Advertisement

24 Oktober 2025

Jumlah Pesantren Berkurang?

 

 

Bertebaran narasi bahwa jumlah pesantren, kiai, santri dan bahkan ustadz menurun drastis. Salah satu acuannya adalah data Kementerian Agama RI (2024/2025), terdapat 42.433 pondok pesantren aktif di Indonesia. Data ini dapat diakses secara daring melalui portal PD-Pontren.

Begitu hebohnya sampai ada “alarm” bagi pesantren, lalu tersebarlah berita dan hasil riset bahwa minat menjadi santri berkurang, pesantren sepi pendaftar, pesantren bukan lagi pilihan favorit belajar ilmu agama, manajemen amburadul ala pesantren sebabkan reputasinya jatuh, masa depan alumninya gak jelas, dan banyak lagi.

Apa benar jumlah pesantren dan santri berkurang? Apa masih percaya dengan data riset? Apa benar data itu sudah final dan selalu di-update?

Jangankan jumlah data pesantren, lha wong data keuangan dari Menkeu, BI, dan bank-bank di provinsi aja beda. Belum lagi data suara pemilu, data kandungan bensin, data tracer study PT dan sekolah, juga data janda 😬

So, masih percaya data di Indonesia? Tentang data jumlah pesantren, nyatanya masih banyak pondok pesantren yang belum terdaftar atau didata. Itu pasti. Tidak puluhan, bisa ratusan hingga ribuan se-Indonesia.

Pesantren tempat saya mondok di Singosari, dulu hanya satu. Sekarang, sudah berkembang dan bercabang menjadi 4 pesantren. Masing-masing dikelola putra kiai dengan ciri khas berbeda. Begitu juga pesantren tempat putri saya mondok. Awalnya hanya 2, kini jadi 4 pondok. Apakah terdaftar, Wallahu a’lam.

Sebuah pesantren induk, bisa bercabang. Kadang, yang terdaftar hanya 1 nama, padahal cabangnya banyak. Ada pula alumni pondok yang setelah lulus, mendirikan pesantren dan tetap berinduk pada pusat, tempat dia belajar. Tidak mau berdiri sendiri karena “tabarruk” dengan gurunya. Itu juga salah satu tradisi khas pesantren. Apakah terdata? belum tentu, bisa-bisa tidak mau.

Belum lagi, ada pesantren yang Gus-nya mendirikan majelis taklim terbuka bagi alumni dan masyarakat. Lokasinya di dalam atau di luar pesantren. Biasanya ngaji seminggu sekali. Yang hadir itu juga disebut santri. Jadi, ada santri dalam (dakhili) dan santri luar (khariji). Ada juga istilah lainnya: santri manuk alias kunam 😬

Fenomena itu jelas menjadi bukti bahwa jumlah santri tidak berkurang, malah terus bertambah. Apalagi, santri punya semboyan: “selamanya tetap santri”. Meski sudah jadi kiai, ustadz dan punya banyak santri, tetap menyebut dirinya santri. Gitu kok dibilang jumlah santri berkurang. Eddian!

Ada lagi pesantren yang berdiri di dalam kampus atau sekolah formal, biasanya dinamakan “ma’had”. Yang di luar kampus, ada yang dinamakan “maskan”, “daar”, “bait”, dan sebagainya. Itu juga pesantren. Terdaftarkah? Wallahu a’lam. 

Sebelumya juga ada “Islamic Boarding School”, semacam asrama sekolah tapi sebenarnya copy paste pesantren. Apa BS ini juga disebut pesantren? Ya suka-suka yang mendata aja.

So, yang masih percaya jumlah pesantren berkurang berarti telah dikibuli si gembul, Gemar Ngibul.

www.taufiq.net

19 Oktober 2025

Pesantren Pertama: Ash-Shuffah

 

 

Di balik dinding Masjid Nabawi yang sederhana, di bawah atap yang hanya melindungi dari terik dan hujan, lahir sebuah “pesantren” pertama dalam sejarah Islam. Namanya: Ash-Shuffah. Bukan gedung megah, bukan kampus berpagar tembok, apalagi fasilitas canggih. Tapi di sanalah ilmu, zuhud, dan semangat jihad menyatu dalam jiwa para penghuninya—yang kelak dikenal sebagai Ahlusshuffah: tamu-tamu Allah yang memilih hidup dalam kefakiran demi kedekatan dengan Sang Nabi dan kebenaran agama-Nya.

