1 Juli 2021

Ayah Dulla, Guru Qur’an

 

 


Hari ini, Kamis Pon, 1 Juli 2021 atau bertepatan dengan 20 Dzulqo’dah 1442, Ustadz Abdullah kembali ke hadirat Allah. Semoga beliau husnul khatimah, amal baiknya diterima Allah, dosa salahnya diampuni, dan mendapat maqam mulia di sisi Allah dan RasulNya. Hanya itu doa dan harapan untuk beliau, Ustadz Abdullah dari saya, teman-teman dan orang-orang di kampung gang muris, Kotalama, Malang. Kami biasa memanggil dan menyebutnya Ayah Dulla. Kami pun bersaksi: Ayah Dulla orang baik. Lahir tahun 1954 dengan 5 bersaudara, semuanya ahli Quran. Ayah Dullah salah satu hafidz al-Quran yang bagi kampung Moresco laksana “Jimat”. Dedikasinya terhadap al-Quran begitu kuat. Tidak hanya menghafal, tapi juga mengajarkannya terutama untuk anak-anak dan remaja. Ayah Dulla lahir dengan nama Kartawi dan dibesarkan dalam keluarga religius yang sangat kuat memegang prinsip agama. Ayahnya, Bapak Mursidin, saya masih ingat ketika saya masih kecil dulu, merupakan orang yang keras dan tegas, terutama dalam mendidik putra-putrinya. Maka tak heran, bila dari keluarga sederhana itu, lahir para penghafal al-Quran. Pak Mursidin juga banyak berkhidmat untuk masjid, terutama di bidang keamanan dan ketertiban. Sikap disiplin inilah kunci keberhasilan sebuah pendidikan. Ayah Dulla bersama adik-adiknya mondok di Gondanglegi Malang untuk menghafal al-Quran. Setelah khatam, mereka pindah ke pondok Kiai Amir Singosari, ayah dari Gus Silahul Hawa. Namun setelah Kiai Amir wafat, Ayah Dullah dan adik-adiknya terpaksa boyong untuk meneruskan dakwah, ngajar ngaji di kampung. Secara pribadi, ayah Dulla adalah guru kedua saya ketika ngaji di kampung, setelah Ustadz Rifai atau biasa dipanggil Cak I meninggal dunia. Di rumah, tentu saya belajar ngaji Quran pada Kakek, Haji Ahmad Suyuti dan ayah, Haji Raudhowi. Masih teringat, saat-saat bahagia di waktu kecil. Tiap bakda asar, saya dan adik-adik sudah mandi, lalu berangkat ngaji ke rumah Ayah Dulla. Di sana sudah banyak teman-teman yang ngaji layaknya ngaji ala kampung. Tentu saja, kitab yang dipakai saat itu hanya Kitab Al-Baghdadiyah, dilanjut Juz Amma. Jika kuat, terus ngaji dari Juz 1 hingga khatam 30 juz. Saya bersyukur, bisa khatam 30 juz dibawah bimbingan Ayah Dulla yang dengan ikhlas mengajar al-Quran dan fiqih dasar. Ketika sudah dewasa dan berkeluarga, kedua putri saya juga saya titipkan ke Ayah Dulla untuk mengaji al-Quran di kampung. Dari Ayah Dulla, saya mengenal banyak huruf hijaiyah dan cara membacanya dengan fasih. Cara ngajarnya biasa saja, tradisional sekali. Saya membaca, beliau menyimak, lalu memberi contoh untuk bacaan besok. Keesokan harinya, saya baca, beliau menyimak lagi, memberi contoh untuk pelajaran baru esok hari, dan begitulah seterusnya dari halaman satu hingga khatam. Laksana pepatah, alon-alon pokok kelakon. Pelan tapi pasti. Itu yang saya rasakan, dan dari situ pula serasa mengalir keberkahan dari mukjizat al-Quran melalui guru yang ikhlas dan penuh keteladanan seperti Ayah Dulla. Ayah Dulla menikah dengan putri KH Mustaid Imran, seorang kiai di masjid Muritsul Jannah yang kharismatik dan cukup disegani. Ini artinya, garis nasab yang dibangun Ayah Dulla benar-benar luar biasa. Tak heran, bila kini anak-anak Ayah Dulla juga menjadi ahli Quran. Ada yang sudah hafidz, ada pula yang masih proses menghafal. Realitas ini tentu menggembirakan, terutama bagi warga Muritsul Jannah seperti pepatah: Gugur Satu, Tumbuh Seribu. Selain itu, banyak pula murid-murid Ustadz Abdullah yang sukses, baik di bidang agama, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Satu hal yang perlu dicatat bahwa kesuksesan yang kita raih, sangat boleh jadi, salah faktor penyebabnya adalah doa dan keikhlasan para guru yang dalam kesepian dan kesendiriannya, ikhlas berdoa untuk murid-muridnya. Setelah menikah, Ayah Dulla masih tetap mengajar al-Quran sembari juga merintis usaha. Biasanya, setau saya, beliau menjahit pakaian sendiri dan dibantu isteri, lalu dijualnya ke pasar Wajak, Kepanjen dan Pasar Besar. Dengan memanggul kain besar berisi pakaian, Ayah Dulla biasa berangkat naik angkot ke pasar, lalu menggelar dagangannya. Orang pasti tidak mengira, bahwa sosok penjual pakaian itu adalah juga pemanggul ayat-ayat Quran. Setiap Jumat legi, di Masjid Muritsul Jannah, selalu diadakan Khatmil Quran dan kirim doa untuk orang tua dan semua kiai maupun muassis masjid. Saat itu, tahun 1998, ketika saya bersama teman remas berinisiatif mengadakan acara ini, beberapa orang bertanya: apa mungkin kita mampu mengkhatamkan al-Quran dalam setengah hari, dari pagi sampai sore, karena banyak rekan yang ngajinya kurang lancar dan cepat. “Tenang, ada sang maestro hafidz”, kataku. Siapa lagi kalau bukan Ayah Dulla. Dan benar, ketika saya mengutarakan niat dan kegiatan ini, beliau langsung menyambutnya dengan gembira, dan siap mendukung hingga akhir hayat. Kalam beliau benar-benar dilaksanakan. Beliau istiqamah hingga akhir hayat. Memang, dalam beberapa bulan terakhir ini, penglihatannya mulai terganggu. Mulai rabun dan tidak jelas ketika melihat orang di sekitarnya. Namun, jika khatmil Quran digelar, dengan sekuat tenaga, Ayah Dulla selalu hadir. Mungkin, secara fisik, penglihatannya mulai pudar, tapi mata hatinya tetap terang benderang sebab Quran telah bersemayam di sana. Terakhir saya bertemu dengan Ayah Dulla, hari senin lalu, 28 Juni 2021. Beliau tampak duduk di depan pintu rumahnya. Saya pun menghampiri dan meraih tangannya untuk bersalaman. “Siapa ini ya?”, tanya beliau. “Haji Taufiq”, jelas orang yang duduk di sebelahnya. Rupanya, itu momen terakhir saya bertemu dan mencium tapak tangannya seperti saat kecil dulu, tangan itu selalu kucium untuk meraih berkah sehingga doa-doa baluri sekujur tubuhku. Panggilan “Ayah” untuk Ustadz Abdullah ini seakan menimbulkan kedekatan antara guru, santri dan orang tua. Jauh sebelum muncul panggilan Abi, Abuya, dan sebagainya, di kampung Gang Muris telah mengenal panggilan Ayah untuk seorang guru Quran, itulah Ayah Dulla. Selamat jalan, semoga Rasulullah dan Al-Quran menjadi syafaat baginya.

Tidak ada komentar:
Tulis komentar