku...
Air mencintai bumi sebagaimana cintaku padamu.
Tiada peduli pada teriknya mentari yang membakar,
Tak peduli harus berubah dari waktu ke waktu.


Betapapun harus mengembara jauh ke langit biru
Ia memahami suatu hari kelak,
akan kembali ke bumi.
Ia menunggu dalam ketabahan,
betapapun Angin akan melantakan,
Petir membakar,
Langit bergemuruh,
Air itu kembali berjumpa cintanya, lagi!
 
Segenap semesta menghadiri pertemuan dua cinta itu,
Kekayaan yang tersembunyi itu ada di seluruh penjuru dunia,
Mutiaraku bergemarai di setiap hari-hari nan kelam,
Sayap-sayapku mengepak indah pada burung yang patah,
Keyakinanku penuhi dada,
Dan segenap jiwaku memancar di rona wajah.
 
Ingin rasanya kumelebur,
mengatakan cinta dan cinta
Risauku bukan karena terpisahnya kita,
tetapi karena menyatunya diriku denganmu.

****
Itulah salah satu "Puisi Cinta" Ibrahim Pasha yang menggetarkan jiwa. Puisi-puisinya begitu diburu oleh dunia Barat karena benar-benar melukiskan cinta sejati dari seorang Ibrahim, sang muallaf, teman akrab Sultan Sulaiman al-Qonuni sejak masih muda, yang selalu berada di sisi Baginda, baik dalam suka maupun duka.

Berkali-kali, Ibrahim membuktikan kesetiaannya kepada Baginda Sulaiman. Ia rela mengorbankan jiwa dan raganya demi Sang Baginda. Bisa dikatakan, hidup dan mati Ibrahim Pasha, sepenuhnya telah ia berikan kepada Baginda dan ia wakafkan untuk Dinasti Ottoman.

"Baginda, apalah artinya jiwaku ini. Jika Kau memintanya, aku tak sanggup menolaknya", begitu setianya Ibrahim.

Dan, sumpahnya itu tidak hanya di lisan saja, tapi sejarah seperti menagih janjinya. Yah, saat Ibrahim harus meregang nyawa, di istana Topkapi, istana Sang Baginda.

Tragisnya, kematian Ibrahim justru atas perintah Baginda sendiri, tepat di malam Bulan Ramadan, di sebuah kamar dekat kamar Baginda, setelah sebelumnya, kedua sahabat itu makan malam bersama sambil menikmati suara merdu biola Ibrahim Pasha.

Setelah Ibrahim pergi dari kehidupan Baginda Sulaiman, Baginda pun menyesalinya. Tidak ada lagi perdana menteri sehebat dan setangguh Ibrahim Pasha. Buktinya, setelah era Ibrahim, Baginda sering mengganti perdana menterinya. Penguasa Ottoman itu juga kehilangan sahabat yang sangat mencintai karya seni dan sastra sebagaimana dirinya mencintai seni musik, puisi, prosa, sejarah, hingga seni berperang.

Sepeninggal Ibrahim, tidak ada lagi teman yang bisa menghibur Baginda dengan alunan biola yang suaranya menyayat hati, meruntuhkan keakuan, menyuguhkan keindahan semesta dan mengenalkan ciptaan Tuhan.

Selain gemar akan seni lukis, seni ukir, Ibrahim Pasha juga ahli bersyair. Puisi cinta Ibrahim Pasha kepada Hatice Sultan (Hadijah) adalah karya yang hingga kini terus dicari karena nilai balaghah-nya sangat tinggi.

Puisinya itu lahir dari gelora cintanya. Cintanya tumbuh semata-mata karena melihat kecantikan sang puteri. Sejak pandangan pertama saat Hadijah bersama Ibu Suri mengunjungi istana Pangeran Sulaiman di Manisa, tempat sang pangeran menjabat sebagai Gubernur di masa pemerintahan ayah, Sultan Selim I. Sejak pandangan pertama itu, cinta Ibrahim-Hadijah mulai bersemi.

