Sa’i, berlari kecil antara Shafa dan Marwa, adalah ibadah yang lahir dari air mata dan keyakinan.
Saat ditinggal Ibrahim di padang tandus yang tak berpenghuni, Hajar tak menggugat. Ia bertanya sekali: “Apakah ini perintah dari Tuhanmu?” Dan ketika Ibrahim mengangguk, ia menjawab dengan keyakinan yang merobek langit: “Kalau begitu, Dia tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Namun iman tidak meniadakan usaha. Ketika Ismail menangis kehausan, Hajar naik ke bukit Shafa—mencari pertolongan. Tak ada. Ia turun dan berlari menuju Marwa. Masih tak ada. Ia ulangi tujuh kali. Keringat dan napasnya beradu dengan keraguan, tapi langkahnya terus melaju. Lalu, di titik ketika manusia tak lagi mampu, Allah pancarkan air zamzam dari bawah kaki Ismail. Air yang tak kering, sebagaimana tak keringnya kasih seorang ibu dan rahmat Tuhan.
Kini, setiap jamaah haji dan umrah menapak jejak itu. Tujuh kali mereka berjalan dan berlari, bukan untuk mencari air, tapi untuk menghidupkan semangat: bahwa ketulusan, usaha, dan tawakal selalu membawa keajaiban.
Bahwa kadang, kita harus melewati lembah-lembah hampa untuk bisa menemukan sumber yang mengalir abadi.
Sa’i bukan sekadar ritual fisik, tapi napas spiritual. Ia menegaskan bahwa dalam perjalanan hidup, seorang hamba harus berlari—dengan doa, dengan kerja, dengan air mata, dan dengan keyakinan bahwa pertolongan Allah selalu lebih dekat dari sangka kita.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar