Di antara debu Mina dan peluh ibadah yang panjang, ada satu amalan yang tampak sederhana namun sarat makna: Tahallul, ritual memotong rambut setelah Thawaf Ifadah dan melempar jumrah. Ia bukan sekadar menyentuhkan pisau cukur ke kepala, tapi menyentuh urat kesombongan dalam diri.
Tahallul berasal dari akar kata halla, yang berarti melepaskan. Dan benar—di saat itulah, jamaah haji melepaskan diri dari larangan-larangan ihram. Tapi lebih dalam dari itu, ia sedang melepaskan keakuannya, mencukur habis rasa "aku sudah cukup baik", "aku sudah saleh", "aku sudah suci". Padahal belum. Haji baru akan bermakna jika pulangnya membuat kita lebih rendah hati.
Lihatlah mereka—rambut terpotong, kepala dibasuh angin gurun, tubuh yang dulu terbungkus ihram kini bebas, tapi jiwanya tak lagi liar. Ia telah digembala oleh ibadah. Setiap helai rambut yang jatuh membawa dosa yang luruh. Ia seperti dedaunan kering yang rontok sebelum musim gugur, agar pohon bisa tumbuh lebih kokoh saat musim semi tiba.
Para lelaki mencukur habis, para perempuan memotong secukupnya. Tapi semuanya—tanpa kecuali—berniat sama: memulai hidup baru. Seakan-akan berkata, “Wahai dunia, aku telah sampai pada puncak penghambaan. Aku tidak lagi sama seperti sebelum ini. Hari ini aku pulang dengan kepala yang ringan, dan hati yang lapang.”
Tahallul bukan akhir, tapi tanda awal: awal dari hidup yang lebih bersih, lebih sederhana, dan lebih tunduk kepada Allah.
Tidak ada komentar:
Tulis komentar