Ibrahim sendiri pada awalnya tidak berani mengungkapkan isi hatinya yang dipenuhi api asmara. Demikian pula, Hadijah yang saat itu, masa depan cintanya sebagai putri kerajaan, sangat tergantung keputusan Ibu Suri dan tentunya, Baginda Sulaiman. Hampir saja, Hadijah menikah dengan putra perdana menteri Piri Mehmed Pasha. Untungnya, takdir masih berpihak pada cinta tulus Ibrahim dan Hadijah. Putra perdana menteri itu divonis penyakit TBC yang menular sehingga pihak istana membatalkan pertunangan tersebut.

Peristiwa ini kian membuat Hadijah yakin, bahwa Ibrahim Pasha lah, cintanya, hidupnya, masa depannya, mataharinya. Singkat cerita, Ibrahim Pasha yang saat itu hanya menjabat sebagai petugas keamanan kamar Baginda, akhirnya terpilih menjadi suami Putri Hadijah.

Karier dan status Ibrahim langsung melejit bak roket hingga membuat koleganya banyak yang iri dan lalu memposisikan Ibrahim sebagai rival. Ibrahim Pasha telah menjadi adik ipar Kaisar Dunia dan bahkan diangkat menjadi Wazir A'dzam atau Perdana Menteri Ottoman, sekaligus Wakil Kaisar Dunia, Sultan Sulaiman.

Sejarah mencatat, Wazir Agung Kesultanan Utsmaniyah, Ibrahim Pasha diangkat oleh Sultan Sulaiman I pada tahun 1523, menggantikan Piri Mehmed Pasha, yang diangkat pada tahun 1518 oleh ayah Sultan Sulaiman, Sultan Selim I. Ibrahim Pasha menjabat sebagai Wazir Agung selama 13 tahun, dan memiliki kekuasaan dan pengaruh yang kuat hingga pihak Barat selalu segan dan takut bila berhadapan dengannya.

Ibrahim tidak hanya piawai merangkai taktik berperang, tapi juga mahir merangkai kata. Bait-bait puisi Ibrahim Pasha yang ditujukan kepada Hadijah atau Hatice Sultan mewakili getaran cinta di dalam dadanya yang hingga kapan pun akan menjadi bagian kisah cinta yang mengharukan. Getaran bait syair Ibrahim Pasha sama persis dengan strategi perang yang ia rancang hingga menggetarkan hati musuh-musuh Islam.

Di Turki, ia dikenal nama "Pargalı Ibrahim Pasha" (1494–1536), dan di Barat ia disebut dengan nama "Frenk Ibrahim Pasha". Oleh rakyat Ottoman saat itu, ia juga dikenal dengan sebutan "Maqbul Ibrahim Pasha". Maqbul artinya diterima sebagai "kesayangan" atau "sahabat emas" Baginda Sulaiman.
Namun, melihat akhir hidupnya yang tragis dan mati di tangan Kaisar Ottoman, sahabatnya sendiri, pada akhirnya, gelar Ibrahim diubah dari "al-Maqbul" menjadi "al-Maqtul Ibrahim Pasha", sahabat yang "dibunuh". Ia dieksekusi tahun 1536 dan propertinya disita kerajaan, hingga pada akhirnya, Putri Khadijah mati bunuh diri dengan menenggak racun di depan kakak sendiri, Sang Kaisar Dunia. Tragis!

Sepeninggal Ibrahim Pasha, Daulah Usmaniyah benar-benar kehilangan seorang perdana menteri yang cerdas, seniman, sastrawan, panglima perang, guru para pangeran, dan juga sahabat kaisar yang setia dan loyal pada dinasti.

Yang terkenal setelahnya, hanya Perdana Menteri Rustam Pasha, tangan kanan putri Hurrem yang cerdas dan pemberani, tapi juga licik dan banyak akal. Kecerdikan dan kelicikan Rustam mampu membungkus konspirasi politik dengan kulit yang rapi hingga membuat Baginda Sulaiman harus "tutup mata", tega mengeksekusi Ibrahim Pasha sahabatnya dan menghabisi Pangeran Mustafa putranya sendiri.

Politik kekuasaan memang kejam. Di satu sisi, memang menggiurkan seakan menjanjikan hidup selamanya. Tapi di sisi lain, justru mendekatkan pada kematian dan kehinaan. Cukup Ibrahim Pasha menjadi contoh bagi umat Islam yang haus kekuasaan. Dari "al-Maqbul" menuju "al-Maqtul".

23 Juli 2015

Sehzade Mustafa: Sisi Gelap Sultan Sulaiman

 

Serial ANTV "Abad Kejayaan" yang sebelumnya berjudul "King Sulaiman", sejak awal ditayangkan, benar-benar membuat pemirsa, termasuk aku, langsung kesem-sem. Selain alur cerita, aktor dan aktrisnya yang tampan dan cantik, totalitas akting, pakaian dan pernak-pernik kerajaan khas Dinasti Ottoman, semua terlihat rapi dan wah!

Poin penting yang membuat serial ini sangat menarik bagiku, yaitu aspek sejarah. Meski semua yang ditampilkan di film ini tidak sepenuhnya menggambarkan apa yang sesungguhnya terjadi saat itu, -meminjam istilah al-Zastrow- karena keterbatasan para sejarahwan menembus dinding istana, namun, paling tidak, film ini membantu kita memahami sekelumit sejarah Dinasti Utsmani melalui visualisasi kejayaan King Sulaiman yang sempat menguasai 3 benua dan menyebarkan ajaran Islam hingga ke daratan Eropa.

Baginda Sulaiman yang dijuluki "al-Qonuni" karena keadilan, ketegasan dan keberaniannya dalam memimpin kerajaan dan keberhasilannya dalam memperluas wilayah kekuasaan merupakan prestasi hebat dan patut dicatat dengan tinta emas dalam sejarah Islam.
Terlepas dari sisi positif itu, di sisi lain, era King Sulaiman juga mengalami sisi kelam. Intrik dan perebutan kekuasaan di seputar istana, terutama di kalangan anggota dinasti sendiri, jelas turut memperlemah kekuasaan King Sulaiman. Persaingan antara Mahidevran sebagai isteri pertama dan Hurrem sebagai isteri kedua yang mantan pelayan, kedua putri ini terus bersaing untuk mendudukkan pangeran mereka masing-masing ke singgasana Baginda.

Akibat dari persaingan yang tak kunjung berakhir itu, banyak jatuh korban dari tokoh besar kerajaan yang semestinya berpotensi dan mampu memperkuat dinasti untuk waktu lama.

Orang pertama adalah Ibrahim Pasha, perdana menteri, sahabat karib Baginda sejak masih muda, dan bahkan suami dari Putri Khadijah, adik kesayangan Baginda. Tragis! Ibrahim Pasha yang cerdas dan handal dalam berperang itu, pada akhirnya, harus mati atas perintah Baginda Sulaiman sendiri. Ia ditikam saat tidur di dalam istana Baginda, tepat di bulan Ramadan. Nyawanya melayang di tangan aljogo dan jasadnya dikubur tanpa pusara hingga tak bisa dikenali dimana kuburannya.

Orang Kedua, Sehzade atau Pangeran Mehmet. Putra tertua putri Hurrem tersebut mati terkena musibah cacar, wabah menular dan mematikan yang saat itu melanda Manisa, tempat Mehmed menjabat sebagai gubernur. Sebenarnya, kematian Mehmet bukan akibat penyakit, namun intrik rapi dari Mahidevran yang melalui pesuruhnya, ia berhasilkan menularkan virus mematikan ke tubuh Mehmet. Sekali lagi, tragis!
Orang ketiga yang meninggal dunia paling tragis dan menyedihkan, tentu saja adalah kematian Sehzade atau Pangeran Mustafa. Putra Sulung Baginda Sulaiman dari perkawinannya dengan Mahidevran.

Putra mahkota yang memang pantas menjadi calon kaisar dunia di masa depan itu, pada akhirnya harus mati dieksekusi. Dan, yang lebih tragis lagi adalah bahwa kematian Mustafa atas perintah ayahnya sendiri, Baginda Sulaiman.

Mengingat kembali munculnya tokoh Mustafa di saat masih kecil, begitu lucu dan menggemaskan. Dan, yang paling diingat di episode-episode awal kemunculannya adalah saat dia di dalam kereta bersama sang ibu, Mahidevran. Mustafa kecil terlihat lincah, tampan dan pintar. Dalam serial ini, digambarkan bahwa Sultan Sulaiman sangat menyayangi Mustafa, meskipun ia juga punya putra-putra yang lain dari istrinya Hurrem.
Saat Mustafa kecil sudah beranjak sedikit remaja, lagi-lagi pemerannya juga bocah yang manis. Nah, saat Mustafa dewasa, tokoh yang tak kalah kharismatiknya dengan Halit Ergeng, pemeran Baginda Sulaiman. Dialah Mehmet Günsür. Sekilas, dia sih mirip dengan aktor Hollywood, Jamie Dornan, waktu brewokan.

Dalam serial ini, pembunuhan atas pangeran Mustafa digambarkan dengan sangat apik. Menguras air mata malah. Ceritanya, waktu itu Baginda sedang berada dalam sebuah kamp di Eregli hingga Mustafa dipanggil untuk bergabung bersama pasukan sang ayah. Ketika Mustafa masuk ke tenda Baginda, dia langsung dikeroyok oleh para algojo Baginda Sulaiman. Dia dibunuh dengan ikatan tali tambang di depan Baginda Sulaiman sendiri dan atas perintah Penguasa Ottoman itu pula.

Ketika Pangeran Mustafa roboh setelah sebelumnya dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan diri tapi gagal hingga akhirnya, Mustafa menemui ajalnya. Nah, ketika Sang Pangeran wafat inilah, serial ini menggambarkan detailnya cukup bagus dan begitu menyedihkan.
Tepatnya, saat Baginda Sulaiman menangis pilu sambil mengangkat tubuh Mustafa yang sudah tidak bernyawa ke pangkuannya. Ketika itu, lalu tokoh Mustafa dewasa diganti menjadi Mustafa kecil. Pada adegan ini, pemirsa seakan diminta mengingat masa-masa dulu lagi, saat Mustafa kecil yang lucu bertanya banyak hal, bermain dengan Sang Baginda.

Ah, mungkin ini terlalu melankolis. Ketika melihat scene Mahidevran datang ke pemakaman Mustafa, tangis pemirsa mungkin makin parah. Mahidevran yang rambutnya sudah memutih, wajahnya dipenuhi keriput, berkata:

“Mustafa... My lion son... My innocent baby... How could they hurt you? How could they kill you? Those who killed you will be happy, my son?”

Hii..hii...ingin sekali aku menangis. Dari peristiwa ini, ada satu pesan yang bisa diambil dari kematian Mustafa dan tangisan Mahidevran dalam serial ini, bahwa saat seseorang meninggal, bukan istri atau suami yang paling merasakan kesedihan, melainkan orangtua, terutama Ibu. Karena, Ibu yang sudah melahirkan kita. Dia yang merawat kita sejak bayi, sejak belum mengerti apa-apa, sejak berwajah polos, bertanya banyak hal, hingga seperti sekarang.

Jadi, pantas saja kalau seorang ibu berkata pada anaknya:

“Hal yang paling menyakitkan bukanlah saat melahirkanmu, melainkan saat aku harus kehilanganmu”.
Dalam sejarah, umur Pangeran Mustafa memang tidak panjang. Ia lahir pada tahun 1515 di Manisa dan wafat tahun 1553 di Konya. Ya, hidup sekitar 37-38 tahunan. Seperti yang ditulis Pangeran Mustafa dalam suratnya kepada Baginda, surat yang sisipkan di dalam bajunya. Isi surat itu, kurang lebih adalah:

"Ayahku tercinta, saat suratku ini Kau baca, berarti aku telah mati di tanganmu. Sungguh, aku tidak bersalah. Aku telah bersumpah tidak akan mengkhianatimu dan Kau pun telah bersumpah tidak akan membunuhku. Tapi, Kau bersalah karena melanggar sumpahmu sendiri...."