Jika hari ini kita mengenal pesantren sebagai pusat pendidikan Islam yang menggabungkan ilmu, akhlak, dan ibadah, maka akarnya bisa ditelusuri hingga ke serambi Masjid Nabawi itu. Ash-Shuffah bukan sekadar tempat berteduh bagi para pendatang miskin. Ia adalah ruang kelas terbuka, asrama spiritual, dan markas para pencari ilmu sejati. Di sinilah Rasulullah saw—sang guru utama—menjadi kiai, murabbi (pembimbing), sekaligus teladan hidup.

Awalnya, ketika arus hijrah ke Madinah membanjir, kaum Anshar tak lagi mampu menampung semua Muhajirin. Maka Rasulullah saw memerintahkan agar dinding belakang masjid diberi atap—menjadi tempat bernaung bagi mereka yang tak punya rumah, tak punya sanak, tak punya harta. Di sanalah Ash-Shuffah lahir: bukan karena kemewahan, tapi karena kebutuhan dan rahmat.

Namun jangan salah sangka. Penghuni Ash-Shuffah bukan orang-orang lemah yang menghindari dunia. Mereka adalah pejuang yang memilih jalan zuhud bukan karena tak mampu, tapi karena lebih mencintai akhirat. Di antara mereka ada yang sebenarnya berkecukupan—seperti Ka’ab bin Malik atau Handhalah bin Abi ‘Amir—namun memilih tinggal di sana demi menyerap ilmu langsung dari sumbernya: Rasulullah saw.

Dan siapa sangka, di antara mereka yang paling setia menemani Nabi adalah Abu Hurairah ra—yang kelak menjadi perawi hadits terbanyak dalam sejarah Islam. Dari Ash-Shuffah, ia menyerap ribuan sabda Nabi, lalu menyebarkannya ke seluruh penjuru dunia. Ia bukan hanya “penghuni serambi” atau “lurah pondok”, tapi penjaga warisan kenabian.

Rasulullah saw tak pernah membiarkan para santri Ash-Shuffah kelaparan. Setiap sedekah yang datang, beliau limpahkan kepada Ahlusshuffah. Setiap hidangan di rumah istrinya, beliau undang mereka untuk makan bersama. Bahkan, ketika Fatimah ra meminta tawanan perang sebagai pembantu, Nabi menolak—lalu menjualnya dan membagikan hasilnya kepada para santri. Inilah model ekonomi sosial Islam yang pertama: berbagi bukan karena sisa, tapi karena prioritas.

Tapi Ash-Shuffah bukan tempat untuk bermalas-malasan. Di siang hari, mereka menghafal Al-Qur’an, mendengar nasihat Nabi, dan berdzikir. Di medan perang, para santri itu mengangkat pedang. Banyak dari mereka gugur syahid di Badar, Uhud, Khaibar, hingga Yamamah. Mereka bukan hanya ahli ibadah, tapi juga pejuang yang siap mati demi tegaknya kalimat Allah. Tanah Air Harga Mati!

Dalam konteks kekinian, Ash-Shuffah mengajarkan kita sesuatu yang mendesak: bahwa pendidikan Islam sejati bukan soal gedung megah atau kurikulum tebal, tapi soal kedekatan dengan guru, kesederhanaan hidup, dan kesiapan berkorban. Di era di mana “pesantren digital” bermunculan dan santri lebih akrab dengan layar daripada kitab kuning, mungkin kita perlu kembali menengok Ash-Shuffah—bukan untuk meniru bentuknya, tapi menangkap jiwanya.

Sebab, pesantren sejati bukan diukur dari betonnya, tapi dari ketulusan santrinya dalam menuntut ilmu, dari keikhlasan gurunya dalam membimbing, dan dari komitmennya pada keadilan sosial dan kebenaran.

Ash-Shuffah mungkin tak lagi berdiri di Madinah hari ini. Tapi rohnya—semangat ilmu, zuhud, dan jihad—harus terus hidup di setiap lembaga pendidikan Islam, termasuk di hati kita yang mengaku santri mencintai sunnah Nabi dan kiai sebagai pewarisnya.

www.taufiq.net