"Aku mungkin tidak akan dikenang dalam sejarah. Bahkan, namaku tidak akan ditulis dengan tinta emas. Orang hanya akan mengenalku sebagai pangeran yang memberontak terhadap ayahnya sendiri, Sang Kaisar dunia. Akan tetapi, aku yakin, suatu saat, kebenaran akan terungkap, bahwa aku tidak bersalah...."

"Jika tidak hari ini, nanti, setelah berabad-abad lamanya, para sejarahwan akan menulis dan mengakui bahwa aku -Mustafa putra Baginda Sulaiman- adalah pangeran pemberani yang mati di tangannya ayahnya sendiri demi kebenaran. Mustafa bukanlah pemberontak, tapi ia seorang putra mahkota yang dikorbankan".

Dan, tulisanku ini adalah salah satu saja dari sekian banyak catatan yang ingin menyebut bahwa Sehzade atau Pangeran Mustafa bukanlah pengkhianat, tapi dia adalah tokoh hebat yang semestinya potensial memimpin kekaisaran Ottoman, suksesor Sultan Sulaiman al-Qonuni.

Satu lagi yang ingin saya tulis, bahwa bagaimana pun juga, Sultan Sulaiman al-Qonuni adalah salah satu pemimpin besar muslim yang hebat dan telah berjasa dalam menyebarkan agama Islam di daratan Eropa. Keputusannya membunuh Mustafa, bukan sepenuhnya kesalahan Baginda Sulaiman. Namun, tragedi itu adalah akibat intrik politik dan perebutan kekuasaan orang-orang di sekitarnya.

Umat Islam tidak akan pernah kalah oleh musuh-musuh mereka. Umat Islam hanya bisa kalah saat mereka saling bertikai dan bermusuhan sesama saudaranya sendiri. Sebuah hikmah yang dapat dipetik dari serial "Abad Kejayaan" ini.

Ingat, serial itu belum berakhir, makin hari makin mendebarkan. Selamat menyaksikan!

Kediri, 22 Juli 2015

22 Juli 2015

KESUNYIAN IDUL FITRI

 

Sebenarnya, telah 2 tahun ini, aku merasakan kesunyian Idul Fitri di tengah kemeriahan dan hingar-bingar lebaran. Rasanya sepi sekali, meski suara petasan berdentum silih berganti. Kesunyian ini disebabkan oleh kepergian 3 orang yang selama ini selalu hadir bersamaku, merayakan hari kemenangan. Seperti ada yang kurang, karena kedua tanganku tidak bisa lagi bersalaman dengan mereka dan meminta ridha serta maaf mereka.

Ketiga orang yang sangat berpengaruh dalam hidupku itu adalah:

1) Alm. Hj. Siti Nuriyah; beliau nenekku tercinta, yang sudah seperti ibu bagiku. Matanya yang teduh, raut wajahnya yang meski keriput tapi tetap bercahaya itu, telah pergi untuk selamanya dan tak akan bisa kutatap lagi di dunia ini. Beliau meninggalkan alam fana ini tepat pada tanggal 14 Rabiul Awal 1434 atau 26 Januari 2013 yang lalu. Dua hari setelah aku merayakan Maulid Nabi Muhammad saw.

Nenekku itu, dialah sosok isteri shalihah yang selalu mentaati sang suami, belahan jiwanya. Selain itu, bertahun-tahun lamanya, ia telah berkhidmat, menghidangkan masakan untuk para kiai yang hadir di rumahku, mulai KH Abdullah Sattar Hilmy, Habib Alwi al-Aydrus, Habib Soleh al-Aydrus hingga KH. Basori Alwi. Atas amal baktinya itu, semoga Allah menerimanya dan mengumpulkannya dengan para alim ulama Allah di surga. Amin.

2) Alm. H. Ahmad Suyuti; beliau adalah kakekku, panutanku, matahariku, jalanku dan juga kekuatanku. Kepergiannya yang bertepatan pada hari Isra' Mi'raj, 27 Rajab 1435 atau 27 Mei 2014 seakan menyusul sang isteri tercinta.

Kepulangannya ke haribaan Allah membuat rumahku redup. Sebab, dalam sehari semalam, kakek tangguh itu selalu mengaji ayat-ayat suci al-Qur'an tidak kurang dari 4-5 juz. Alhasil, dalam satu Jumat, beliau mesti hatam satu kali. Dan, istiqamahnya itu terus berlanjut hingga akhir hayatnya dalam usia 80 tahunan. Kecintaan Kakek terhadap ulama dan al-Quran ini yang membuatnya hidupnya berada dalam keberkahan.

Sungguh, tidak mudah menteladani jejak langkah Salafus Sholeh seperti itu. Kini, aku hanya bisa berharap, semoga Allah menempatkan beliau di maqam paling mulia di sisi-Nya dan di sisi Rasulullah saw.

3) Alm. H. Raudhowi; ayahanda, tulang punggung keluarga, yang dari relung tulang sulbinya, aku ada. Abahku tercinta itu, telah berpulang ke hadirat Huw Allah Ta'ala pada 24 Desember 2014 atau 2 Rabiul Awal 1436 H. Belum setahun, memang, tapi seakan seperti seabad lamanya. Kepergiannya sungguh tiba-tiba, tidak ada yang mengira seorang pun, bahwa beliau yang berpamit untuk tidur, ternyata beristirahat untuk selamanya.

Musholla tempatnya menjadi imam Subuh dan jamaah tahlil tempatnya memimpin masyarakat melantunkan "La ilah illa Allah", seakan belum sempat berpamitan. Akan tetapi, kami telah merelakan kepergiannya. Sebab, pada hakikatnya, beliau tidak pergi, tapi hanya pulang ke maqam yang lebih tinggi, yang lebih indah hingga tak dapat dirasakan oleh indera biasa.

Ketiga orang itu, kini tengah terbaring di alam kubur. Menziarahi mereka di hari raya Idul Fitri serasa aku mendengar mereka berpesan, bahwa "masih ada kebahagiaan yang lebih bahagia dari berlebaran di hari raya Idul Fitri. Itulah hari dimana setiap mukmin yang bertaqwa akan bertemu Huw Allah Ta'ala dengan wajah yang bersinar terang benderang melebihi cahaya matahari".

Untuk meraih kebahagiaan sejati itu, salinglah memberi maaf sebagaimana Allah telah memaafkan hamba-Nya hingga kembali suci (fitri), dan teruslah memperbaiki hubungan dalam "Hablum min Allah" dan "Hablum minan Naas". Dengan itu, yakinlah, jalan hidup di dunia dan akhirat akan selalu lurus, terang bercahaya dan pasti berakhir bahagia dan berlabuh di sisi Huw Allah Ta'ala, "ila Rabbika, muntahaha".

20 Juli 2015

Yang Dibakar Masjid, Yang Disalahkan Kok Banser

 

Aneh bin ajaib! Masjid dibakar, tapi Banser disalahkan, gara-garanya, tiap natalan, Banser menjaga gereja sehingga dinilai lalai atau lupa menjaga dan mengamankan masjid saat Idul Fitri.

Analogi berpikir seperti ini, yah mungkin saja benar, tapi juga bisa saja lebay. La kok tiba-tiba Banser yang di-bully, apa tidak ada sasaran yang lain? Penilaian dengan kalimat provatif seperti itu, sengaja dibesar-besarkan untuk mengecilkan peran NU dan juga Banser yang selama ini selalu siap lahir-batin membela negara, sebab NKRI adalah harga mati!

Atau, memang sengaja, penilaian itu ingin membangunkan singa yang sedang diam! Singa yang diam, jangan kau kira tidur apalagi takut. Sebab, jika sudah bangun apalagi menerkam, ia tidak akan pernah berhenti hingga mengoyak mangsanya sampai berkeping-keping.

Ingat, selain menjaga ulama dan NU, Banser sebagai warga negara juga bertugas menjaga NKRI. Apalagi, NU telah menerima Pancasila sebagai dasar negara dan NKRI adalah final. Oleh karenanya, apapun yang terjadi dan berusaha merusak tatanan berbangsa dan bernegara, serta menyebabkan disintegrasi, maka NU maupun Banser, pasti tidak akan tinggal diam.

Untuk kasus pembakaran masjid di Papua, masih banyak jalan dan cara yang bisa ditempuh. Tidak harus kekerasan dibalas kekerasan, kejahatan dibayar kejahatan, pembakaran ditukar pembakaran.
Sudah ada aparat berwenang yang menangani segala tindak kejahatan. Tugas tokoh agama dan masyarakat mendukung pemerintah dalam penyelesaian kasus ini hingga tuntas, dimana yang bersalah harus bertanggungjawab dalam kolidor hukum yang berlaku di Indonesia.

Dari sini, kita bisa belajar, bahwa radikalisme tidak boleh tumbuh subur di tanah air Indonesia. Entah itu radikalisme atasnama agama (Islam, Kristen, Hindu, Budha, dls), atasnama sekte, suku, bahasa, adat-istiadat, parpol, dan bahkan radikalisme olahraga atau produk kaos oblong sekalipun. Radikalisme yang menghalalkan anarkisme dan pelanggaran terhadap hukum negara adalah 'musuh bersama' yang harus diberantas dari bumi nusantara.

Terlebih lagi, Indonesia adalah negara dengan umat yang beragam. Ada banyak umat yang beda agama. Bahkan, dalam satu agama saja, sudah beda madzhab, sekte, kepercayaan, dan seterusnya.

Oleh karena itu, sangat disayangkan bila ada pihak yang mengolok-olok Banser dan NU atas kasus pembakaran masjid. Jelas, itu salah alamat. Jangan lupa, di tahun 1965, nama Banser pernah mencuat karena bersama tentara bahu-membahu menumpas upaya pemberontakan dan makar terhadap negara. Saat ini, peran Banser jelas lebih luas, tidak hanya siap 'tempur', tapi yang lebih berat dari itu adalah mengawal NU dan NKRI menjaga perdamaian abadi demi wujudnya keadilan sosial bagi SELURUH rakyat Indonesia. Tanpa terkecuali!

"Balasan kejahatan adalah kejahatan yang sama. Namun, orang yang memberi maaf dan mengusahakan perdamaian, maka pahalanya dijamin oleh Allah. Sungguh, Allah tidak mencintai orang-orang yang dzalim" (QS. Asy-Syura: 40)

Biarkan aparat berwenang yang menangani kasus ini. Para ulama dan dai NU di Papua sedang membahas dan mencari solusi agar kasus seperti ini tidak terulang di masa depan. Mereka yang berdakwah di Papua adalah yang paling paham dengan kondisi sosio-kultural di pulau cenderawasih itu.

Tugas kita di luar Papua atau bahkan di media sosial, sebenarnya sangat ringan. Cukup tidak memprovokasi, itu sudah lebih baik. Bahkan, diam pun jauh lebih baik daripada memperkeruh suasana dan berkoar-koar jihad, apalagi memukul dan mengolok sesama muslim.

Satu lagi yang patut menjadi catatan tentang Banser. Mereka bukan polisi, bukan pula tentara. Mereka adalah santri pesantren yang memiliki loyalitas terhadap ideologi, negara, dan agama.

Semoga bumi nusantara di seluruh wilayah Indonesia, rakyatnya hidup rukun dan damai. Amin.